Melawan Ketidakadilan dengan Koin Kepedulian ?
Antusiasime masyarakat menyisihkan koin (pecahan) rupiah yang mereka miliki untuk membantu prita patut diapresiasi sebagai bentuk real kepedulian sosial. Kasus Prita merupakan salah satu gambaran betapa hukum berpihak pada mereka yang memiliki modal dan kekuatan. Hanya karna mengadukan buruknya pelayanan kesehatan yang diterimanya dari RS OMNI, Prita harus menghadapi tuntutan hukum baik secara pidana maupun perdata. Dalam kasus pidana Prita dituntut 6 Bulan Penjara, sementara dalam kasus Perdata Prita dituntut membayar uang sebesar 204 juta Rupiah.
Untuk meringankan dan mendukung perjuangan prita, rakyat di negeri ini bahu-membahu mengumpulkan koin rupiah, mulai dari pengamen, tukang ojek, siswa sekolah, seniman, office boy termasuk anak kecil yang merelakan tabungan yang ingin dia gunakan membeli kucing namun di sumbangkan membantu Prita. Sampai saat ini koin kepedulian yang dikumpulkan masyarakat mencapai puluhan juta rupiah. Bila dilihat secara jujur, pengumpulan koin ini merupakan suatu bentuk perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap ketidakadilan.. Disisi lain pengumpulan koin ini menunjukkan sebuah rasa kecewa rakyat atas penegakkan hukum yang pilih kasih. Rakyat sudah bosan dengan ketidakadilan yang dipertontonkan oleh oknum aparat yang harusnya menjadi “pahlawan keadilan”. Dalam banyak kasus orang lemah (seperti Prita) selalu diposisikan margin karna ketidakmampuan membela diri di depan hukum dengan membayar pengacara yang berkualitas sementara mereka yang kuat (seperti RS.OMNI) justru memperoleh hak istimewa di hadapan hukum. Kasus pencurian 3 biji Kakao, pencurian sebiji Semangka, pencurian 5 batang jagung, tuntutan pencurian listrik hanya karna numpang mencharge handphone dan banyak kasus lainnya ditindak dengan hukum pidana yang tegas. Sementara Anggodo yang menjadi Makelar Kasus, Kriminalisasi KPK, Bail out Century 6,7 triliun, kasus BLBI yang merugikan uang rakyat ratusan triliun seolah sangat sulit untuk diungkap. Hukum yang harusnya tegas kepada siapa saja, justru ibarat sebilah pisau, tatkala untuk yang di bawah (orang lemah) hukum begitu tajam/tegas, namun untuk yang di atas (orang kuat) hukum menjadi tumpul/loyo. Fenomena demikian menggambarkan kepada kita bahwa ada yang harus segera dibenahi dalam penegakkan keadilan dinegeri ini. Perlu ada upaya pembenahan yang sungguh-sungguh agar keadilan bisa terwujud. Bila disederhanakan, penegakan supremasi hukum dapat diwujudkan oleh 2 hal 1. Sistem hukum yang dijalankan
2. Pelaku penegak sistem tersebut.
Melihat banyaknya kasus ketidakadilan yang terjadi, justru tak sedikit aparat penegak hukum yang mencederai hukum itu sendiri (adanya mafia hukum, makeral kasus, dll) ini mengindikasikan bahwa ada problem personal dalam diri aparat penegak hukum tersebut. Namun ternyata tak sedikit pula ketidakadilan itu justru terjadi karena kelemahan hukum itu sendiri, dimana hukum bisa ditarik ke kanan atau kekiri dengan beragam argumentasi dan rasionalisasi yang dilakukan oleh mereka yang diberi hak membuat hukum.
