CSR : Upaya Cuci Tangan Pemerintah dan Pengusaha "Nakal"
(Dipublikasikan oleh Harian Ujungpandang Ekspres Edisi Rabu,16 Desember 2009)
Internalisasi Islam dalam Konsep CSR (Judul Asli)
Dalam kompleksitas kepentingan politik-ekonomi global saat ini, Indonesia suka atau tidak suka akan terjebak dalam arus globalisasi yang dikomandoi oleh ideologi kapitalisme barat. Krisis demi krisis tidak pernah berhenti menghantui bangunan perekonomian dunia yang pondasinya dibangun berdasarkan akal dan kepentingan manusia.
Itulah prinsip single bottom line yang menjadi roh dan motif bagi entitas-entitas bisnis yang ada. Prinsip ini menjadikan keuntungan ekonomi sebagai satu-satunya misi bertahan hidup tanpa mempertimbangkan sisi humanis dan ekologis. Hal ini memang telah dididik oleh sistem kapitalisme, bahkan sejak di ruang-ruang edukasi formal.
Secara empiris, justifikasi di atas diperkuat oleh hamparan fakta yang pernah berkecamuk di berbagai belahan dunia dan telah berbicara kepada kita bahwa sistem kapitalisme sama sekali tidak mampu mengurusi manajemen sosial lingkungan korporasi, bahkan di level negara sekalipun. Peristiwa Chernobyl (1986), konflik Brent Spar (1995) antara Shell dengan Greenpeace, konflik masyarakat lokal Delta Niger dengan pemerintah Nigeria dan Shell yang disertai dengan eksekusi tokoh lokal, Ken Saro Wiwa (1995), dan lainnya sebagai bagian kisah nyata betapa motif keuntungan ekonomi semata mampu merusak tatanan sosial dan lingkungan. Ada juga drama yang pernah, bahkan sampai sekarang terukir dalam sejarah dan telah mencoreng wajah “negeri kaya raya” ini. Konflik masyarakat adat Papua dengan PT Freeport Indonesia, tragedi semburan lumpur panas Porong, Siduarjo (2006-sekarang), dan masih banyak lagi.
Triple Bottom Line
Kemudian muncullah konsep Corporate Social Responsibility (CSR) yang berusaha meredam gejolak bisnis dengan sosial-lingkungan. Konsep ini mengajarkan perusahaan untuk tidak lagi menjadikan profit oriented sebagai satu-satunya tujuan dari aktivitas perusahaan. Dalam gagasan CSR, tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines.
Selain profit, bottom lines lainnya adalah planet dan people. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Namun, hal yang mengkhawatirkan adalah konsekuensi akuntansi yang dilahirkan dalam lingkungan kapitalistik pada akhirnya akan mendorong informasi yang disampaikannya mengandung nilai-nilai kapitalistik, kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil seseorang yang berdasarkan pada informasi ini juga mengandung nilai-nilai kapitalistik. Pada akhirnya informasi yang kapitalistik tersebut akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik pula (Triyuwono, 2006).
Akan tetapi, pihak korporasi terlihat seolah-olah “tidak ikhlas” menjalankan program CSR karena pelaksanaannya hanya dianggap sebagai upaya untuk “cari-cari muka” di hadapan stakeholder nonprimer demi menguatkan image dan legitimasi perusahaan, yang ujung-ujungnya kembali mengerucut pada profit oriented. Bahkan, kondisi tersebut tetap saja dianggap sah dan tidak tabu lagi terjadi di lingkungan kapitalistik. Tidak heran jika CSR kini menjadi obat baru sekaligus tameng bagi korporasi agar merasa aman untuk tetap beroperasi di masa yang akan datang. Itu artinya korporasi diperhadapkan pada kondisi “terpaksa” mempraktikkan CSR karena mereka mafhum bahwa ternyata masih ada benang merah yang dapat ditarik antara praktik CSR dengan motif utama (mungkin menjadi motif satu-satunya) bagi korporasi yaitu maksimalisasi profit yang selanjutnya berdampak terhadap keberlanjutan usahanya, makanya sebagian perusahaan nampak mudah menerima CSR, meskipun tidak sedikit yg keberatan dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU PT) tentang Aturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Akhirnya, semua kegiatan itu harus bermuara pada satu jalur, yaitu mengabdikan diri demi kepentingan pemodal. Singkatnya, secara inheren, CSR hanyalah perpanjangan tangan untuk kepentingan pemilik modal.
