SBY Punya Kemampuan Hegemonik
Bambang Widjojanto, Aktivis LSM dan Advokat
Bagi sebagian orang, terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dinilai telah menjawab sebagian teka-teki arah pemerintahan SBY lima tahun ke depan. Tapi para pengkritiknya memiliki pendapat berbeda. Power sharing yang solah-olah didistribusikan kepada semua kelompok dan partai pendukung koalisi, ternyata hanya alat untuk “menjinakkan” kekritisan mereka.
“SBY adalah orang yang memiliki kemampuan mengendalikan kompetitor secara cerdas dengan mengedepankan strategi smart power. Salah satu korbannya adalah Jusuf Kalla,” tegas aktivis LSM Bambang Widjojanto.
Menurut Bambang yang berperan membidani lahirnya ICW dan Kontras, SBY selama ini melakukan semacam politik pecah belah yang dengan cerdas dilakukan terhadap kompetitornya. Power yang seakan-akan dipecah oleh SBY, di satu sisi memang bisa diartikan mendistribusikan kekuasaan.
”Tapi sebenarnya, pada saat yang bersamaan selain mendistribusikan kekuasaan, SBY juga melakukan politik akomodasi terhadap beberapa kelompok dan partai kecil yang bisa ia kendalikan. Sehingga, yang terjadi adalah kooptasi atau hegemoni terhadap kelompok atau partai yang diakomodasi,” jelasnya.
Untuk mengetahui lebih dalam arah pemerintahan SBY lima tahun ke depan, khususnya menilai pemerintahan yang dikabarkan kian monolitik dan melemah dalam pemberantasan korupsi, Wartawan Sabili Dwi Hardianto mewawancarai aktivis LSM, Bambang Widjojanto di kantornya kawasan Sudirman, Kamis (22/10).
Berikut petikannya:
Arah pemerintahan SBY-Budiono lima tahun ke depan mulai terjawab dengan terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Menurut Anda?
Sekarang prosesnya menarik tapi susah menebak arah ke depannya, sehingga harus hati-hati dalam menganalisa. Pertama, konfigurasi politik saat ini sangat monolitik. Dengan konfigurasi seperti ini, memang bisa menciptakan kestabilan tapi tidak ada mekanisme kontrol kuat sehingga bisa menimbulkan potensi abuse of power. Karena pemerintah bisa menjelma menjadi kekuatan politik yang sangat kuat berbekal mandat rakyat mencapai lebih 60%. Akibatnya, mekanisme kontrol di DPR menjadi lemah karena sebagian besar anggota parlemen dan partai politik juga dikuasai oleh konfigurasi politik yang monolitik ini.
Kedua, SBY dalam masa kepemimpinan yang kedua ini sebenarnya memiliki keleluasaan menentukan komposisi orang di kementerian bahkan komposisi kementeriannya. Tapi SBY tidak melakukan konsolidasi atau penyederhanaan terhadap komposisi kementerian. Komposisinya tetap seperti lima tahun lalu.
Ketiga, metoda pencarian orangnya seolah-olah talent scouting padahal SBY sudah memiliki nama-nama siapa yang harus duduk pada posisi itu, karena SBY harus mengakomodasi partai politik dan kolega pendukungnya. Seolah-olah ada talent scouting tapi hanya 30 menit. Apakah memang sudah ada talent scouting sejak awal atau hanya sekadar bagian dari meng-entertain publik? Selain itu, fit and proper test-nya seolah-olah menjadi bagian dari domain publik. Masyarakat seakan-akan bisa menentukan padahal kontrol sepenuhnya ada di tangan SBY.
Keempat, baru kali ini ada tes kesehatan dan psikotes. Tapi publik tidak pernah mengetahui seberapa sehat orang itu dan seberapa tidak bermasalah psikologinya, karena semua ada di tangan presiden. Ketika ada suara miring dengan tidak terpilihnya calon menteri kesehatan dengan alasan tidak lulus tes kesehatan, publik tidak bisa mengetahui kebenarannya karena kita tidak bisa melakukan klarifikasi.
Bagaimana dengan konfigurasi orangnya?
Di sini juga menarik, karena menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, apakah outcome yang dikehendaki presiden dalam 100 hari, setahun dan lima tahun dapat dicapai dengan komposisi seperti itu? Kedua, dengan metode fit and proper yang seolah-olah ketat, orang kemudian bertanya, kok hasilnya kaya gitu? Padahal seakan-akan penyaringannya sangat njlimet dan hati-hati, tapi hasilnya adalah orang-orang yang sudah diprediksi publik sebelumnya. Apakah nggak ada orang yang lebih baik dari sisi kompetensi, kredibilitas dan kualitasnya? Apakah orang-orang yang sudah dipilih itu merupakan yang terbaik yang dimiliki bangsa pada saat ini? Atau, yang terbaik untuk presiden? Atau, yang terbaik untuk pengusaha?
