TERORISME ADALAH OPERASI INTELIJEN
Terorisme, menurut bahasa bermakna “menciptakan ketakutan” (akhâfa), atau “membuat kengerian/kegentaran” (fazza’a). Akan tetapi, makna bahasa ini telah mengalami transformasi makna sehingga menjadi terminologi (istilah) yang baru. Dinas Intelijen Amerika dan Dinas Intelijen Inggris, dalam sebuah seminar yang diadakan untuk membahas makna terorisme pada tahun 1979, telah menyepakati bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasaan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis.
Setelah seminar itu, diselenggarakanlah berbagai konferensi dan seminar internasional, serta ditetapkan berbagai hukum dan undang-undang untuk membatasi aksi-aksi yang dapat digolongkan sebagai terorisme. Berbagai hukum dan undang-undang dibuat untuk menerangkan kategori berbagai gerakan, kelompok, dan partai yang melakukan aksi terorisme; serta untuk menentukan negara-negara mana yang mensponsori terorisme. Semua aturan ini, menurut klaim mereka, adalah dasar untuk mengambil sejumlah tindakan yang diperlukan guna memerangi terorisme dan membatasi gerak-geriknya (reproaktif).
Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif.
Sebagai contoh, kita melihat Amerika menganggap serangan di Mumbai India adalah aksi terorisme, sementara agresi mereka ke irak dan afganistan atau agresi israel atas palestina tidak dianggap aksi terorisme. Contoh lain, Amerika pada awalnya mencap pemboman gedung Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma beberapa tahun lalu sebagai aksi terorisme. Akan tetapi, ketika terbukti bahwa pelaku pemboman adalah kalangan milisi Amerika sendiri, pemboman yang semula dianggap aksi terorisme kemudian hanya dianggap sebagai aksi kriminal belaka.
Amerika secara khusus menyifati sebagian gerakan sebagai “gerakan perlawanan rakyat”, misalnya gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Pembebasan Irlandia (IRA), dan lain-lain. Para anggota dari gerakan-gerakan ini, ketika ditangkap, diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai dengan Protokol Nomor 1 tahun 1977 yang ditambahkan pada Konvensi Genewa. Akan tetapi, Amerika menyifati setiap gerakan yang bertentangan dengan kepentingan Amerika atau kepentingan negara-negara antek Amerika sebagai gerakan terorisme. Nama gerakan tersebut pun kemudian dicantumkan dalam daftar organisasi teroris yang dikeluarkan secara periodik oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Gerakan ini, misalnya, adalah sebagian besar gerakan-gerakan Islam yang ada di Mesir, Indonesia, Pakistan, Palestina, Aljazair, dan lain-lain.
Sejak dekade 70-an, Amerika memang telah merekayasa opini umum internasional dan regional (di Amerika) untuk melawan terorisme (war on terrorism), seperti yang kita lihat, dan melawan orang yang dicap sebagai teroris. Amerika telah mengeksploitasi aksi-aksi yang dilakukan untuk merealisasikan target-target sipil, baik yang dilakukan oleh berbagai gerakan politik atau gerakan militer yang tidak mempunyai hubungan dengan Amerika, maupun yang dilakukan oleh berbagai gerakan yang mempunyai hubungan dengan Amerika (CIA). Banyak dokumen yang menerangkan bahwa aksi-aksi yang dicap sebagai aksi terorisme sebenarnya didalangi oleh intel-intel CIA sendiri, seperti peledakan menara kembar WTC dan Pentagon tahun 2001 lalu. Amerika telah mengeksploitasi peristiwa peledakan tersebut, dengan memaksa negara-negara lain untuk ikut bersama mereka memerangi terorisme dengan cara membuat undang-undang anti terorime.
Berdasarkan undang-undang, keputusan, dan rekomendasi yang ada, Amerika bisa memata-matai dan menghantam siapa saja yang dicapnya sebagai teroris; baik individu, organisasi, partai, ataupun negara.
Karena Islam telah dinominasikan oleh Amerika untuk menjadi musuhnya setelah runtuhnya Komunisme, maka negeri-negeri Islam menjadi wilayah terpenting yang akan menjadi sasaran Amerika dalam penerapan undang-undang terorisme. Tujuannya adalah untuk mengukuhkan cengkeraman Amerika di negeri-negeri Islam itu serta melestarikannya agar tetap berada di bawah hegemoni Amerika. Alasannya, kaum Muslim memang telah mulai merintis jalan menuju kebangkitan untuk mengembalikan Khilafah. Dalam hal ini, Amerika dan negara-negara kafir lainnya telah memahami benar bahwa Khilafah adalah satu-satunya negara yang berkemampuan untuk meluluhlantakkan ideologi Kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika.