Perspektif Islam
Islam adalah agama sekaligus sebagai sebuah mabda’ (ideologi) yang memiliki ajaran yang paripurna. Islam tidak hanya mengatur ranah ritual, tetapi juga mampu menembus ruang-ruang publik termasuk sistem sosial dan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa Islam tetap layak, masih relevan, dan harus masuk ke wilayah publik.
Secara makro (politik-ekonomi), Islam memandang CSR sebagai sebuah desain untuk melepaskan fungsi negara terhadap rakyatnya dengan memikulkannya pada korporasi atau pengusaha, dengan kata lain terjadi liberalisasi di area ini. Hukum Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) warga negara secara menyeluruh, seperti sandang, pangan, dan papan. Caranya, jika orang-orang yang wajib menanggung nafkah seseorang tidak ada atau tidak mampu, baru negaralah melalui baitul mal yang wajib memenuhinya. Negara dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut yang berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syar’iy, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah swt, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS At Taubah :103).
Islam juga memandang bahwa negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Sebab hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang menjadi kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, miskin atau kaya. Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh baitul mal. Jadi, apabila setiap kebutuhan dasar di atas diserahkan kepada perusahaan atau pengusaha maka negara telah melepaskan tanggung jawab asasinya terhadap rakyat.
Internalisasi Nilai
Namun melihat kenyataannya, negara tidak cukup peduli terhadap rakyatnya dalam pemenuhan barang dan jasa primer, ditandai dengan liberalisasi di berbagai sektor primer tersebut, padahal Allah telah melarang dominasi individu dalam kepimilikan yang seharusnya dimiliki oleh umum. Rasulullah saw bersabda, “Kaum muslimin berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Dawud). Air di-qiyas-kan sebagai sumber daya air, padang rumput seperti hutan, dan api dianalogikan sebagai sumber daya energi (minyak, batu bara, dan lainnya).
Setiap pengusaha muslim juga wajib peduli terhadap lingkungan dan pegawainya. Allah melarang manusia untuk merusak lingkungannya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya” (QS Al A’raaf :56). Mengenai kewajiban untuk peduli terhadap pegawainya, ini sama saja dengan kewajiban menolong tetangga dan orang di sekitar kita. Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut.” (HR Al Bazzar).
Selain itu, sebagai seorang muslim yang memiliki kemampuan dan akses yang mudah, pengusaha juga berkewajiban melakukan penyadaran kepada masyarakat di sekelilingnya sesuai dengan firman-Nya, “Hendaklah ada sebagian dari kalian, menyeru kepada kebaikan, ber’amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran), dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran :104). Oleh karena itu, motif ekonomi bukanlah satu-satunya orientasi yang harus diburu oleh pihak korporasi. Seorang pengusaha harus menanamkan dalam dirinya bahwa pengabdian kepada Allah swt (baca: ibadah) merupakan nilai spiritual yang menjadi konsekuensi logis atas keberimanan seseorang. Inilah tahapan taktis (jangka pendek) yang harus dilalui demi menginternalisasi nilai Islam dalam penerapan CSR di negeri ini.
Adapun upaya strategis (jangka panjang), negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok, baik berupa barang yaitu sandang, pangan, dan papan, maupun dalam hal pemenuhan jasa seperti kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Di samping itu, negara harus meregulasi aturan berbisnis, seperti larangan mengeksploitasi SDA demi kepentingan swasta, apalagi yang berpotensi merusak ekologis, yang pada akhirnya tidak ada manfaat yang terasa oleh masyarakat. Padahal dari pemanfaatan potensi SDA tersebut, kekayaan melimpah akan diperoleh negara untuk meng-cover setiap pembiayaan dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat oleh negara. Bukan dengan jalan privatisasi BUMN, penyuburan perusahaan asing, swastanisasi lembaga pendidikan (BHP) dan kesehatan (BLU), penimbunan utang negara, dan berbagai macam metode keliru lainnya dalam mengurusi negara ini. Hanya dengan penerapan sistem (ideologi) Islamlah, keseimbangan makhluk dan alam dapat diraih. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
(Zoel Dirga Dinhi)
Cetak halaman ini
Internalisasi Islam dalam Konsep CSR (Judul Asli)
Dalam kompleksitas kepentingan politik-ekonomi global saat ini, Indonesia suka atau tidak suka akan terjebak dalam arus globalisasi yang dikomandoi oleh ideologi kapitalisme barat. Krisis demi krisis tidak pernah berhenti menghantui bangunan perekonomian dunia yang pondasinya dibangun berdasarkan akal dan kepentingan manusia.