Dilihat lebih jauh, publik juga belum mengetahui bagaimana para menteri itu menjabarkan program 100 hari pertama, satu tahun, tiga tahun dan lima tahun ke depan. Bagaimana ia menjabarkannya? Sentuhannya bagaimana? Karena secara global sudah dirumuskan oleh presiden dan timnya, sehingga menteri tinggal menjalankan dengan kreatifitasnya. Nah, dari sisi kreatifitas inilah, publik sampai saat ini belum bisa melacak sejauhmana kemampuan mereka menjabarkannya lebih detail, komprehensif, lengkap, dan utuh. Jika hal di atas bisa dilacak, kita bisa merumuskan indikator yang harus dicapai para menteri. Semua indikator akan berujung pada tiga target pemerintahan SBY-Budiono yakni, kesejahteraan, demokratisasi, dan penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.
Yang muncul adalah mereka yang sudah lama diprediksi publik sejak deklarasi SBY-Budiono di Bandung?
Bahwa sekutu politik harus mendapatkan penghargaan sesuai kontribusinya, ya. Itu hal biasa dalam politik. Jadi, berapa besar akomodasi itu sangat tergantung pada berapa besar kontribusi dan perolehan partai pendukung dalam pemilu. Dilihat dari sisi ini, ternyata tak sepenuhnya berdasarkan pada kelaziman itu. Misalnya, PAN yang jumlah suaranya lebih sedikit dari PKS memperoleh akomodasi yang lebih banyak. Ini membuktikan adanya pendekatan sekaligus hubungan personal antara SBY dengan elit PAN. Ada juga pertanyaan, apakah betul kontribusi partai koalisi berbanding lurus dengan kemenangan SBY?
Selanjutnya, apakah orang yang ditempatkan berdasarkan pertimbangan politik betul-betul memiliki kompetensi dan kredibilitas pada bidangnya? Atau hanya karena ia pimpinan dari sekutu partai dalam koalisi sehingga diangkat? Jika pertanyaan terakhir yang jadi pertimbangan, ini menunjukkan pemilihan kabinet bukan didasarkan pada profesionalitas. Contoh, PAN memiliki Drajad Wibowo. Jika kriterianya kompetensi, Drajad Wibowo sangat layak masuk tim ekonomi karena ia ahli ekonomi. Di sini menegaskan, adanya petimbangan lain di luar kriteria kompetensi.
Anda menyebutkan, konfigurasi politik saat ini sangat monolitik. Dalam era demokratisasi, apakah bisa menimbulkan otoritarianisme baru?
Bahwa kondisi saat ini lebih terbuka, ya. Tapi kemampuan kejahatan memutakhirkan modus operandinya juga berlipat-lipat. Belum lagi dengan konspirasi politik yang bersentuhan dengan kepentingan ekonomi, ini sangat berpotensi menyebarkan ke-mudharathan lebih hebat lagi. Inilah yang terjadi saat ini. Saya juga mengatakan bahwa kebebasan pers saat ini semakin baik, tapi juga berbanding lurus dengan potensi kejahatan yang makin canggih modus operandinya. Apalagi, pola-pola kriminalisasi terhadap sikap kritis terhadap kinerja pemerintah juga kian marak dilancarkan oleh mereka yang terancam kedudukan dan keuntungannya.
Contoh, dikriminalkannya dua aktivis ICW dan pimpinan KPK dengan argumen yang sebenarnya hanya untuk menguji seberapa besar kewenangan KPK. Ini merupakan modus operandi kejahatan canggih yang belum pernah terjadi di negeri ini. Kecanggihan ini terjadi karena mereka menggunakan legitimasi hukum dalam melancarkan aksi kejahatannya, sehingga sulit dibuktikan kesalahannya di depan hukum. Jadi, di dalam institusi politik saat ini telah terjadi perkawinan antara kepentingan ekonomi dengan kecanggihan dalam melancarkan modus kejahatan.
Apakah muaranya berujung pada satu kekuatan, yakni SBY?
Saat ini, SBY telah menjadi King Maker sekaligus News Maker. Dengan kondisi sosial politik seperti ini, kemampuan SBY menjadi berada di atas rata-rata orang yang dipilih menjadi pembantunya. Mulai dari wapres, kabinet, sampai tim ahli dan tim lainnya. Karenanya, pada saat ini SBY memiliki kemampuan hegemonik yang semakin menguatkan posisinya dalam struktur negara. Apalagi, secara struktur politik, SBY juga menguasai parlemen, padahal parlemen seharusnya berperan melakukan kontrol terhadap pemerintah. Bahayanya, ketika parlemen tidak mampu mengontrol eksekutif, akan terjadi ketimpangan mekanisme dan tidak terjadi chek and balance yang sejati. Di sinilah akan membuka peluang terjadinya kejahatan politik, ekonomi, dan sosial yang sifatnya jauh lebih massif dan berdampak luas bagi publik.