Perlu dipahami dalam upaya membenahi oknum aparat yang lalai atau melanggar, maka yang dapat dilakukan adalah menerapkan sangsi tegas yang menimbulkan efek jera dan bila perlu mengganti dengan aparat yang amanah dan mampu menjadi pahlawan keadilan, sementara terkait dengan problem sistem hukum tentu solusinya bukan mengganti mana yang kurang atau mana yang bermasalah. Karena untuk menilai sebuah sistem yang harus dilihat adalah landasan atau pondasi hukum tersebut. Hukum yang dihasilkan dari akal manusia tentunya memiliki keterbasan karena parameternya adalah baik dan buruk menurut akal manusia (manfa’at), sehingga sifatnya sangat subjektif, cocok untuk sebagian manusia, bisa jadi tidak cocok untuk yang lain. Realitas hukum yang bisa diperjual belikan memberi gambaran bahwa hukum tersebut dijadikan sebagai komoditas bisnis, sehingga muncul istilah “hukum berpihak kepada siapa yang mampu membayar lebih besar”. Bila hal demikian terus terjadi, maka selamanya ketidakadilan tersebut akan selalu memihak kaum lemah. Sehingga solusi masalah sistem ini adalah dengan mengganti sistem hukum yang bersumber dari akal manusia (Sekuler) dengan sistem hukum yang bersumber dari Sang Pencipta (Islam)
Dengan melihat masalah ketidakadilan secara menyeluruh (komprehenship) kita akan memperoleh gambaran bahwa untuk melawan ketidakadilan yang harus dilakukan tidak sekedar mengumpulkan koin semata, namun perlu ada edukasi (pendidikan) yang terarah dan sistematis untuk memahami faktor penyebab ketidakadilan tersebut, mana yang menjadi masalah cabang, mana yang menjadi masalah utama. Selain itu harus dipahami pula apa solusi dari masalah yang terjadi serta bagaimana metode mewujudkan solusi tersebut, inilah yang disebut dengan berfikir ideologis (musta’nir). Dengan adanya hal ini upaya melawan ketidakadilan akan memberi solusi yang terarah dan mendasar. Kita tentu tidak berharap dukungan koin ke Prita, justru sekedar menyelematkan Prita dan korban lainnya dari ketidakadilan tapi tidak menyentuh problem utama penyebab ketidakadilan itu sendiri. Saatnya katakana tidak pada ketidakadilan. Dan mari melawannya secara ideologis !
Sumber: Catatan Wahyuddin
Cetak halaman ini
Untuk meringankan dan mendukung perjuangan prita, rakyat di negeri ini bahu-membahu mengumpulkan koin rupiah, mulai dari pengamen, tukang ojek, siswa sekolah, seniman, office boy termasuk anak kecil yang merelakan tabungan yang ingin dia gunakan membeli kucing namun di sumbangkan membantu Prita. Sampai saat ini koin kepedulian yang dikumpulkan masyarakat mencapai puluhan juta rupiah. Bila dilihat secara jujur, pengumpulan koin ini merupakan suatu bentuk perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap ketidakadilan.. Disisi lain pengumpulan koin ini menunjukkan sebuah rasa kecewa rakyat atas penegakkan hukum yang pilih kasih. Rakyat sudah bosan dengan ketidakadilan yang dipertontonkan oleh oknum aparat yang harusnya menjadi “pahlawan keadilan”. Dalam banyak kasus orang lemah (seperti Prita) selalu diposisikan margin karna ketidakmampuan membela diri di depan hukum dengan membayar pengacara yang berkualitas sementara mereka yang kuat (seperti RS.OMNI) justru memperoleh hak istimewa di hadapan hukum. Kasus pencurian 3 biji Kakao, pencurian sebiji Semangka, pencurian 5 batang jagung, tuntutan pencurian listrik hanya karna numpang mencharge handphone dan banyak kasus lainnya ditindak dengan hukum pidana yang tegas. Sementara Anggodo yang menjadi Makelar Kasus, Kriminalisasi KPK, Bail out Century 6,7 triliun, kasus BLBI yang merugikan uang rakyat ratusan triliun seolah sangat sulit untuk diungkap. Hukum yang harusnya tegas kepada siapa saja, justru ibarat sebilah pisau, tatkala untuk yang di bawah (orang lemah) hukum begitu tajam/tegas, namun untuk yang di atas (orang kuat) hukum menjadi tumpul/loyo. Fenomena demikian menggambarkan kepada kita bahwa ada yang harus segera dibenahi dalam penegakkan keadilan dinegeri ini. Perlu ada upaya pembenahan yang sungguh-sungguh agar keadilan bisa terwujud. Bila disederhanakan, penegakan supremasi hukum dapat diwujudkan oleh 2 hal 1. Sistem hukum yang dijalankan