Itulah prinsip single bottom line yang menjadi roh dan motif bagi entitas-entitas bisnis yang ada. Prinsip ini menjadikan keuntungan ekonomi sebagai satu-satunya misi bertahan hidup tanpa mempertimbangkan sisi humanis dan ekologis. Hal ini memang telah dididik oleh sistem kapitalisme, bahkan sejak di ruang-ruang edukasi formal.
Secara empiris, justifikasi di atas diperkuat oleh hamparan fakta yang pernah berkecamuk di berbagai belahan dunia dan telah berbicara kepada kita bahwa sistem kapitalisme sama sekali tidak mampu mengurusi manajemen sosial lingkungan korporasi, bahkan di level negara sekalipun. Peristiwa Chernobyl (1986), konflik Brent Spar (1995) antara Shell dengan Greenpeace, konflik masyarakat lokal Delta Niger dengan pemerintah Nigeria dan Shell yang disertai dengan eksekusi tokoh lokal, Ken Saro Wiwa (1995), dan lainnya sebagai bagian kisah nyata betapa motif keuntungan ekonomi semata mampu merusak tatanan sosial dan lingkungan. Ada juga drama yang pernah, bahkan sampai sekarang terukir dalam sejarah dan telah mencoreng wajah “negeri kaya raya” ini. Konflik masyarakat adat Papua dengan PT Freeport Indonesia, tragedi semburan lumpur panas Porong, Siduarjo (2006-sekarang), dan masih banyak lagi.
Triple Bottom Line
Kemudian muncullah konsep Corporate Social Responsibility (CSR) yang berusaha meredam gejolak bisnis dengan sosial-lingkungan. Konsep ini mengajarkan perusahaan untuk tidak lagi menjadikan profit oriented sebagai satu-satunya tujuan dari aktivitas perusahaan. Dalam gagasan CSR, tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines.
Selain profit, bottom lines lainnya adalah planet dan people. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Namun, hal yang mengkhawatirkan adalah konsekuensi akuntansi yang dilahirkan dalam lingkungan kapitalistik pada akhirnya akan mendorong informasi yang disampaikannya mengandung nilai-nilai kapitalistik, kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil seseorang yang berdasarkan pada informasi ini juga mengandung nilai-nilai kapitalistik. Pada akhirnya informasi yang kapitalistik tersebut akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik pula (Triyuwono, 2006).
Akan tetapi, pihak korporasi terlihat seolah-olah “tidak ikhlas” menjalankan program CSR karena pelaksanaannya hanya dianggap sebagai upaya untuk “cari-cari muka” di hadapan stakeholder nonprimer demi menguatkan image dan legitimasi perusahaan, yang ujung-ujungnya kembali mengerucut pada profit oriented. Bahkan, kondisi tersebut tetap saja dianggap sah dan tidak tabu lagi terjadi di lingkungan kapitalistik. Tidak heran jika CSR kini menjadi obat baru sekaligus tameng bagi korporasi agar merasa aman untuk tetap beroperasi di masa yang akan datang. Itu artinya korporasi diperhadapkan pada kondisi “terpaksa” mempraktikkan CSR karena mereka mafhum bahwa ternyata masih ada benang merah yang dapat ditarik antara praktik CSR dengan motif utama (mungkin menjadi motif satu-satunya) bagi korporasi yaitu maksimalisasi profit yang selanjutnya berdampak terhadap keberlanjutan usahanya, makanya sebagian perusahaan nampak mudah menerima CSR, meskipun tidak sedikit yg keberatan dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU PT) tentang Aturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Akhirnya, semua kegiatan itu harus bermuara pada satu jalur, yaitu mengabdikan diri demi kepentingan pemodal. Singkatnya, secara inheren, CSR hanyalah perpanjangan tangan untuk kepentingan pemilik modal.