Jadi akan menjadi seperti Soeharto dengan Orde Barunya?
Faktor di atas belum bisa dinilai sejauh itu. Tapi jika diamati secara cermat, memang ada kecenderungan mengarah pada pola-pola yang pernah dilakukan Orde Baru. Kalau saya baca beberapa buku tentang orang yang pernah menjadi presiden di negeri ini, SBY memiliki beberapa kecerdasan. Pertama, kecerdasan mengelola keterbatasannya menjadi keunggulan bagi dirinya khususnya diujung-ujung perjalanan kepemimpinannya. Misalnya, ia mampu menurunkan harga BBM dua kali berturut-turut dan kemampuannya melakukan pencitraan yang sangat dasyat di tengah-tengah publik.
Kedua, SBY mempunyai kemampuan mengelola konflik secara cerdas sehingga menguntungkan dirinya secara politik.
Ketiga, SBY mampu meminimalisasi potensi rivalitas di antara kompetitornya secara halus dengan pendekatan smart power. Misalnya, ketika ia menggandeng Jusuf Kalla pada pemilu 2004 dan melepaskannya pada pemilu 2009. Pada 2004, Kalla adalah orang yang memiliki potensi besar tapi tidak diakomodasi Golkar. SBY menggandengnya agar bisa memanfaatkannya. Ketika 2009, pada saat akan membesarkan Golkar, Kalla dilepas sehingga karir politiknya pun berantakan.
Jadi ada semacam politik pecah belah yang dengan cerdas dilakukan oleh SBY terhadap kompetitornya. Power yang seakan-akan dipecah oleh SBY, di satu sisi memang bisa diartikan mendistribusikan kekuasaan. Tapi sebenarnya, pada saat yang bersamaan selain mendistribusikan kekuasaan, SBY juga melakukan politik akomodasi terhadap beberapa kelompok dan partai kecil yang bisa ia kendalikan. Sehingga, yang terjadi adalah kooptasi atau hegemoni terhadap kelompok atau partai yang diakomodasi ini.
Jika logika berpikirnya kita balik, siapapun penguasanya, pasti menginginkan kestabilan untuk menjalankan pembangunan?
Bahwa pasar menginginkan stabilitas dan ekonomi yang lebih baik, iya. Tapi persoalannya, selama ini terjadi rente ekonomi yang melibatkan elit politik dengan pelaku pasar dalam proses pemilu dan pilpres. Misalnya, banyak pelaku pasar ikut menyumbang partai dan capres tertentu. Pelaku pasar pasti melakukan kalkulasi, apakah dana yang mereka keluarkan akan menguntungkan atau tidak? Saat ini mereka mulai mengkalkulasi untuk menangguk untung dalam lima tahun ke depan. Ini sejalan dengan logika politik ”How to get what.” Gua dapat apa nih jika ikut share membiayai kampanye? Jadi, pelaku pasar akan menghitung berapa benefit-nya. Pertanyaanya, apakah pasar harus membayar mahal untuk mendapatkan kestabilan politik dan ekonomi? Apa jaminannya bahwa lima tahun ke depan akan terjadi proses yang lebih baik?
Ada yang berpendapat, SBY itu ibarat kertas kosong. Jadi tergantung siapa yang dekat, ia akan mewarnai. Menurut Anda?
Jika Anda membaca metoda komunikasi politik SBY, pada akhirnya semua keputusan pemerintah yang keluar berada di tangan SBY sendiri. Tidak ada yang namanya delegation of power (pendistribusian kekuasaan) pada rekan-rekan koalisinya. Jadi, SBY tidak seperti kertas kosong.
Bahkan ada yang mengatakan, secara ideologi, SBY juga kosong, sehingga partai Islam mendekat agar bisa mewarnai?
Saya tetap tidak yakin SBY ibarat kertas kosong. SBY itu, orang yang cerdas. Bahkan, ia mampu melakukan konsolidasi sekutu politiknya secara kuat dan bulat dalam genggaman kekuasannya. SBY itu bukan main-main orangnya. Ia mampu secara cerdas menggunakan power yang dimilikinya untuk menyedot hampir semua kekuatan politik di negeri ini dalam genggaman tangannya. Jika PDI-Perjuangan, Gerindra, dan Hanura tidak berada di luar eksekutif, selesai semuanya. Jadi, saya tidak begitu yakin, jika ada orang yang berada disampingnya bahkan sangat dekat dengan SBY, kemudian ia bisa mempengaruhinya. SBY adalah orang yang tidak mudah didikte. Itu sebabnya, sekarang SBY justru membentuk tim khusus untuk menopang gagasan yang benar-benar genuine untuk membangun bangsa. Meski tim khusus ini diisi oleh para pakar tapi tetap berada dalam kendali SBY.