2. Pelaku penegak sistem tersebut.
Melihat banyaknya kasus ketidakadilan yang terjadi, justru tak sedikit aparat penegak hukum yang mencederai hukum itu sendiri (adanya mafia hukum, makeral kasus, dll) ini mengindikasikan bahwa ada problem personal dalam diri aparat penegak hukum tersebut. Namun ternyata tak sedikit pula ketidakadilan itu justru terjadi karena kelemahan hukum itu sendiri, dimana hukum bisa ditarik ke kanan atau kekiri dengan beragam argumentasi dan rasionalisasi yang dilakukan oleh mereka yang diberi hak membuat hukum.
Perlu dipahami dalam upaya membenahi oknum aparat yang lalai atau melanggar, maka yang dapat dilakukan adalah menerapkan sangsi tegas yang menimbulkan efek jera dan bila perlu mengganti dengan aparat yang amanah dan mampu menjadi pahlawan keadilan, sementara terkait dengan problem sistem hukum tentu solusinya bukan mengganti mana yang kurang atau mana yang bermasalah. Karena untuk menilai sebuah sistem yang harus dilihat adalah landasan atau pondasi hukum tersebut. Hukum yang dihasilkan dari akal manusia tentunya memiliki keterbasan karena parameternya adalah baik dan buruk menurut akal manusia (manfa’at), sehingga sifatnya sangat subjektif, cocok untuk sebagian manusia, bisa jadi tidak cocok untuk yang lain. Realitas hukum yang bisa diperjual belikan memberi gambaran bahwa hukum tersebut dijadikan sebagai komoditas bisnis, sehingga muncul istilah “hukum berpihak kepada siapa yang mampu membayar lebih besar”. Bila hal demikian terus terjadi, maka selamanya ketidakadilan tersebut akan selalu memihak kaum lemah. Sehingga solusi masalah sistem ini adalah dengan mengganti sistem hukum yang bersumber dari akal manusia (Sekuler) dengan sistem hukum yang bersumber dari Sang Pencipta (Islam)
Dengan melihat masalah ketidakadilan secara menyeluruh (komprehenship) kita akan memperoleh gambaran bahwa untuk melawan ketidakadilan yang harus dilakukan tidak sekedar mengumpulkan koin semata, namun perlu ada edukasi (pendidikan) yang terarah dan sistematis untuk memahami faktor penyebab ketidakadilan tersebut, mana yang menjadi masalah cabang, mana yang menjadi masalah utama. Selain itu harus dipahami pula apa solusi dari masalah yang terjadi serta bagaimana metode mewujudkan solusi tersebut, inilah yang disebut dengan berfikir ideologis (musta’nir). Dengan adanya hal ini upaya melawan ketidakadilan akan memberi solusi yang terarah dan mendasar. Kita tentu tidak berharap dukungan koin ke Prita, justru sekedar menyelematkan Prita dan korban lainnya dari ketidakadilan tapi tidak menyentuh problem utama penyebab ketidakadilan itu sendiri. Saatnya katakana tidak pada ketidakadilan. Dan mari melawannya secara ideologis !
Sumber: Catatan Wahyuddin
Labels: Analisis, Berita Dalam Negeri