Perspektif Islam
Islam adalah agama sekaligus sebagai sebuah mabda’ (ideologi) yang memiliki ajaran yang paripurna. Islam tidak hanya mengatur ranah ritual, tetapi juga mampu menembus ruang-ruang publik termasuk sistem sosial dan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa Islam tetap layak, masih relevan, dan harus masuk ke wilayah publik.
Secara makro (politik-ekonomi), Islam memandang CSR sebagai sebuah desain untuk melepaskan fungsi negara terhadap rakyatnya dengan memikulkannya pada korporasi atau pengusaha, dengan kata lain terjadi liberalisasi di area ini. Hukum Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) warga negara secara menyeluruh, seperti sandang, pangan, dan papan. Caranya, jika orang-orang yang wajib menanggung nafkah seseorang tidak ada atau tidak mampu, baru negaralah melalui baitul mal yang wajib memenuhinya. Negara dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut yang berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syar’iy, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah swt, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS At Taubah :103).
Islam juga memandang bahwa negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Sebab hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang menjadi kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, miskin atau kaya. Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh baitul mal. Jadi, apabila setiap kebutuhan dasar di atas diserahkan kepada perusahaan atau pengusaha maka negara telah melepaskan tanggung jawab asasinya terhadap rakyat.
Internalisasi Nilai
Namun melihat kenyataannya, negara tidak cukup peduli terhadap rakyatnya dalam pemenuhan barang dan jasa primer, ditandai dengan liberalisasi di berbagai sektor primer tersebut, padahal Allah telah melarang dominasi individu dalam kepimilikan yang seharusnya dimiliki oleh umum. Rasulullah saw bersabda, “Kaum muslimin berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Dawud). Air di-qiyas-kan sebagai sumber daya air, padang rumput seperti hutan, dan api dianalogikan sebagai sumber daya energi (minyak, batu bara, dan lainnya).
Setiap pengusaha muslim juga wajib peduli terhadap lingkungan dan pegawainya. Allah melarang manusia untuk merusak lingkungannya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya” (QS Al A’raaf :56). Mengenai kewajiban untuk peduli terhadap pegawainya, ini sama saja dengan kewajiban menolong tetangga dan orang di sekitar kita. Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut.” (HR Al Bazzar).
Selain itu, sebagai seorang muslim yang memiliki kemampuan dan akses yang mudah, pengusaha juga berkewajiban melakukan penyadaran kepada masyarakat di sekelilingnya sesuai dengan firman-Nya, “Hendaklah ada sebagian dari kalian, menyeru kepada kebaikan, ber’amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran), dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran :104). Oleh karena itu, motif ekonomi bukanlah satu-satunya orientasi yang harus diburu oleh pihak korporasi. Seorang pengusaha harus menanamkan dalam dirinya bahwa pengabdian kepada Allah swt (baca: ibadah) merupakan nilai spiritual yang menjadi konsekuensi logis atas keberimanan seseorang. Inilah tahapan taktis (jangka pendek) yang harus dilalui demi menginternalisasi nilai Islam dalam penerapan CSR di negeri ini.
Adapun upaya strategis (jangka panjang), negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok, baik berupa barang yaitu sandang, pangan, dan papan, maupun dalam hal pemenuhan jasa seperti kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Di samping itu, negara harus meregulasi aturan berbisnis, seperti larangan mengeksploitasi SDA demi kepentingan swasta, apalagi yang berpotensi merusak ekologis, yang pada akhirnya tidak ada manfaat yang terasa oleh masyarakat. Padahal dari pemanfaatan potensi SDA tersebut, kekayaan melimpah akan diperoleh negara untuk meng-cover setiap pembiayaan dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat oleh negara. Bukan dengan jalan privatisasi BUMN, penyuburan perusahaan asing, swastanisasi lembaga pendidikan (BHP) dan kesehatan (BLU), penimbunan utang negara, dan berbagai macam metode keliru lainnya dalam mengurusi negara ini. Hanya dengan penerapan sistem (ideologi) Islamlah, keseimbangan makhluk dan alam dapat diraih. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
(Zoel Dirga Dinhi)
