MENGAPA KITA MEMERLUKAN KHILAFAH ISLAM.?
Malapetaka Runtuhnya Khilafah Islam
Tiga belas bulan setelah Mustafa Kemal At-Turk la’natullah di Turki menghapus jabatan Khalifah serta menghancurkan setiap produk sistem ke-Khilafahan maupun yang berbau Islam lalu menggantikannya dengan Sistem Republik Sekuler dan produknya, serta peradaban dan kebudayaan Barat, terbitlah sebuah buku yang menuntut dihapuskannya pemerintahan Khilafah seraya mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam.
Peristiwa ini memunculkan polemik, apakah memang perlu atau tidak Sistem ke-Khilafahan dalam Islam.? Polemik itu hingga hari ini gaungnya masih terngiang di telinga kaum Muslimin, melengkapi suara-suara lain yang sebelumnya telah dilontarkan oleh para penjajah melalui para orientalis (semisal T. Arnold Toynbee, Phillip A. hitti, Weiss, kepada para pemuda Muslimin). Kalau kita mengamati perkembangan pernyataan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam ini, maka akan kita dapatkan pernyataan mereka yang bertahap. Misalnya pada awalnya mereka berkata “Islam dahulu pernah memiliki Daulah Diniyah (Ruhiyah)”. Stelah sekian lama, lalu kita mendengar pernyataan mereka, yaitu “Agama tidak ada kaitannya dengan Daulah”. Dengan demikian kata mereka, apabila kaum Muslim ingin berhasil (sukses seperti Barat) maka kaum Muslimin harus memisahkan antara aktivitas agama dengan Daulah. Pada periode sekarang, pernyataan mereka telah maju selangkah “Islam tidak memiliki Negara (daulah)”.
Peran Khilafah mempersatukan Umat dan Negeri-negeri Islam
Apabila di kalangan umat terdapat perbedaan pendapat dan pemahaman, maka Islam telah memberikan wewenang kepada Imam (Khalifah) untuk memilih dan menetapkan salah satu pendapat dan menegaskannya; khususnya dalam hal yang menyangkut kepentingan umat dan negara.
Dalam masalah-masalah tersebut, Imam mempunyai wewenang untuk mengharuskan rakyat (termasuk para Fuqoha) untuk mengamalkan dan melaksanakan pendapat Kepala Negara, tetapi tanpa memaksa mereka untuk menganutnya (menjadikannya sebagai pendapat mereka sendiri), sebagaimana halnya dengan tindakan Khalifah Abu Bakar Shiddiq ketika ia memilih dan menetapkan beberapa hukum syara’ berdasarkan pendapatnya serta mengharuskan rakyatnya untuk mengamalkan dan melaksanakan pendapat tersebut. Begitu pula tindakan yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khoththob, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Tholib; masing-masing Khalifah tersebut telah memilih dan menetapkan beberapa hukum syara’ berdasarkan pendapatnya serta mengharuskan rakyat untuk melaksankannya.
Tindakan para Khalifah tersebut telah dilakukan dan disaksikan oleh para shahabat. Tidak seorangpun di antara para shahabat yang menolak tindakan tersebut. Dengan demikian, semua itu merupakan kesepakatan (ijma’) shahabat, yaitu bahwa setiap Khalifah berhak untuk memilih dan menetukan hukum-hukum tertentu serta mengharuskan rakyat untuk melaksanakannya. Dari keadaan yang demikian, dibuatlah beberapa kaidah syara’ yang telah dikenal luas dikalangan kaum Muslimin, anatara lain:
“Perintah/penegasan Imam menghilangkan perbedaan pendapat (Khilafiyyah)”
“Perintah Imam itu harus ditaati, baik secara zhahir maupun bathin”
“Seorang Imam berwenang untuk membuat berbagai peraturan (perundang-undangan) sesuai dengan berbagai persoalan baru yang muncul”
Penetapan suatu hukum disini adalah terbatas pada masalah-masalah urusan pemerintahan, kekuasaan, dan yang berkaitan dengan ri’ayatu syu’un (pelayanan bagi kepentingan umum) serta menyangkut persatuan umat dan urusan-urusan pemerintahan. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum individu/perseorangan, maka pada dasarnya seorang Khalifah tidak memaksa individu untuk mengikuti suatu pendapat tertentu.