Pemberantasan korupsi pada era SBY belum menyentuh tiga kalangan yakni Cendana, istana, dan militer, menurut Anda?
Mengatakan bahwa lima tahun lalu pemerintahan SBY sukses dalam pemberantasan korupsi, sebenarnya juga belum. Yang terjadi adalah fragmentasi dalam penegakan hukum karena adanya konspirasi dan rivalitas. Buaya vs Cicak adalah metamorfosa adanya rivalitas antar lembaga penegak hukum. Di sini, presiden sebagai kepala negara seharusnya meminimalisasi rivalitas agar tercipta kohesifitas antar lembaga penegak hukum. Jika dilihat kinerja dari masing-masing lembaga penegak hukum dalam lima tahun, yang melakukan banyak gebrakan justru KPK bukan lembaga hukum yang langsung berada di bawah presiden yakni, Kejaksaan dan Kepolisian. Ini menunjukkan kontrol presiden tidak maksimal.
Tapi akhir kekuasannya, pemerintahaan SBY justru mengkriminalkan pimpinan KPK, men-delegitimasi lembaga KPK, merekonstruksi pimpinan dan lembaga KPK agar berada dalam kendali presiden, serta mengkriminalkan aktivis pegiat anti korupsi. Artinya apa? Ada yang belum konsisten dalam penegakan hukum. Tensinya juga belum menuju ke arah yang lebih baik. Jika ini tidak berhasil dikendalikan, akan memiliki damage (kerusakan) pada berbagai lini penegakan hukum yang lebih besar. Yang paling dasar adalah hilangnya kepercayaan publik pada negara, pemerintah, dan presiden.
Secara umum, apa yang harus dilakukan SBY dalam penegakan hukum?
Membuat sistem yang simple. Pertama, presiden bisa memulai dari APBN yang mencapai Rp 1.000 triliun. Dari jumlah itu, 70% lebih digunakan untuk belanja barang. Artinya, potensi korupsi terbesar APBN berada pada dana yang 70% ini. Jika presiden bisa mengontrol belanja barang dengan cara membangun sistem yang transparan dan akuntabel, otomatis bisa menyelamatkan 70% APBN. Dilihat lebih detail, presiden bisa melacak bahwa sumber dana APBN paling besar berasal pajak, sekitar 70%. Apakah kita pernah mendengar ada korupsi di sektor pajak? Apakah di sektor pajak tidak ada korupsi? Atau canggih cara korupsinya sehingga tidak diketahui? Karenanya, presiden harus mengambil peran untuk mengamankan sektor perpajakan. Jika sudah aman, presiden bisa menargetkan income pemerintah di sektor pajak yang jauh lebih tinggi. Jadi, simpul yang memungkinkan terjadinya kejahatan, harus ditutup agar peluang melakukan korupsi juga tertutup. Kedua, melakukan konsolidasi terhadap lembaga penegak hukum agar tidak berkelahi. Dalam konsolidasi, yang harus dilakukan adalah meningkatkan SDM agar memiliki kompetensi handal dan integritas tinggi. Ini yang seharusnya digarap seoptimal mungkin oleh presiden sepanjang ia berkuasa.
Tapi SBY beralasan tidak ingin mencampuri independensi lembaga hukum?
Sikap tidak mencampuri itu bagus. Tapi jika SBY mengetahui ada rekayasa dalam rivalitas antar lembaga hukum dan dikriminalkannya pimpinan KPK tapi ia tidak mengambil tindakan apa pun, berarti ia menjadi bagian dari kejahatan itu. Pasalnya, ia memiliki kekuasaan yang memungkinkan untuk menghentikannya.
Elu tahu ada kejahatan, tapi elu cuma ngomong, ”Gue nggak ikut-ikut ya.” Dalam konsep Islam nggak begitu caranya. Kita harus berusaha semampu kita sesuai fungsi dan kedudukan kita untuk mencegak terjadinya kejahatan (Amar Ma’ruf Nahy Munkar). SBY bisa memanggil kedua pihak yang bertikai dan hadirkan komisi independen untuk dimintai pendapat. Jadi, jangan menggunakan dalih tidak mau mengintervensi tapi ia menjadi bagian dari pembiaran terhadap potensi kejahatan. Presiden harus jantan menghadapi dan menyelesaikannya agar penegakan hukum tetap jalan.
