Arah Dakwah kita: Ishlah atau Taghyir..?
A. Kembali Kepada Al-Quran dan As-Sunnah
Islam adalah dien yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun masalah yang tidak diatur atau tidak dijelaskan (hukumnya) oleh Islam. Lebih dari itu, tidak ada yang samar dan kabur di dalam Islam, seluruhnya gamblang dan jelas.
Jika kita cermati nash-nash al-Quran maupun sunnah Rasulullah Saw.; kita akan mendapati bahwa Islam telah membedakan antara aktifitas dakwah yang sifatnya perbaikan parsial (ishlah juz’i) dan perubahan yang sifatnya mendasar (taghyir al-Judzri). Untuk perubahan yang sifatnya mendasar; Allah SWT telah berfirman:
“Demikianlah itu sebabnya, karena Allah sekali-kali tiada mengubah nikmat yang dianugrahkan-Nya pada suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS al-Anfal [8]: 53)
Syeikh Abdul Wadud Yusuf berkata: Sesungguhnya Allah mengubah keadaan suatu umat berdasarkan sebuah aturan yang tetap. Yaitu, nikmat Allah tidak akan hilang dari mereka jika mereka mengubah dien yang menyebabkan datangnya nikmat tersebut. Keadaan sulit juga tidak akan hilang kecuali apabila mereka berbuat dengan diri mereka sendiri dengan mengubah sistem kehidupan yang mendatangkan kesulitan, serta mengikuti dien yang mengantarkan pada kebaikan…
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum; kecuali jika mereka mengubah keadaan mereka sendiri” (QS ar-Ra’du [13]: 11)
Pengertian ayat ini adalah, sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan manusia/masyarakat atau negeri; kecuali mereka memulai untuk melakukan aktifitas perubahan. Apabila manusia melakukan perubahan dan berjalan pada jalan yang benar sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah, maka Allah akan mengganti keadaan mereka; dari satu keadaan menuju keadaan yang lain. Dengan begitu, terjadilah suatu perubahan.
Imam al-Qurthuby menyatakan, “Di dalam ayat tersebut, Allah SWT telah memberikan informasi, bahwa Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai terjadi pada mereka suatu aktifitas perubahan; bisa saja oleh mereka, atau orang yang mencermati mereka, atau siapa saja dari mereka karena sebab tertentu”.
Adapun untuk aktifitas perubahan yang sifatnya parsial (ishlah), Allah SWT telah berfirman:
“Bukankah suatu kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali orang yang menyuruh bersedekah atau dengan makruf atau memperdamaikan antara manusia” (an-Nisa’ [4]: 144)
Pengertian ishlah baina an-nas berbeda dengan ishlah an-nas. Sebab, ishlah an-nas dilakukan dengan perbaikan jiwa, atau pribadi; dan pada saat seseorang berjalan menuju jalan yang benar, maka ia telah berubah menjadi bagian orang yang sholih. Sedangkan ishlah baina an-nas itu terjadi ketika ada perselisihan atau percekkokan, baik antar pribadi, negara, maupun masyarakat; sebagaimana yang telah dikemukakan Imam al-Qurthuby: hal tersebut umum mencakup (perselisihan) dalam masalah darah, harta maupun kehormatan, dan dalam semua hal yang mengakibatkan saling tuduh dan berbeda pendapat antar kaum muslim.. Contoh lain dari perubahan parsial adalah ishlah untuk menghentikan peperangan antar bangsa atau kelompok yang sedang berselisih. Allah SWT berfirman:
“Jika dua golongan diantara orang-orang mukmin berperang, hendaklah kamu perdamaikan antara keduanya” (QS al-Hujurat [49]: 9);
dan masih banyak nash lain yang senada dengan ayat-ayat di atas.
Lalu, dalam konteks sekarang, apa yang dituntut oleh syariat atas kita.? Perubahan parsial atau perubahan mendasar.? Apakah kita cukup melakukan perbaikan-perbaikan yang sifatnya parsial; misalnya, dengan melakukan perbaikan di bidang sosial atau ekonomi saja.? Ataukah kita dituntut untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar.?