Betapa Mustahilnya Tanpa Khilafah..
Tidak terbayangkan oleh seorangpun bagaimana kaum Muslimin memiliki kekuasaan dan eksistensi tanpa ada Daulah. Tanpa seorang pun mengingkari bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang tidak dapat berdiri kecuali di atas Daulah. Demikianlah masalah ini telah menjadi sesuatu yang “ma’lumin minaddin bidlarurah”, yaitu sesuatu yang telah dimaklumi kepentingannya dalam agama Islam dan bagi kaum Muslimin (sesuatu yang harus ada). Itulah sebabnya mengapa para shahabat berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah beberapa saat setelah Rasulullah Saw. wafat; padahal jenazah beliau belum dikebumikan. Namun sesuai dengan ketentuan syara’ mereka justru memprioritaskan pengangkatan seorang pemimpin sebagai pengganti Rasulullah Saw. Mereka tidak ingin dan tidak bisa hidup barang sekejap pun tanpa adanya pemimpin.
Siapa Lagi Yang Berhak Melakukannya Kalau Bukan Khilafah Islam
Syariat Islam telah mengumandangkan kewajiban untuk mewujudkan pemerintahan dan kekuasaan. Marilah kita bertanya (setelah kita berfikir sejenak): Seandainya Islam tidak mengenal Sistem Pemerintahan dan al-Quran al-Karim adalah kitab dienul Islam, tetapi mengapa didalamnya ditemukan banyak sekali ayat yang berbicara mengenai masalah pemerintahan dan kekuasaan.?; semua itu tidak lain karena Allah SWT. memang menghendaki bagi Islam adanya Daulah/Negara agar dapat melaksanakan Syariat Islam
“Maka putuskanlah perkara (adili) mereka menurut apa yang telah Allah turunkan” (TQS al-Maaidah: 48)
Ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang secara terinci menunjukkan aspek-aspek yang berhubungan dengan masalah hukum pemerintahan dan kekuasaan.
Disamping itu masih banyak lagi ayat-ayat lain yang terinci menunjuk pada masalah hukum (peradilan). ada ayat-ayat tasyri’ harbi (hukum perang), Tasyri’ Siyasi (hukum politik), tasyri’ Jina’I (hukum pidana), tasyri’ ijtima’I (hukum kemasyarakatan), tasyri’ Iqtishodi (hukum ekonomi), dan sebagainya.
Apabila dalam Islam tidak ada Daulah, mengapa ayat-ayat ini turun.? Lalu siapa pula yang melaksanakan hukum-hukum dalam ayat-ayat tersebut.? Lebih jauh lagi, sejarah telah mencatat dengan jelas bahwa Islam adalah Nizham (aturan/pedoman/sistem) bagi Daulah dan kehidupan, serta bagi setiap bagian dari kehidupan umat dan Daulah.
Jika masih ada yang mengingkari bahwa Islam tidak memiliki Daulah yang melaksanakan hukum-hukum dan mengatur umatnya, maka kita bertanya kepada mereka: MAU DIAPAKAN NASH-NASH YANG DENGAN JELAS BERBICARA MENGENAI MASALAH PEMERINTAHAN DAN KEKUASAAN.? Apakah kita lebih suka memejamkan mata terhadap apa yang pernah dilakukan Rasulullah Saw. seperti mengirim wali (setingkat gubernur), mengangkat Hakim (Qodli’) dan para komandan perang, mengadili perselisihan di antara kaum Muslimin, mengatur urusan umat dan sebagainya.? Dengan demikian pertanyaan berikutnya kita tujukan kepada mereka: BERAPA BANYAK KEWAJIBAN YANG DILALAIKAN (YAITU KEWAJIBAN YANG MEMBUTUHKAN ADANYA PEMERINTAHAN) APABILA TIDAK TERWUJUDNYA Daulah.?
Agaknya mereka perlu tahu tentang adanya kaidah ushul yang mengatakan:
“Sesuatu kewajiban tidak akan sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”
Dari kaidah ushul ini para Fuqoha telah mengambil hukum tentang kewajiban menegakkan Khilafah.