Jangan-jangan SBY takut, karena suatu saat ia juga bisa dibidik KPK, maka delegitimasi terhadap KPK dibiarkan?
Jika tesis ini benar, berarti, hari ini dia (presiden, red) berbuat kejahatan sehingga takut ketahuan. Kedua, dia tidak menginginkan adanya zona anti korupsi yang dilaksanakan oleh lembaga yang baik, sehingga harus dilemahkan. Jika ini terjadi, SBY tidak bisa menjadi guru bangsa apalagi bapak bangsa.
Data Pribadi:
Nama : Bambang Widjojanto
Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 18 Oktober 1959
Pendidikan : - S1 Universitas Jaya Baya
- Pasca Sarjana, Law and Development, SOAS-London
University (2000-2001)
- Pasca Sarjana, Hukum Bisnis, Univesitas Padjadjaran
(2004-2005)
- Program Doktor, Universitas Padjadjaran (2008-2009)
Organisasi : - Salah satu pendiri ICW (1999)
- Salah satu pendiri KONTRAS (1999)
Aktivitas : - Dosen Luar Biasa Universitas Trisakti (2006 – sekarang)
- Kegiatan Advokasi dan Lawyer.
Sumber: http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=966:sby-punya-kemampuan-hegemonik&catid=83:wawancara&Itemid=200
Bagi sebagian orang, terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dinilai telah menjawab sebagian teka-teki arah pemerintahan SBY lima tahun ke depan. Tapi para pengkritiknya memiliki pendapat berbeda. Power sharing yang solah-olah didistribusikan kepada semua kelompok dan partai pendukung koalisi, ternyata hanya alat untuk “menjinakkan” kekritisan mereka.
“SBY adalah orang yang memiliki kemampuan mengendalikan kompetitor secara cerdas dengan mengedepankan strategi smart power. Salah satu korbannya adalah Jusuf Kalla,” tegas aktivis LSM Bambang Widjojanto.
Menurut Bambang yang berperan membidani lahirnya ICW dan Kontras, SBY selama ini melakukan semacam politik pecah belah yang dengan cerdas dilakukan terhadap kompetitornya. Power yang seakan-akan dipecah oleh SBY, di satu sisi memang bisa diartikan mendistribusikan kekuasaan.
”Tapi sebenarnya, pada saat yang bersamaan selain mendistribusikan kekuasaan, SBY juga melakukan politik akomodasi terhadap beberapa kelompok dan partai kecil yang bisa ia kendalikan. Sehingga, yang terjadi adalah kooptasi atau hegemoni terhadap kelompok atau partai yang diakomodasi,” jelasnya.
Untuk mengetahui lebih dalam arah pemerintahan SBY lima tahun ke depan, khususnya menilai pemerintahan yang dikabarkan kian monolitik dan melemah dalam pemberantasan korupsi, Wartawan Sabili Dwi Hardianto mewawancarai aktivis LSM, Bambang Widjojanto di kantornya kawasan Sudirman, Kamis (22/10).
Berikut petikannya:
Arah pemerintahan SBY-Budiono lima tahun ke depan mulai terjawab dengan terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Menurut Anda?
Sekarang prosesnya menarik tapi susah menebak arah ke depannya, sehingga harus hati-hati dalam menganalisa. Pertama, konfigurasi politik saat ini sangat monolitik. Dengan konfigurasi seperti ini, memang bisa menciptakan kestabilan tapi tidak ada mekanisme kontrol kuat sehingga bisa menimbulkan potensi abuse of power. Karena pemerintah bisa menjelma menjadi kekuatan politik yang sangat kuat berbekal mandat rakyat mencapai lebih 60%. Akibatnya, mekanisme kontrol di DPR menjadi lemah karena sebagian besar anggota parlemen dan partai politik juga dikuasai oleh konfigurasi politik yang monolitik ini.
Kedua, SBY dalam masa kepemimpinan yang kedua ini sebenarnya memiliki keleluasaan menentukan komposisi orang di kementerian bahkan komposisi kementeriannya. Tapi SBY tidak melakukan konsolidasi atau penyederhanaan terhadap komposisi kementerian. Komposisinya tetap seperti lima tahun lalu.
Ketiga, metoda pencarian orangnya seolah-olah talent scouting padahal SBY sudah memiliki nama-nama siapa yang harus duduk pada posisi itu, karena SBY harus mengakomodasi partai politik dan kolega pendukungnya. Seolah-olah ada talent scouting tapi hanya 30 menit. Apakah memang sudah ada talent scouting sejak awal atau hanya sekadar bagian dari meng-entertain publik? Selain itu, fit and proper test-nya seolah-olah menjadi bagian dari domain publik. Masyarakat seakan-akan bisa menentukan padahal kontrol sepenuhnya ada di tangan SBY.