Oleh karena itu, hampir tidak ada satu pun gerakan Islam yang ada saat ini, kecuali harus siap-siap dicap sebagai teroris oleh Amerika. Cap ini pun bahkan tidak dapat dihindarkan oleh gerakan-gerakan dan partai-partai Islam yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai target-targetnya. Sebab, Amerika telah menganggap bahwa aktivitas semua gerakan, partai, atau negara yang menyerukan kembalinya Islam adalah aksi “teroris” yang bertentangan dengan Undang-Undang Internasional. Selanjutnya, berdasarkan justifikasi ini dan berdasarkan ketentuan yang harus dijalankan oleh negara-negara penandatangan Undang-Undang Terorisme, Amerika dapat menghimpun kekuatan negara-negara tersebut di bawah kepemimpinannya untuk memukul berbagai gerakan, partai, atau negara tersebut.
Terorisme dan Operasi Intelijen
Jika dicermati, akar terorisme bisa karena beberapa kemungkinan. Pertama: Adanya pemahaman agama yang keliru. Dalam hal ini, harus diakui bahwa ada sebagian orang/kelompok Islam yang menjadikan teror atau kekerasan atas nama jihad sebagai bagian dari upaya melakukan perubahan masyarakat. Kedua: Adanya faktor luar berupa terorisme yang di lakukan oleh negara-negara penjajah seperti AS dan sekutunya di negeri-negeri Islam. Inilah yang disebut dengan terorisme negara (state terrorism). Terorisme negara ini telah menimbulkan ketidakadilan yang memicu kebencian yang mendalam di Dunia Islam sehingga mendorong sejumlah aksi-aksi perlawanan tidak hanya di wilayah kekerasan, tetapi juga di sejumlah wilayah lain.
Ketiga: Adanya operasi intelijen demi melakukan stigmatisasi dan monsterisasi terhadap Islam dan kaum Muslim. Diakui atau tidak, operasi ini sering dilakukan oleh intelijen asing secara langsung maupun dengan ‘meminjam’ tangan-tangan lain. Paling tidak, itulah yang sering dilontarkan oleh Mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Dr. AC Manulang. Terkait dengan kasus “Bom Marrriot 2”, misalnya, AC Manulang mensinyalir adanya intervensi intelijen asing dalam berbagai operasi yang dilakukan intelijen negeri ini. Dalam statmennya beliau menyebutkan bahwa Intelijen asing (terutama intelejen Amerika) sangat berperan di negeri ini. Intelijen asing itulah yang memegang peranan utama. Merekalah kontraktor dan sponsornya. Peran intel asing tersebut, menurut dia, sangat signifikan hingga mengatur operasi intelijen dalam negeri. Bahkan, data-data penting dikuasai oleh mereka. Mengenai pendanaan, dikatakan Manulang, juga disokong dana dari luar negeri. (KOMPAS, 20 Agustus 2009)
Dari tiga kemungkinan di atas, sebagian kalangan, termasuk Pemerintah, sayangnya terkesan hanya fokus pada kemungkinan pertama saja. Sebaliknya, dua kemungkinan terakhir diabaikan. Padahal dua kemungkin terakhir inilah yang pada faktanya menjadi faktor utama dari mencuatnya kasus-kasus terorisme
Berdasarkan fakta dan wacana yang beredar, Analisa terhadap dalang aksi terorisme berupa serangkaian pengeboman di negeri ini setidaknya mengarah kepada empat kelompok ;
1. Kelompok sparatis. ini adalah analisis terlemah mengingat beberapa alasan. Pertama, sejauh ini tidak ada pengakuan maupun fakta pengungkapan kasus yang mengarahkan bahwa pelaku tiondak terorisme adalah kkelompok sparatis. kedua, aksi teror dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teror biasanya bersifat lokality hanya di lingkup daerah tempat mereka berada. Seperti aksi teror yang dilakukan oleh kelompok sparatis terhadap PT Freport
2. Kelompok kriminal. Beberapa saat setelah peledakan di Kuningan Prsiden SBY langsung menggelar jumpa pers mengecam aksi teror tersebut sekaligus melempar isu bahwa peledakan tersebut disinyalir di lakukan oleh pihak-pihak yang tidak puas terhadap hasil pemilu. belakangan kepolisian kemudian menepis kemungkinan ini dengan menyebut bahwa peledakan JW Marriot dan Ritz-Carlton dilakukan oleh kelompok jamaah islamiyah.