Pada dasarnya, yang menentukan apakah dakwah yang kita lakukan harus ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial) atau taghyir al-Judzri (perubahan yang sifatnya mendasar) adalah fakta yang menjadi objek dakwah itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah dakwah kita harus bersifat perbaikan (ishlah al-Juz’i) atau perubahan (ishlah al-Judzri), kita mesti melakukan dua hal. Pertama, kita harus melakukan kajian seksama atas fakta objek dakwah kita. Kedua, kita juga wajib mengkaji dalil-dalil syara’ yang berkaitan dengan fakta tersebut dan menentukan hukum yang tepat atas fakta tersebut. Dengan cara semacam ini, kita dapat menentukan apakah dakwah kita mesti bersifat ishlah atau taghyir.
Tentunya suatu perubahan, baik yang bersifat individual maupun kolektif (masyarakat) harus dimulai dari asasnya. Sebab, asaslah yang melahirkan setiap pemikiran dan aturan yang mengatur perilaku manusia, sekaligus yang menentukan persepsi manusia atas kehidupan ini. Lebih dari itu, asas dan semua hal yang berhubungan dengannya – pemikiran-pemikiran maupun hukum-hukum cabang – merupakan faktor yang menentukan apakah manusia bisa bangkit atau mundur, maju atau terbelakang, dan sejahtera atau sengsara.
Pada dasarnya, landasan hidup seorang Muslim adalah aqidah Islam. Tidak hanya itu saja, aqidah Islam merupakan asas bagi partai politik, negara, masyarakat serta seluruh interaksi yang ada di dalamnya; baik yang menyangkut aspek pemerintahan dan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. memulai dakwah beliau dengan dakwah pada aqidah Islam terlebih dahulu di Makkah sebelum beliau mendirikan Daulah Islamiyyah di Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan aqidah Islam yang hendak diwujudkan oleh Rasulullah Saw. Ketika sebagian orang telah masuk Islam, dan aqidah Islam telah tertanam kuat dalam diri mereka, beliau Saw. juga memperhatikan pemikiran serta kecenderungan mereka. Ini dilakukan oleh Rasulullah Saw. untuk memastikan bahwa aqidah tersebut telah menyatu di dalam diri mereka. Setelah beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyyah di Madinah, beliau mengajarkan ayat-ayat Allah, dan menjelaskan hukum-hukum Islam kepada kaum Muslim. Dengan demikian, dakwah beliau merupakan dakwah yang sifatnya total dan menyeluruh; dakwah beliau bukanlah dakwah yang sifatnya islah juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial)
Sedangkan ishlah; meskipun di dalamnya terdapat unsur perubahan (taghyir), akan tetapi ishlah lebih berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya cabang, bukan asas. Misalnya, dakwah yang ditujukan untuk keselamatan, meluruskan dan menjaga kemurnian asas (aqidah). Oleh karena itu, apabila asas tersebut – aqidah Islam – sudah ada, namun terkotori dengan bid’ah, khurafat, filsafat, atau bahkan agama lain, maka perbaikan yang mesti dilakukan adalah ishlah, bukan taghyir. Aktifitas yang dilakukan adalah mengupayakan mengembalikan kemurnian Islam. Misalnya, bila ada seorang Muslim yang terpengaruh oleh tsaqofah barat, maka tindakan yang mesti dilakukan padanya adalah membersihkan aqidahnya dari kotoran yang ditimbulkan oleh tsaqofah barat tersebut. Setelah aqidahnya bersih, tentunya dia tidak akan menerima HAM, liberalisme, demokrasi, seruan untuk menanggalkan hukum pidana – seperti potong tangan, qishash – dalam Islam, dan lain sebagainya. Ishlah juga dilakukan terhadap seorang Muslim yang melakukan kemaksiyatan kepada Allah.
Begitu pula ketika Khilafah Islamiyyah. Ketika Khilafah Islamiyyah lalai terhadap jihad serta futuhat – seperti halnya ketika dihentikannya futufat di Eropa padahal pasukan kaum Muslim telah mengepung dinding kota Wina pada abad 11 Hijriyyah –, maka, dalam keadaan seperti ini yang dilakukan bukan mengubah (taghyir) daulah yang ada dan mendirikan daulah yang baru. Namun, yang dilakukan adalah melakukan perbaikan atas Khilafah Islamiyyah pada waktu itu agar tidak melalaikan jihad serta meremehkannya. Mengapa.? Sebab, Khilafah Islamiyyah ketika itu asasnya tetap aqidah Islam, namun ada pemahaman yang kurang tepat atau adanya kelalaian atas sebagian hukum Islam, dalam hal ini adalah hukum jihad.