Keempat, baru kali ini ada tes kesehatan dan psikotes. Tapi publik tidak pernah mengetahui seberapa sehat orang itu dan seberapa tidak bermasalah psikologinya, karena semua ada di tangan presiden. Ketika ada suara miring dengan tidak terpilihnya calon menteri kesehatan dengan alasan tidak lulus tes kesehatan, publik tidak bisa mengetahui kebenarannya karena kita tidak bisa melakukan klarifikasi.
Bagaimana dengan konfigurasi orangnya?
Di sini juga menarik, karena menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, apakah outcome yang dikehendaki presiden dalam 100 hari, setahun dan lima tahun dapat dicapai dengan komposisi seperti itu? Kedua, dengan metode fit and proper yang seolah-olah ketat, orang kemudian bertanya, kok hasilnya kaya gitu? Padahal seakan-akan penyaringannya sangat njlimet dan hati-hati, tapi hasilnya adalah orang-orang yang sudah diprediksi publik sebelumnya. Apakah nggak ada orang yang lebih baik dari sisi kompetensi, kredibilitas dan kualitasnya? Apakah orang-orang yang sudah dipilih itu merupakan yang terbaik yang dimiliki bangsa pada saat ini? Atau, yang terbaik untuk presiden? Atau, yang terbaik untuk pengusaha?
Dilihat lebih jauh, publik juga belum mengetahui bagaimana para menteri itu menjabarkan program 100 hari pertama, satu tahun, tiga tahun dan lima tahun ke depan. Bagaimana ia menjabarkannya? Sentuhannya bagaimana? Karena secara global sudah dirumuskan oleh presiden dan timnya, sehingga menteri tinggal menjalankan dengan kreatifitasnya. Nah, dari sisi kreatifitas inilah, publik sampai saat ini belum bisa melacak sejauhmana kemampuan mereka menjabarkannya lebih detail, komprehensif, lengkap, dan utuh. Jika hal di atas bisa dilacak, kita bisa merumuskan indikator yang harus dicapai para menteri. Semua indikator akan berujung pada tiga target pemerintahan SBY-Budiono yakni, kesejahteraan, demokratisasi, dan penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.
Yang muncul adalah mereka yang sudah lama diprediksi publik sejak deklarasi SBY-Budiono di Bandung?
Bahwa sekutu politik harus mendapatkan penghargaan sesuai kontribusinya, ya. Itu hal biasa dalam politik. Jadi, berapa besar akomodasi itu sangat tergantung pada berapa besar kontribusi dan perolehan partai pendukung dalam pemilu. Dilihat dari sisi ini, ternyata tak sepenuhnya berdasarkan pada kelaziman itu. Misalnya, PAN yang jumlah suaranya lebih sedikit dari PKS memperoleh akomodasi yang lebih banyak. Ini membuktikan adanya pendekatan sekaligus hubungan personal antara SBY dengan elit PAN. Ada juga pertanyaan, apakah betul kontribusi partai koalisi berbanding lurus dengan kemenangan SBY?
Selanjutnya, apakah orang yang ditempatkan berdasarkan pertimbangan politik betul-betul memiliki kompetensi dan kredibilitas pada bidangnya? Atau hanya karena ia pimpinan dari sekutu partai dalam koalisi sehingga diangkat? Jika pertanyaan terakhir yang jadi pertimbangan, ini menunjukkan pemilihan kabinet bukan didasarkan pada profesionalitas. Contoh, PAN memiliki Drajad Wibowo. Jika kriterianya kompetensi, Drajad Wibowo sangat layak masuk tim ekonomi karena ia ahli ekonomi. Di sini menegaskan, adanya petimbangan lain di luar kriteria kompetensi.
Anda menyebutkan, konfigurasi politik saat ini sangat monolitik. Dalam era demokratisasi, apakah bisa menimbulkan otoritarianisme baru?
Bahwa kondisi saat ini lebih terbuka, ya. Tapi kemampuan kejahatan memutakhirkan modus operandinya juga berlipat-lipat. Belum lagi dengan konspirasi politik yang bersentuhan dengan kepentingan ekonomi, ini sangat berpotensi menyebarkan ke-mudharathan lebih hebat lagi. Inilah yang terjadi saat ini. Saya juga mengatakan bahwa kebebasan pers saat ini semakin baik, tapi juga berbanding lurus dengan potensi kejahatan yang makin canggih modus operandinya. Apalagi, pola-pola kriminalisasi terhadap sikap kritis terhadap kinerja pemerintah juga kian marak dilancarkan oleh mereka yang terancam kedudukan dan keuntungannya.