Akibat Tiadanya Khilafah Islam
Sekarang, karena tiadanya Khilafah, siapa saja dapat mempermainkan bahkan memusnahkan kaum Muslimin. Mereka yang menjadi musuh-musuh Islam begitu senangnya karena kaum Muslimin tidak ada lagi yang mampu mengayomi. Dengan demikian, menghina, mempermainkan, menindas, bahkan, memusnahkan sekalipun, merupakan perkara yang mudah dilakukan. Kita ini seperti orang yang melek matanya, akan tetapi tidak menyadari betapa besar tragedi yang saat ini menimpa kaum Muslimin, dan kita hampir tidak-tidak menyadari kesedihan kita sendiri.
Semua itu terjadi karena tingkat pemahaman ke-Islaman kaum Muslimin pada kurun ini sangat rendah. Selain itu, umat ini telah lalai dalam melaksanakan dan memperjuangkan Islam. Dengan demikian mereka telah kehilangan gairah untuk hidup layak dan mulian di bawah naungan ke-Khilafahan Islam. Padahal pada masa lampau, Islam berkembang pesat dan menjadi kekuatan super power, dan kaum Muslimin hidup di bawah naungan sistem ini, di bawah pengayoman pemerintahan Islam yang mengatur semua masalah hidup dan kehidupan serta mampu mengendalikan dan memenuhi setiap urusan dan kepentingan kaum Muslimin.
Waspada dan Tetaplah Berusaha
Kita cukup memahami bahwa akan tetap terus ada orang-orang yang menghendaki kepunahan syariat Islam. Mereka sudah alam diketahui berusaha senantiasa menyusupkan semua paham dan pandangan yang menyesatkan dan merusak, agar syariat Islam tidak mampu lagi menunjukkan giginya dipanggung sejarah manusia. Dengan usaha-usaha tersebut, mereka dengan perlahan namun pasti, menghendaki kehancuran Islam dan kaum Muslimin. Dengan cara demikian meraka mengharapkan agar umat ini ragu terhadap setiap istilah maupun ajaran yang berbau Islam, serta salah dalam penerapan ajaran Islam.
“Mereka berusaha memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) meraka. Dan Allah tidak menhendaki selain menyempurnakan cahaya-NYA; walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya” (TQS at-Taubah [9]: 32)
Cetak halaman ini
Tiga belas bulan setelah Mustafa Kemal At-Turk la’natullah di Turki menghapus jabatan Khalifah serta menghancurkan setiap produk sistem ke-Khilafahan maupun yang berbau Islam lalu menggantikannya dengan Sistem Republik Sekuler dan produknya, serta peradaban dan kebudayaan Barat, terbitlah sebuah buku yang menuntut dihapuskannya pemerintahan Khilafah seraya mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam.
Peristiwa ini memunculkan polemik, apakah memang perlu atau tidak Sistem ke-Khilafahan dalam Islam.? Polemik itu hingga hari ini gaungnya masih terngiang di telinga kaum Muslimin, melengkapi suara-suara lain yang sebelumnya telah dilontarkan oleh para penjajah melalui para orientalis (semisal T. Arnold Toynbee, Phillip A. hitti, Weiss, kepada para pemuda Muslimin). Kalau kita mengamati perkembangan pernyataan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam ini, maka akan kita dapatkan pernyataan mereka yang bertahap. Misalnya pada awalnya mereka berkata “Islam dahulu pernah memiliki Daulah Diniyah (Ruhiyah)”. Stelah sekian lama, lalu kita mendengar pernyataan mereka, yaitu “Agama tidak ada kaitannya dengan Daulah”. Dengan demikian kata mereka, apabila kaum Muslim ingin berhasil (sukses seperti Barat) maka kaum Muslimin harus memisahkan antara aktivitas agama dengan Daulah. Pada periode sekarang, pernyataan mereka telah maju selangkah “Islam tidak memiliki Negara (daulah)”.
Peran Khilafah mempersatukan Umat dan Negeri-negeri Islam
Apabila di kalangan umat terdapat perbedaan pendapat dan pemahaman, maka Islam telah memberikan wewenang kepada Imam (Khalifah) untuk memilih dan menetapkan salah satu pendapat dan menegaskannya; khususnya dalam hal yang menyangkut kepentingan umat dan negara.