B. Bagaimana menentukan Aktifitas Dakwah Kita
Untuk menentukan dengan tepat aktifitas dakwah kita, mesti memiliah terlebih dahulu sasaran-sasaran dakwah kita. Sasaran dakwah dapat dipilah menjadi dua; individu dan masyarakat.
Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi menjadi dua kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita adalah orang kafir, maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang bersifat taghyir (mengubah secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang sifatnya parsial). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa asas kehidupan orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah selain Islam adalah aqidah bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran cabang maupun hukum yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi semacam ini, perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang bathil tersebut dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika mereka telah menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya kita ajarkan kepada mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan agar mereka terikat dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis dari aqidah Islam yang ia peluk.
Apabila sasaran dakwah adalah orang Muslim, maka kita hanya mengubah hal-hal yang cabang atau membersihkan asas – yakni aqidah Islam yang pada dasarnya masih melekat erat pada dirinya. Oleh karena itu, aktifitas dakwah yang mesti dilakukan bagi orang Muslim haruslah bersifat ishlah, bukan taghyir.
Di atas adalah perbaikan individu. Lantas, bagaimana dengan perbaikan masyarakat.? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita mesti membahas definisi masyarakat. Menurut Syeikh Taqiyyudin an-Nabhany, masyarakat adalah: “kumpulan manusia yang di dalamnya terdapat interaksi yang bersifat terus menerus”. Interaksi tersebut terjadi karena ada kesamaan kepentingan yang ingin mereka raih; baik kepentingan tersebut bersifat mendatangkan kemashlahatan, maupun menolak kemudlorotan. Dalam menunaikan kepentingannya, manusia berbeda dengan hewan. Hewan tidak berjalan pada aturan-aturan tertentu dalam memenuhi kepentingannya. Sedangkan manusia selalu berjalan berdasarkan tatacara (kaifiyyah) tertentu yang muncul dari mafahimnya tentang kehidupan. Mafahim itu pula yang membentuk perasaan-perasaan (masyaa’ir), serta tatacara dalam melakukan aktifitas. Selanjutnya berdasarkan mafahim serta perasaan-perasaan tersebut manusia mengarungi kehidupan. Dengan begitu, terjadilah interaksi antar manusia di atas landasan pemikiran-pemikiran (yang membentuk mafahim), perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan, bahwa unsur pembentuk masyarakat ada empat, yaitu: manusia, pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan.
Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa Rasul Saw. adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di dalamnya ada ahlu adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam dan pemikiran-pemikiran cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir Islam (perasaan Islam), dan hukum yang berlaku adalah adalah syariat Islam; baik yang diterapkan secara individu maupun yang diterapkan melalui negara.
Kalau kita cermati secara jernih dan mendalam, maka masyarakat yang hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang kurang lebih 12 abad lamanya adalah masyarakat yang sama dengan masyarakat pada masa Nabi Saw.; yakni, masyarakat Islam. Sebab, masyarakatnya terdiri dari kaum Muslim – di dalamnya ada ahlu adz-Dzimmah, landasan kehidupan masyarakat adalah aqidah Islam sebagai pemikiran asasi, serta pemikiran-pemikiran cabang lain, perasaan mereka adalah perasaan Islami dan hukum yang berlaku adalah syariat Islam. Oleh karena itu, jika di dalam masyarakat Islam seperti ini terjadi penyimpangan atau keteledoran dalam penerapan syariat Islam, maka aktifitas dakwah yang mesti dilakukan adalah dakwah yang bersifat ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial). Misalnya, ketika Khilafah Islamiyyah melalaikan jihad, maka yang dilakukan adalah memberikan nasihat pada Khalifah untuk kembali menjadikan jihad sebagai aktifitas utama daulah dalam menyebarkan Islam, dan bukan dengan menghancurkan daulah, lalu mendirikan daulah yang baru.
Dalam konteks sekarang, ketika masyarakat di mana kita hidup bukanlah masyarakat Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka, fokus aktifitas dakwah kita bukanlah ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial); akan tetapi haruslah aktifitas taghyir al-Judzri (perubahan yang sifatnya menyeluruh). Yakni, mengubah masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat Islam.