3. Kelompok teroris Internasional. Inilah Tudingan terkuat saat ini bahwa dalang aksi terorisme yang marak satu dasawarsa kebelakang adalah kelompok teroris Alqaeda dan jaringannya di asia tenggara yakni Jamaah Islamiyah (JI). Walaupun landasan tudingan ini adalah mayoritas adalah laporan intelijen dan olah fakta lapangan yang masih sepotong-potong. Itupun patut ti sermati dari sisi proses pengungkapannya serta dianalisis dari sisi hasil pengungkapan. Dalam pengungkapan kasus yang dilakukan pihak kepolisian kita menemukan banyak sekali keganjilan disana-sini. Misalnya proses penyergapan terhadap tersangka teroris di temanggung yang menurut pengamat intelijen Herman Ibrahim penuh dengan intrik daN konspirasi. Kemudian kejadian di jati asih tidak kalah ganjilnya, Jose Rizal Jurnalis dari presidium Mer-C menyebutkan bahwa kalau seorang Air dan Eko yang menurut saksi mata masih shalat Jumat di Solo bisa dikatakan tertembak pada Sabtu jam 2 pagi di Jatiasih, Bekasi. bagaimana mungkin dua orang yang mengangkut bom ratusan kilogram bisa secepat itu tiba di Bekasi, dan langsung tertembak di lokasi.
Lebih jauh lagi tidak ditemukan korelasi antara motivasi dan aksi terorisme. Kalau kita percaya bahwa semua bom itu dilakukan oleh Jamaah Islamiyah dalam rangka apa yang mereka katakan sebagai perlawanan terhadap Amerika Serikat (AS), kenapa sejak bom Bali 1 hingga bom Ritz dan Marriott baru lalu tidak ada satu pun instalasi penting milik Amerika di Indonesia yang terkena. Bom pertama meledak di jalan Legian, Denpasar, Bali. Kenapa tidak terjadi di Jakarta? Bukankah instalasi penting AS itu ada di Jakarta? Memang ada bom di gedung konsulat AS di Denpasar, tapi itu kecil saja, paling cuma mematahkan satu dua ranting pohon.
Kemudian ketika giliran di Jakarta, kenapa Hotel Marriott yang dibom? Marriott itu bukan hotel Amerika. Itu hotel milik orang Indonesia yang kebetulan dioperasikan oleh jaringan manajemen Hotel Marriott yang memang berasal dari AS. Kenapa bukan gedung kedutaan? Pas gedung kedutaan, kenapa gedung kedutaan Australia? Itu pun hanya di depannya; bukan gedung Kedubes Amerika?
Yang lebih aneh lagi, bom Bali dua. Apa hubungan Raja’s Restoran dan pantai Jimbaran dengan Amerika? Dari 22 orang yang meninggal di pantai Jimbaran, 19 orang di antaranya Muslim. Begitu juga apa hubungan Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott dengan AS. Jadi, aksi-aksi pemboman itu sama sekali tidak nyambung dengan motivasi yang katanya untuk melawan AS. Bukan hanya instalasi penting milik AS, orang Amerika-nya juga tidak ada yang kena. Jangankan meninggal, yang luka saja tidak ada.
4. Aksi terorime merupakan bentuk operasi intelijen Asing.
Analisis bahwa terorisme merupakan bagian dari operasi intelejen sangatlah kuat. Mantan kepala BAKIN Dr. AC Manulang dengan tegas menyampaikan hal ini bahwa terorisme merupakan bagian dari operasi intelijen. Menurut Manulang, setelah perang dingin antara kapitalisme dan komunisme usai, Amerika sebagai pionir dari kapitalisme mencari musuh baru, yaitu Islam. Inilah yang sedang terjadi saat ini. Kenapa harus di Indonesia? Manulang menambahkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang 230 juta dan mayoritas Islam merupakan potensi dan sekaligus bahaya besar untuk kapitalisme. Karena itulah, mereka melemahkan semua potensi yang akan menghambat kapitalisme.