Dalam masalah-masalah tersebut, Imam mempunyai wewenang untuk mengharuskan rakyat (termasuk para Fuqoha) untuk mengamalkan dan melaksanakan pendapat Kepala Negara, tetapi tanpa memaksa mereka untuk menganutnya (menjadikannya sebagai pendapat mereka sendiri), sebagaimana halnya dengan tindakan Khalifah Abu Bakar Shiddiq ketika ia memilih dan menetapkan beberapa hukum syara’ berdasarkan pendapatnya serta mengharuskan rakyatnya untuk mengamalkan dan melaksanakan pendapat tersebut. Begitu pula tindakan yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khoththob, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Tholib; masing-masing Khalifah tersebut telah memilih dan menetapkan beberapa hukum syara’ berdasarkan pendapatnya serta mengharuskan rakyat untuk melaksankannya.
Tindakan para Khalifah tersebut telah dilakukan dan disaksikan oleh para shahabat. Tidak seorangpun di antara para shahabat yang menolak tindakan tersebut. Dengan demikian, semua itu merupakan kesepakatan (ijma’) shahabat, yaitu bahwa setiap Khalifah berhak untuk memilih dan menetukan hukum-hukum tertentu serta mengharuskan rakyat untuk melaksanakannya. Dari keadaan yang demikian, dibuatlah beberapa kaidah syara’ yang telah dikenal luas dikalangan kaum Muslimin, anatara lain:
“Perintah/penegasan Imam menghilangkan perbedaan pendapat (Khilafiyyah)”
“Perintah Imam itu harus ditaati, baik secara zhahir maupun bathin”
“Seorang Imam berwenang untuk membuat berbagai peraturan (perundang-undangan) sesuai dengan berbagai persoalan baru yang muncul”
Penetapan suatu hukum disini adalah terbatas pada masalah-masalah urusan pemerintahan, kekuasaan, dan yang berkaitan dengan ri’ayatu syu’un (pelayanan bagi kepentingan umum) serta menyangkut persatuan umat dan urusan-urusan pemerintahan. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum individu/perseorangan, maka pada dasarnya seorang Khalifah tidak memaksa individu untuk mengikuti suatu pendapat tertentu.
Betapa Mustahilnya Tanpa Khilafah..
Tidak terbayangkan oleh seorangpun bagaimana kaum Muslimin memiliki kekuasaan dan eksistensi tanpa ada Daulah. Tanpa seorang pun mengingkari bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang tidak dapat berdiri kecuali di atas Daulah. Demikianlah masalah ini telah menjadi sesuatu yang “ma’lumin minaddin bidlarurah”, yaitu sesuatu yang telah dimaklumi kepentingannya dalam agama Islam dan bagi kaum Muslimin (sesuatu yang harus ada). Itulah sebabnya mengapa para shahabat berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah beberapa saat setelah Rasulullah Saw. wafat; padahal jenazah beliau belum dikebumikan. Namun sesuai dengan ketentuan syara’ mereka justru memprioritaskan pengangkatan seorang pemimpin sebagai pengganti Rasulullah Saw. Mereka tidak ingin dan tidak bisa hidup barang sekejap pun tanpa adanya pemimpin.
Siapa Lagi Yang Berhak Melakukannya Kalau Bukan Khilafah Islam
Syariat Islam telah mengumandangkan kewajiban untuk mewujudkan pemerintahan dan kekuasaan. Marilah kita bertanya (setelah kita berfikir sejenak): Seandainya Islam tidak mengenal Sistem Pemerintahan dan al-Quran al-Karim adalah kitab dienul Islam, tetapi mengapa didalamnya ditemukan banyak sekali ayat yang berbicara mengenai masalah pemerintahan dan kekuasaan.?; semua itu tidak lain karena Allah SWT. memang menghendaki bagi Islam adanya Daulah/Negara agar dapat melaksanakan Syariat Islam
“Maka putuskanlah perkara (adili) mereka menurut apa yang telah Allah turunkan” (TQS al-Maaidah: 48)
Ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang secara terinci menunjukkan aspek-aspek yang berhubungan dengan masalah hukum pemerintahan dan kekuasaan.