Ditulis Oleh: Mohammad Mushthofa Ramadlan dalam Kitab “Reformasi Vs Revolusi”
Cetak halaman ini
Islam adalah dien yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun masalah yang tidak diatur atau tidak dijelaskan (hukumnya) oleh Islam. Lebih dari itu, tidak ada yang samar dan kabur di dalam Islam, seluruhnya gamblang dan jelas.
Jika kita cermati nash-nash al-Quran maupun sunnah Rasulullah Saw.; kita akan mendapati bahwa Islam telah membedakan antara aktifitas dakwah yang sifatnya perbaikan parsial (ishlah juz’i) dan perubahan yang sifatnya mendasar (taghyir al-Judzri). Untuk perubahan yang sifatnya mendasar; Allah SWT telah berfirman:
“Demikianlah itu sebabnya, karena Allah sekali-kali tiada mengubah nikmat yang dianugrahkan-Nya pada suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS al-Anfal [8]: 53)
Syeikh Abdul Wadud Yusuf berkata: Sesungguhnya Allah mengubah keadaan suatu umat berdasarkan sebuah aturan yang tetap. Yaitu, nikmat Allah tidak akan hilang dari mereka jika mereka mengubah dien yang menyebabkan datangnya nikmat tersebut. Keadaan sulit juga tidak akan hilang kecuali apabila mereka berbuat dengan diri mereka sendiri dengan mengubah sistem kehidupan yang mendatangkan kesulitan, serta mengikuti dien yang mengantarkan pada kebaikan…
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum; kecuali jika mereka mengubah keadaan mereka sendiri” (QS ar-Ra’du [13]: 11)
Pengertian ayat ini adalah, sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan manusia/masyarakat atau negeri; kecuali mereka memulai untuk melakukan aktifitas perubahan. Apabila manusia melakukan perubahan dan berjalan pada jalan yang benar sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah, maka Allah akan mengganti keadaan mereka; dari satu keadaan menuju keadaan yang lain. Dengan begitu, terjadilah suatu perubahan.
Imam al-Qurthuby menyatakan, “Di dalam ayat tersebut, Allah SWT telah memberikan informasi, bahwa Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai terjadi pada mereka suatu aktifitas perubahan; bisa saja oleh mereka, atau orang yang mencermati mereka, atau siapa saja dari mereka karena sebab tertentu”.
Adapun untuk aktifitas perubahan yang sifatnya parsial (ishlah), Allah SWT telah berfirman:
“Bukankah suatu kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali orang yang menyuruh bersedekah atau dengan makruf atau memperdamaikan antara manusia” (an-Nisa’ [4]: 144)
Pengertian ishlah baina an-nas berbeda dengan ishlah an-nas. Sebab, ishlah an-nas dilakukan dengan perbaikan jiwa, atau pribadi; dan pada saat seseorang berjalan menuju jalan yang benar, maka ia telah berubah menjadi bagian orang yang sholih. Sedangkan ishlah baina an-nas itu terjadi ketika ada perselisihan atau percekkokan, baik antar pribadi, negara, maupun masyarakat; sebagaimana yang telah dikemukakan Imam al-Qurthuby: hal tersebut umum mencakup (perselisihan) dalam masalah darah, harta maupun kehormatan, dan dalam semua hal yang mengakibatkan saling tuduh dan berbeda pendapat antar kaum muslim.. Contoh lain dari perubahan parsial adalah ishlah untuk menghentikan peperangan antar bangsa atau kelompok yang sedang berselisih. Allah SWT berfirman:
“Jika dua golongan diantara orang-orang mukmin berperang, hendaklah kamu perdamaikan antara keduanya” (QS al-Hujurat [49]: 9);
dan masih banyak nash lain yang senada dengan ayat-ayat di atas.
Lalu, dalam konteks sekarang, apa yang dituntut oleh syariat atas kita.? Perubahan parsial atau perubahan mendasar.? Apakah kita cukup melakukan perbaikan-perbaikan yang sifatnya parsial; misalnya, dengan melakukan perbaikan di bidang sosial atau ekonomi saja.? Ataukah kita dituntut untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar.?