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Menegarai bahwa ada operasi intelijen yang disebut dengan istilah enam i yang ingin pencitraburukan Islam atau aktivis Islam. Yaitu infiltrasi terhadap kelompok-kelompok Islam, yaitu mereka yang memiliki semangat perlawanan terhadap Amerika. Kemudian terhadap kelompok itu dilakukan proses radikalisasi agar mereka lebih bersemangat lagi untuk melawan dan berkorban. Lantas mereka diprovokasi untuk melakukan aksi (sambil dilakukan disinformasi, misalnya bahwa Hotel Marriott adalah milik Amerika, bahwa di Pulau Bali banyak turis dan tentara AS, dan sebagainya yang buat orang tidak tahu mudah sekali dipercaya) berupa tindakan-tindakan pengeboman dan sebagainya sehingga terciptalah stigmasisasi. Stigma seperti apa? Ya stigma negatif, bahwa Indonesia adalah sarang teroris, teroris itu aktivis Islam dengan penampilan yang dituduhkan oleh Pangdam Dipenogoro beberapa waktu lalu memiliki ciri pakai jenggot, celana di atas mata kaki, dan yang perempuannya mengenakan cadar.
Menurut analisis pengamat intelejen herman ibrahim, aksi terorisme yang marak terjadi besar kemungkinan ditunggangi oleh intelijen asing. Alasannya, kata Herman, karena selama ini iklim demokrasi di indonesia dianggap cukup memberi ruang gerak terhadap Islam ideologis dan kaum nasionalis, untuk melakukan kritik terhadap kapitalisme global. Selain itu, pemunculan isu terorisme merupakan upaya untuk meredam wacana Indonesia yang mandiri, anti neolib dan anti dominasi asing.
Selain analisis-analisis di atas ada juga settingan bahwa peledakan di JW Mariots dan Ritz-Carlton adalah upaya pengalihan perhatian ummat dari isu lain semisal pembukaan kantor dagang israel di jakarta. Pengeboman di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton telah mengalihkan perhatian publik atas isu hubungan dagang RI-Israel. Lebih jauh lagi kita bisa menarik kesimpulan bahwa tentunya tujuan utama pihak asing menunggangi bahkan membidani aksi-aksi terorisme di negeri ini tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai upaya untuk mempertahankan hegemoni dan intervensi asing terutama AS di indonesia.
Wallâhu a’lam bi ash-shawab []
Cetak halaman ini
Setelah seminar itu, diselenggarakanlah berbagai konferensi dan seminar internasional, serta ditetapkan berbagai hukum dan undang-undang untuk membatasi aksi-aksi yang dapat digolongkan sebagai terorisme. Berbagai hukum dan undang-undang dibuat untuk menerangkan kategori berbagai gerakan, kelompok, dan partai yang melakukan aksi terorisme; serta untuk menentukan negara-negara mana yang mensponsori terorisme. Semua aturan ini, menurut klaim mereka, adalah dasar untuk mengambil sejumlah tindakan yang diperlukan guna memerangi terorisme dan membatasi gerak-geriknya (reproaktif).
Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif.
Sebagai contoh, kita melihat Amerika menganggap serangan di Mumbai India adalah aksi terorisme, sementara agresi mereka ke irak dan afganistan atau agresi israel atas palestina tidak dianggap aksi terorisme. Contoh lain, Amerika pada awalnya mencap pemboman gedung Kantor Penyelidikan Federal di Oklahoma beberapa tahun lalu sebagai aksi terorisme. Akan tetapi, ketika terbukti bahwa pelaku pemboman adalah kalangan milisi Amerika sendiri, pemboman yang semula dianggap aksi terorisme kemudian hanya dianggap sebagai aksi kriminal belaka.
Amerika secara khusus menyifati sebagian gerakan sebagai “gerakan perlawanan rakyat”, misalnya gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Pembebasan Irlandia (IRA), dan lain-lain. Para anggota dari gerakan-gerakan ini, ketika ditangkap, diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai dengan Protokol Nomor 1 tahun 1977 yang ditambahkan pada Konvensi Genewa. Akan tetapi, Amerika menyifati setiap gerakan yang bertentangan dengan kepentingan Amerika atau kepentingan negara-negara antek Amerika sebagai gerakan terorisme. Nama gerakan tersebut pun kemudian dicantumkan dalam daftar organisasi teroris yang dikeluarkan secara periodik oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Gerakan ini, misalnya, adalah sebagian besar gerakan-gerakan Islam yang ada di Mesir, Indonesia, Pakistan, Palestina, Aljazair, dan lain-lain.