Disamping itu masih banyak lagi ayat-ayat lain yang terinci menunjuk pada masalah hukum (peradilan). ada ayat-ayat tasyri’ harbi (hukum perang), Tasyri’ Siyasi (hukum politik), tasyri’ Jina’I (hukum pidana), tasyri’ ijtima’I (hukum kemasyarakatan), tasyri’ Iqtishodi (hukum ekonomi), dan sebagainya.
Apabila dalam Islam tidak ada Daulah, mengapa ayat-ayat ini turun.? Lalu siapa pula yang melaksanakan hukum-hukum dalam ayat-ayat tersebut.? Lebih jauh lagi, sejarah telah mencatat dengan jelas bahwa Islam adalah Nizham (aturan/pedoman/sistem) bagi Daulah dan kehidupan, serta bagi setiap bagian dari kehidupan umat dan Daulah.
Jika masih ada yang mengingkari bahwa Islam tidak memiliki Daulah yang melaksanakan hukum-hukum dan mengatur umatnya, maka kita bertanya kepada mereka: MAU DIAPAKAN NASH-NASH YANG DENGAN JELAS BERBICARA MENGENAI MASALAH PEMERINTAHAN DAN KEKUASAAN.? Apakah kita lebih suka memejamkan mata terhadap apa yang pernah dilakukan Rasulullah Saw. seperti mengirim wali (setingkat gubernur), mengangkat Hakim (Qodli’) dan para komandan perang, mengadili perselisihan di antara kaum Muslimin, mengatur urusan umat dan sebagainya.? Dengan demikian pertanyaan berikutnya kita tujukan kepada mereka: BERAPA BANYAK KEWAJIBAN YANG DILALAIKAN (YAITU KEWAJIBAN YANG MEMBUTUHKAN ADANYA PEMERINTAHAN) APABILA TIDAK TERWUJUDNYA Daulah.?
Agaknya mereka perlu tahu tentang adanya kaidah ushul yang mengatakan:
“Sesuatu kewajiban tidak akan sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”
Dari kaidah ushul ini para Fuqoha telah mengambil hukum tentang kewajiban menegakkan Khilafah.
Akibat Tiadanya Khilafah Islam
Sekarang, karena tiadanya Khilafah, siapa saja dapat mempermainkan bahkan memusnahkan kaum Muslimin. Mereka yang menjadi musuh-musuh Islam begitu senangnya karena kaum Muslimin tidak ada lagi yang mampu mengayomi. Dengan demikian, menghina, mempermainkan, menindas, bahkan, memusnahkan sekalipun, merupakan perkara yang mudah dilakukan. Kita ini seperti orang yang melek matanya, akan tetapi tidak menyadari betapa besar tragedi yang saat ini menimpa kaum Muslimin, dan kita hampir tidak-tidak menyadari kesedihan kita sendiri.
Semua itu terjadi karena tingkat pemahaman ke-Islaman kaum Muslimin pada kurun ini sangat rendah. Selain itu, umat ini telah lalai dalam melaksanakan dan memperjuangkan Islam. Dengan demikian mereka telah kehilangan gairah untuk hidup layak dan mulian di bawah naungan ke-Khilafahan Islam. Padahal pada masa lampau, Islam berkembang pesat dan menjadi kekuatan super power, dan kaum Muslimin hidup di bawah naungan sistem ini, di bawah pengayoman pemerintahan Islam yang mengatur semua masalah hidup dan kehidupan serta mampu mengendalikan dan memenuhi setiap urusan dan kepentingan kaum Muslimin.
Waspada dan Tetaplah Berusaha
Kita cukup memahami bahwa akan tetap terus ada orang-orang yang menghendaki kepunahan syariat Islam. Mereka sudah alam diketahui berusaha senantiasa menyusupkan semua paham dan pandangan yang menyesatkan dan merusak, agar syariat Islam tidak mampu lagi menunjukkan giginya dipanggung sejarah manusia. Dengan usaha-usaha tersebut, mereka dengan perlahan namun pasti, menghendaki kehancuran Islam dan kaum Muslimin. Dengan cara demikian meraka mengharapkan agar umat ini ragu terhadap setiap istilah maupun ajaran yang berbau Islam, serta salah dalam penerapan ajaran Islam.
“Mereka berusaha memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) meraka. Dan Allah tidak menhendaki selain menyempurnakan cahaya-NYA; walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya” (TQS at-Taubah [9]: 32)
Labels: Tsaqofah