Pada dasarnya, yang menentukan apakah dakwah yang kita lakukan harus ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial) atau taghyir al-Judzri (perubahan yang sifatnya mendasar) adalah fakta yang menjadi objek dakwah itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah dakwah kita harus bersifat perbaikan (ishlah al-Juz’i) atau perubahan (ishlah al-Judzri), kita mesti melakukan dua hal. Pertama, kita harus melakukan kajian seksama atas fakta objek dakwah kita. Kedua, kita juga wajib mengkaji dalil-dalil syara’ yang berkaitan dengan fakta tersebut dan menentukan hukum yang tepat atas fakta tersebut. Dengan cara semacam ini, kita dapat menentukan apakah dakwah kita mesti bersifat ishlah atau taghyir.
Tentunya suatu perubahan, baik yang bersifat individual maupun kolektif (masyarakat) harus dimulai dari asasnya. Sebab, asaslah yang melahirkan setiap pemikiran dan aturan yang mengatur perilaku manusia, sekaligus yang menentukan persepsi manusia atas kehidupan ini. Lebih dari itu, asas dan semua hal yang berhubungan dengannya – pemikiran-pemikiran maupun hukum-hukum cabang – merupakan faktor yang menentukan apakah manusia bisa bangkit atau mundur, maju atau terbelakang, dan sejahtera atau sengsara.
Pada dasarnya, landasan hidup seorang Muslim adalah aqidah Islam. Tidak hanya itu saja, aqidah Islam merupakan asas bagi partai politik, negara, masyarakat serta seluruh interaksi yang ada di dalamnya; baik yang menyangkut aspek pemerintahan dan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. memulai dakwah beliau dengan dakwah pada aqidah Islam terlebih dahulu di Makkah sebelum beliau mendirikan Daulah Islamiyyah di Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan aqidah Islam yang hendak diwujudkan oleh Rasulullah Saw. Ketika sebagian orang telah masuk Islam, dan aqidah Islam telah tertanam kuat dalam diri mereka, beliau Saw. juga memperhatikan pemikiran serta kecenderungan mereka. Ini dilakukan oleh Rasulullah Saw. untuk memastikan bahwa aqidah tersebut telah menyatu di dalam diri mereka. Setelah beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyyah di Madinah, beliau mengajarkan ayat-ayat Allah, dan menjelaskan hukum-hukum Islam kepada kaum Muslim. Dengan demikian, dakwah beliau merupakan dakwah yang sifatnya total dan menyeluruh; dakwah beliau bukanlah dakwah yang sifatnya islah juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial)
Sedangkan ishlah; meskipun di dalamnya terdapat unsur perubahan (taghyir), akan tetapi ishlah lebih berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya cabang, bukan asas. Misalnya, dakwah yang ditujukan untuk keselamatan, meluruskan dan menjaga kemurnian asas (aqidah). Oleh karena itu, apabila asas tersebut – aqidah Islam – sudah ada, namun terkotori dengan bid’ah, khurafat, filsafat, atau bahkan agama lain, maka perbaikan yang mesti dilakukan adalah ishlah, bukan taghyir. Aktifitas yang dilakukan adalah mengupayakan mengembalikan kemurnian Islam. Misalnya, bila ada seorang Muslim yang terpengaruh oleh tsaqofah barat, maka tindakan yang mesti dilakukan padanya adalah membersihkan aqidahnya dari kotoran yang ditimbulkan oleh tsaqofah barat tersebut. Setelah aqidahnya bersih, tentunya dia tidak akan menerima HAM, liberalisme, demokrasi, seruan untuk menanggalkan hukum pidana – seperti potong tangan, qishash – dalam Islam, dan lain sebagainya. Ishlah juga dilakukan terhadap seorang Muslim yang melakukan kemaksiyatan kepada Allah.
Begitu pula ketika Khilafah Islamiyyah. Ketika Khilafah Islamiyyah lalai terhadap jihad serta futuhat – seperti halnya ketika dihentikannya futufat di Eropa padahal pasukan kaum Muslim telah mengepung dinding kota Wina pada abad 11 Hijriyyah –, maka, dalam keadaan seperti ini yang dilakukan bukan mengubah (taghyir) daulah yang ada dan mendirikan daulah yang baru. Namun, yang dilakukan adalah melakukan perbaikan atas Khilafah Islamiyyah pada waktu itu agar tidak melalaikan jihad serta meremehkannya. Mengapa.? Sebab, Khilafah Islamiyyah ketika itu asasnya tetap aqidah Islam, namun ada pemahaman yang kurang tepat atau adanya kelalaian atas sebagian hukum Islam, dalam hal ini adalah hukum jihad.