Sejak dekade 70-an, Amerika memang telah merekayasa opini umum internasional dan regional (di Amerika) untuk melawan terorisme (war on terrorism), seperti yang kita lihat, dan melawan orang yang dicap sebagai teroris. Amerika telah mengeksploitasi aksi-aksi yang dilakukan untuk merealisasikan target-target sipil, baik yang dilakukan oleh berbagai gerakan politik atau gerakan militer yang tidak mempunyai hubungan dengan Amerika, maupun yang dilakukan oleh berbagai gerakan yang mempunyai hubungan dengan Amerika (CIA). Banyak dokumen yang menerangkan bahwa aksi-aksi yang dicap sebagai aksi terorisme sebenarnya didalangi oleh intel-intel CIA sendiri, seperti peledakan menara kembar WTC dan Pentagon tahun 2001 lalu. Amerika telah mengeksploitasi peristiwa peledakan tersebut, dengan memaksa negara-negara lain untuk ikut bersama mereka memerangi terorisme dengan cara membuat undang-undang anti terorime.
Berdasarkan undang-undang, keputusan, dan rekomendasi yang ada, Amerika bisa memata-matai dan menghantam siapa saja yang dicapnya sebagai teroris; baik individu, organisasi, partai, ataupun negara.
Karena Islam telah dinominasikan oleh Amerika untuk menjadi musuhnya setelah runtuhnya Komunisme, maka negeri-negeri Islam menjadi wilayah terpenting yang akan menjadi sasaran Amerika dalam penerapan undang-undang terorisme. Tujuannya adalah untuk mengukuhkan cengkeraman Amerika di negeri-negeri Islam itu serta melestarikannya agar tetap berada di bawah hegemoni Amerika. Alasannya, kaum Muslim memang telah mulai merintis jalan menuju kebangkitan untuk mengembalikan Khilafah. Dalam hal ini, Amerika dan negara-negara kafir lainnya telah memahami benar bahwa Khilafah adalah satu-satunya negara yang berkemampuan untuk meluluhlantakkan ideologi Kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika.
Oleh karena itu, hampir tidak ada satu pun gerakan Islam yang ada saat ini, kecuali harus siap-siap dicap sebagai teroris oleh Amerika. Cap ini pun bahkan tidak dapat dihindarkan oleh gerakan-gerakan dan partai-partai Islam yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai target-targetnya. Sebab, Amerika telah menganggap bahwa aktivitas semua gerakan, partai, atau negara yang menyerukan kembalinya Islam adalah aksi “teroris” yang bertentangan dengan Undang-Undang Internasional. Selanjutnya, berdasarkan justifikasi ini dan berdasarkan ketentuan yang harus dijalankan oleh negara-negara penandatangan Undang-Undang Terorisme, Amerika dapat menghimpun kekuatan negara-negara tersebut di bawah kepemimpinannya untuk memukul berbagai gerakan, partai, atau negara tersebut.
Terorisme dan Operasi Intelijen
Jika dicermati, akar terorisme bisa karena beberapa kemungkinan. Pertama: Adanya pemahaman agama yang keliru. Dalam hal ini, harus diakui bahwa ada sebagian orang/kelompok Islam yang menjadikan teror atau kekerasan atas nama jihad sebagai bagian dari upaya melakukan perubahan masyarakat. Kedua: Adanya faktor luar berupa terorisme yang di lakukan oleh negara-negara penjajah seperti AS dan sekutunya di negeri-negeri Islam. Inilah yang disebut dengan terorisme negara (state terrorism). Terorisme negara ini telah menimbulkan ketidakadilan yang memicu kebencian yang mendalam di Dunia Islam sehingga mendorong sejumlah aksi-aksi perlawanan tidak hanya di wilayah kekerasan, tetapi juga di sejumlah wilayah lain.