Contoh, dikriminalkannya dua aktivis ICW dan pimpinan KPK dengan argumen yang sebenarnya hanya untuk menguji seberapa besar kewenangan KPK. Ini merupakan modus operandi kejahatan canggih yang belum pernah terjadi di negeri ini. Kecanggihan ini terjadi karena mereka menggunakan legitimasi hukum dalam melancarkan aksi kejahatannya, sehingga sulit dibuktikan kesalahannya di depan hukum. Jadi, di dalam institusi politik saat ini telah terjadi perkawinan antara kepentingan ekonomi dengan kecanggihan dalam melancarkan modus kejahatan.
Apakah muaranya berujung pada satu kekuatan, yakni SBY?
Saat ini, SBY telah menjadi King Maker sekaligus News Maker. Dengan kondisi sosial politik seperti ini, kemampuan SBY menjadi berada di atas rata-rata orang yang dipilih menjadi pembantunya. Mulai dari wapres, kabinet, sampai tim ahli dan tim lainnya. Karenanya, pada saat ini SBY memiliki kemampuan hegemonik yang semakin menguatkan posisinya dalam struktur negara. Apalagi, secara struktur politik, SBY juga menguasai parlemen, padahal parlemen seharusnya berperan melakukan kontrol terhadap pemerintah. Bahayanya, ketika parlemen tidak mampu mengontrol eksekutif, akan terjadi ketimpangan mekanisme dan tidak terjadi chek and balance yang sejati. Di sinilah akan membuka peluang terjadinya kejahatan politik, ekonomi, dan sosial yang sifatnya jauh lebih massif dan berdampak luas bagi publik.
Jadi akan menjadi seperti Soeharto dengan Orde Barunya?
Faktor di atas belum bisa dinilai sejauh itu. Tapi jika diamati secara cermat, memang ada kecenderungan mengarah pada pola-pola yang pernah dilakukan Orde Baru. Kalau saya baca beberapa buku tentang orang yang pernah menjadi presiden di negeri ini, SBY memiliki beberapa kecerdasan. Pertama, kecerdasan mengelola keterbatasannya menjadi keunggulan bagi dirinya khususnya diujung-ujung perjalanan kepemimpinannya. Misalnya, ia mampu menurunkan harga BBM dua kali berturut-turut dan kemampuannya melakukan pencitraan yang sangat dasyat di tengah-tengah publik.
Kedua, SBY mempunyai kemampuan mengelola konflik secara cerdas sehingga menguntungkan dirinya secara politik.
Ketiga, SBY mampu meminimalisasi potensi rivalitas di antara kompetitornya secara halus dengan pendekatan smart power. Misalnya, ketika ia menggandeng Jusuf Kalla pada pemilu 2004 dan melepaskannya pada pemilu 2009. Pada 2004, Kalla adalah orang yang memiliki potensi besar tapi tidak diakomodasi Golkar. SBY menggandengnya agar bisa memanfaatkannya. Ketika 2009, pada saat akan membesarkan Golkar, Kalla dilepas sehingga karir politiknya pun berantakan.
Jadi ada semacam politik pecah belah yang dengan cerdas dilakukan oleh SBY terhadap kompetitornya. Power yang seakan-akan dipecah oleh SBY, di satu sisi memang bisa diartikan mendistribusikan kekuasaan. Tapi sebenarnya, pada saat yang bersamaan selain mendistribusikan kekuasaan, SBY juga melakukan politik akomodasi terhadap beberapa kelompok dan partai kecil yang bisa ia kendalikan. Sehingga, yang terjadi adalah kooptasi atau hegemoni terhadap kelompok atau partai yang diakomodasi ini.
Jika logika berpikirnya kita balik, siapapun penguasanya, pasti menginginkan kestabilan untuk menjalankan pembangunan?
Bahwa pasar menginginkan stabilitas dan ekonomi yang lebih baik, iya. Tapi persoalannya, selama ini terjadi rente ekonomi yang melibatkan elit politik dengan pelaku pasar dalam proses pemilu dan pilpres. Misalnya, banyak pelaku pasar ikut menyumbang partai dan capres tertentu. Pelaku pasar pasti melakukan kalkulasi, apakah dana yang mereka keluarkan akan menguntungkan atau tidak? Saat ini mereka mulai mengkalkulasi untuk menangguk untung dalam lima tahun ke depan. Ini sejalan dengan logika politik ”How to get what.” Gua dapat apa nih jika ikut share membiayai kampanye? Jadi, pelaku pasar akan menghitung berapa benefit-nya. Pertanyaanya, apakah pasar harus membayar mahal untuk mendapatkan kestabilan politik dan ekonomi? Apa jaminannya bahwa lima tahun ke depan akan terjadi proses yang lebih baik?