B. Bagaimana menentukan Aktifitas Dakwah Kita
Untuk menentukan dengan tepat aktifitas dakwah kita, mesti memiliah terlebih dahulu sasaran-sasaran dakwah kita. Sasaran dakwah dapat dipilah menjadi dua; individu dan masyarakat.
Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi menjadi dua kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita adalah orang kafir, maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang bersifat taghyir (mengubah secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang sifatnya parsial). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa asas kehidupan orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah selain Islam adalah aqidah bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran cabang maupun hukum yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi semacam ini, perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang bathil tersebut dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika mereka telah menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya kita ajarkan kepada mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan agar mereka terikat dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis dari aqidah Islam yang ia peluk.
Apabila sasaran dakwah adalah orang Muslim, maka kita hanya mengubah hal-hal yang cabang atau membersihkan asas – yakni aqidah Islam yang pada dasarnya masih melekat erat pada dirinya. Oleh karena itu, aktifitas dakwah yang mesti dilakukan bagi orang Muslim haruslah bersifat ishlah, bukan taghyir.
Di atas adalah perbaikan individu. Lantas, bagaimana dengan perbaikan masyarakat.? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita mesti membahas definisi masyarakat. Menurut Syeikh Taqiyyudin an-Nabhany, masyarakat adalah: “kumpulan manusia yang di dalamnya terdapat interaksi yang bersifat terus menerus”. Interaksi tersebut terjadi karena ada kesamaan kepentingan yang ingin mereka raih; baik kepentingan tersebut bersifat mendatangkan kemashlahatan, maupun menolak kemudlorotan. Dalam menunaikan kepentingannya, manusia berbeda dengan hewan. Hewan tidak berjalan pada aturan-aturan tertentu dalam memenuhi kepentingannya. Sedangkan manusia selalu berjalan berdasarkan tatacara (kaifiyyah) tertentu yang muncul dari mafahimnya tentang kehidupan. Mafahim itu pula yang membentuk perasaan-perasaan (masyaa’ir), serta tatacara dalam melakukan aktifitas. Selanjutnya berdasarkan mafahim serta perasaan-perasaan tersebut manusia mengarungi kehidupan. Dengan begitu, terjadilah interaksi antar manusia di atas landasan pemikiran-pemikiran (yang membentuk mafahim), perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan, bahwa unsur pembentuk masyarakat ada empat, yaitu: manusia, pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan.
Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa Rasul Saw. adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di dalamnya ada ahlu adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam dan pemikiran-pemikiran cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir Islam (perasaan Islam), dan hukum yang berlaku adalah adalah syariat Islam; baik yang diterapkan secara individu maupun yang diterapkan melalui negara.
Kalau kita cermati secara jernih dan mendalam, maka masyarakat yang hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang kurang lebih 12 abad lamanya adalah masyarakat yang sama dengan masyarakat pada masa Nabi Saw.; yakni, masyarakat Islam. Sebab, masyarakatnya terdiri dari kaum Muslim – di dalamnya ada ahlu adz-Dzimmah, landasan kehidupan masyarakat adalah aqidah Islam sebagai pemikiran asasi, serta pemikiran-pemikiran cabang lain, perasaan mereka adalah perasaan Islami dan hukum yang berlaku adalah syariat Islam. Oleh karena itu, jika di dalam masyarakat Islam seperti ini terjadi penyimpangan atau keteledoran dalam penerapan syariat Islam, maka aktifitas dakwah yang mesti dilakukan adalah dakwah yang bersifat ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial). Misalnya, ketika Khilafah Islamiyyah melalaikan jihad, maka yang dilakukan adalah memberikan nasihat pada Khalifah untuk kembali menjadikan jihad sebagai aktifitas utama daulah dalam menyebarkan Islam, dan bukan dengan menghancurkan daulah, lalu mendirikan daulah yang baru.
Dalam konteks sekarang, ketika masyarakat di mana kita hidup bukanlah masyarakat Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka, fokus aktifitas dakwah kita bukanlah ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial); akan tetapi haruslah aktifitas taghyir al-Judzri (perubahan yang sifatnya menyeluruh). Yakni, mengubah masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat Islam.
Ditulis Oleh: Mohammad Mushthofa Ramadlan dalam Kitab “Reformasi Vs Revolusi”
Labels: Dakwah