Ketiga: Adanya operasi intelijen demi melakukan stigmatisasi dan monsterisasi terhadap Islam dan kaum Muslim. Diakui atau tidak, operasi ini sering dilakukan oleh intelijen asing secara langsung maupun dengan ‘meminjam’ tangan-tangan lain. Paling tidak, itulah yang sering dilontarkan oleh Mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Dr. AC Manulang. Terkait dengan kasus “Bom Marrriot 2”, misalnya, AC Manulang mensinyalir adanya intervensi intelijen asing dalam berbagai operasi yang dilakukan intelijen negeri ini. Dalam statmennya beliau menyebutkan bahwa Intelijen asing (terutama intelejen Amerika) sangat berperan di negeri ini. Intelijen asing itulah yang memegang peranan utama. Merekalah kontraktor dan sponsornya. Peran intel asing tersebut, menurut dia, sangat signifikan hingga mengatur operasi intelijen dalam negeri. Bahkan, data-data penting dikuasai oleh mereka. Mengenai pendanaan, dikatakan Manulang, juga disokong dana dari luar negeri. (KOMPAS, 20 Agustus 2009)
Dari tiga kemungkinan di atas, sebagian kalangan, termasuk Pemerintah, sayangnya terkesan hanya fokus pada kemungkinan pertama saja. Sebaliknya, dua kemungkinan terakhir diabaikan. Padahal dua kemungkin terakhir inilah yang pada faktanya menjadi faktor utama dari mencuatnya kasus-kasus terorisme
Berdasarkan fakta dan wacana yang beredar, Analisa terhadap dalang aksi terorisme berupa serangkaian pengeboman di negeri ini setidaknya mengarah kepada empat kelompok ;
1. Kelompok sparatis. ini adalah analisis terlemah mengingat beberapa alasan. Pertama, sejauh ini tidak ada pengakuan maupun fakta pengungkapan kasus yang mengarahkan bahwa pelaku tiondak terorisme adalah kkelompok sparatis. kedua, aksi teror dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teror biasanya bersifat lokality hanya di lingkup daerah tempat mereka berada. Seperti aksi teror yang dilakukan oleh kelompok sparatis terhadap PT Freport
2. Kelompok kriminal. Beberapa saat setelah peledakan di Kuningan Prsiden SBY langsung menggelar jumpa pers mengecam aksi teror tersebut sekaligus melempar isu bahwa peledakan tersebut disinyalir di lakukan oleh pihak-pihak yang tidak puas terhadap hasil pemilu. belakangan kepolisian kemudian menepis kemungkinan ini dengan menyebut bahwa peledakan JW Marriot dan Ritz-Carlton dilakukan oleh kelompok jamaah islamiyah.
3. Kelompok teroris Internasional. Inilah Tudingan terkuat saat ini bahwa dalang aksi terorisme yang marak satu dasawarsa kebelakang adalah kelompok teroris Alqaeda dan jaringannya di asia tenggara yakni Jamaah Islamiyah (JI). Walaupun landasan tudingan ini adalah mayoritas adalah laporan intelijen dan olah fakta lapangan yang masih sepotong-potong. Itupun patut ti sermati dari sisi proses pengungkapannya serta dianalisis dari sisi hasil pengungkapan. Dalam pengungkapan kasus yang dilakukan pihak kepolisian kita menemukan banyak sekali keganjilan disana-sini. Misalnya proses penyergapan terhadap tersangka teroris di temanggung yang menurut pengamat intelijen Herman Ibrahim penuh dengan intrik daN konspirasi. Kemudian kejadian di jati asih tidak kalah ganjilnya, Jose Rizal Jurnalis dari presidium Mer-C menyebutkan bahwa kalau seorang Air dan Eko yang menurut saksi mata masih shalat Jumat di Solo bisa dikatakan tertembak pada Sabtu jam 2 pagi di Jatiasih, Bekasi. bagaimana mungkin dua orang yang mengangkut bom ratusan kilogram bisa secepat itu tiba di Bekasi, dan langsung tertembak di lokasi.
Lebih jauh lagi tidak ditemukan korelasi antara motivasi dan aksi terorisme. Kalau kita percaya bahwa semua bom itu dilakukan oleh Jamaah Islamiyah dalam rangka apa yang mereka katakan sebagai perlawanan terhadap Amerika Serikat (AS), kenapa sejak bom Bali 1 hingga bom Ritz dan Marriott baru lalu tidak ada satu pun instalasi penting milik Amerika di Indonesia yang terkena. Bom pertama meledak di jalan Legian, Denpasar, Bali. Kenapa tidak terjadi di Jakarta? Bukankah instalasi penting AS itu ada di Jakarta? Memang ada bom di gedung konsulat AS di Denpasar, tapi itu kecil saja, paling cuma mematahkan satu dua ranting pohon.
Kemudian ketika giliran di Jakarta, kenapa Hotel Marriott yang dibom? Marriott itu bukan hotel Amerika. Itu hotel milik orang Indonesia yang kebetulan dioperasikan oleh jaringan manajemen Hotel Marriott yang memang berasal dari AS. Kenapa bukan gedung kedutaan? Pas gedung kedutaan, kenapa gedung kedutaan Australia? Itu pun hanya di depannya; bukan gedung Kedubes Amerika?
Yang lebih aneh lagi, bom Bali dua. Apa hubungan Raja’s Restoran dan pantai Jimbaran dengan Amerika? Dari 22 orang yang meninggal di pantai Jimbaran, 19 orang di antaranya Muslim. Begitu juga apa hubungan Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott dengan AS. Jadi, aksi-aksi pemboman itu sama sekali tidak nyambung dengan motivasi yang katanya untuk melawan AS. Bukan hanya instalasi penting milik AS, orang Amerika-nya juga tidak ada yang kena. Jangankan meninggal, yang luka saja tidak ada.
4. Aksi terorime merupakan bentuk operasi intelijen Asing.
Analisis bahwa terorisme merupakan bagian dari operasi intelejen sangatlah kuat. Mantan kepala BAKIN Dr. AC Manulang dengan tegas menyampaikan hal ini bahwa terorisme merupakan bagian dari operasi intelijen. Menurut Manulang, setelah perang dingin antara kapitalisme dan komunisme usai, Amerika sebagai pionir dari kapitalisme mencari musuh baru, yaitu Islam. Inilah yang sedang terjadi saat ini. Kenapa harus di Indonesia? Manulang menambahkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang 230 juta dan mayoritas Islam merupakan potensi dan sekaligus bahaya besar untuk kapitalisme. Karena itulah, mereka melemahkan semua potensi yang akan menghambat kapitalisme.
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Menegarai bahwa ada operasi intelijen yang disebut dengan istilah enam i yang ingin pencitraburukan Islam atau aktivis Islam. Yaitu infiltrasi terhadap kelompok-kelompok Islam, yaitu mereka yang memiliki semangat perlawanan terhadap Amerika. Kemudian terhadap kelompok itu dilakukan proses radikalisasi agar mereka lebih bersemangat lagi untuk melawan dan berkorban. Lantas mereka diprovokasi untuk melakukan aksi (sambil dilakukan disinformasi, misalnya bahwa Hotel Marriott adalah milik Amerika, bahwa di Pulau Bali banyak turis dan tentara AS, dan sebagainya yang buat orang tidak tahu mudah sekali dipercaya) berupa tindakan-tindakan pengeboman dan sebagainya sehingga terciptalah stigmasisasi. Stigma seperti apa? Ya stigma negatif, bahwa Indonesia adalah sarang teroris, teroris itu aktivis Islam dengan penampilan yang dituduhkan oleh Pangdam Dipenogoro beberapa waktu lalu memiliki ciri pakai jenggot, celana di atas mata kaki, dan yang perempuannya mengenakan cadar.
Menurut analisis pengamat intelejen herman ibrahim, aksi terorisme yang marak terjadi besar kemungkinan ditunggangi oleh intelijen asing. Alasannya, kata Herman, karena selama ini iklim demokrasi di indonesia dianggap cukup memberi ruang gerak terhadap Islam ideologis dan kaum nasionalis, untuk melakukan kritik terhadap kapitalisme global. Selain itu, pemunculan isu terorisme merupakan upaya untuk meredam wacana Indonesia yang mandiri, anti neolib dan anti dominasi asing.
Selain analisis-analisis di atas ada juga settingan bahwa peledakan di JW Mariots dan Ritz-Carlton adalah upaya pengalihan perhatian ummat dari isu lain semisal pembukaan kantor dagang israel di jakarta. Pengeboman di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton telah mengalihkan perhatian publik atas isu hubungan dagang RI-Israel. Lebih jauh lagi kita bisa menarik kesimpulan bahwa tentunya tujuan utama pihak asing menunggangi bahkan membidani aksi-aksi terorisme di negeri ini tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai upaya untuk mempertahankan hegemoni dan intervensi asing terutama AS di indonesia.
Wallâhu a’lam bi ash-shawab []
Labels: Analisis