Ada yang berpendapat, SBY itu ibarat kertas kosong. Jadi tergantung siapa yang dekat, ia akan mewarnai. Menurut Anda?
Jika Anda membaca metoda komunikasi politik SBY, pada akhirnya semua keputusan pemerintah yang keluar berada di tangan SBY sendiri. Tidak ada yang namanya delegation of power (pendistribusian kekuasaan) pada rekan-rekan koalisinya. Jadi, SBY tidak seperti kertas kosong.
Bahkan ada yang mengatakan, secara ideologi, SBY juga kosong, sehingga partai Islam mendekat agar bisa mewarnai?
Saya tetap tidak yakin SBY ibarat kertas kosong. SBY itu, orang yang cerdas. Bahkan, ia mampu melakukan konsolidasi sekutu politiknya secara kuat dan bulat dalam genggaman kekuasannya. SBY itu bukan main-main orangnya. Ia mampu secara cerdas menggunakan power yang dimilikinya untuk menyedot hampir semua kekuatan politik di negeri ini dalam genggaman tangannya. Jika PDI-Perjuangan, Gerindra, dan Hanura tidak berada di luar eksekutif, selesai semuanya. Jadi, saya tidak begitu yakin, jika ada orang yang berada disampingnya bahkan sangat dekat dengan SBY, kemudian ia bisa mempengaruhinya. SBY adalah orang yang tidak mudah didikte. Itu sebabnya, sekarang SBY justru membentuk tim khusus untuk menopang gagasan yang benar-benar genuine untuk membangun bangsa. Meski tim khusus ini diisi oleh para pakar tapi tetap berada dalam kendali SBY.
Pemberantasan korupsi pada era SBY belum menyentuh tiga kalangan yakni Cendana, istana, dan militer, menurut Anda?
Mengatakan bahwa lima tahun lalu pemerintahan SBY sukses dalam pemberantasan korupsi, sebenarnya juga belum. Yang terjadi adalah fragmentasi dalam penegakan hukum karena adanya konspirasi dan rivalitas. Buaya vs Cicak adalah metamorfosa adanya rivalitas antar lembaga penegak hukum. Di sini, presiden sebagai kepala negara seharusnya meminimalisasi rivalitas agar tercipta kohesifitas antar lembaga penegak hukum. Jika dilihat kinerja dari masing-masing lembaga penegak hukum dalam lima tahun, yang melakukan banyak gebrakan justru KPK bukan lembaga hukum yang langsung berada di bawah presiden yakni, Kejaksaan dan Kepolisian. Ini menunjukkan kontrol presiden tidak maksimal.
Tapi akhir kekuasannya, pemerintahaan SBY justru mengkriminalkan pimpinan KPK, men-delegitimasi lembaga KPK, merekonstruksi pimpinan dan lembaga KPK agar berada dalam kendali presiden, serta mengkriminalkan aktivis pegiat anti korupsi. Artinya apa? Ada yang belum konsisten dalam penegakan hukum. Tensinya juga belum menuju ke arah yang lebih baik. Jika ini tidak berhasil dikendalikan, akan memiliki damage (kerusakan) pada berbagai lini penegakan hukum yang lebih besar. Yang paling dasar adalah hilangnya kepercayaan publik pada negara, pemerintah, dan presiden.
Secara umum, apa yang harus dilakukan SBY dalam penegakan hukum?
Membuat sistem yang simple. Pertama, presiden bisa memulai dari APBN yang mencapai Rp 1.000 triliun. Dari jumlah itu, 70% lebih digunakan untuk belanja barang. Artinya, potensi korupsi terbesar APBN berada pada dana yang 70% ini. Jika presiden bisa mengontrol belanja barang dengan cara membangun sistem yang transparan dan akuntabel, otomatis bisa menyelamatkan 70% APBN. Dilihat lebih detail, presiden bisa melacak bahwa sumber dana APBN paling besar berasal pajak, sekitar 70%. Apakah kita pernah mendengar ada korupsi di sektor pajak? Apakah di sektor pajak tidak ada korupsi? Atau canggih cara korupsinya sehingga tidak diketahui? Karenanya, presiden harus mengambil peran untuk mengamankan sektor perpajakan. Jika sudah aman, presiden bisa menargetkan income pemerintah di sektor pajak yang jauh lebih tinggi. Jadi, simpul yang memungkinkan terjadinya kejahatan, harus ditutup agar peluang melakukan korupsi juga tertutup. Kedua, melakukan konsolidasi terhadap lembaga penegak hukum agar tidak berkelahi. Dalam konsolidasi, yang harus dilakukan adalah meningkatkan SDM agar memiliki kompetensi handal dan integritas tinggi. Ini yang seharusnya digarap seoptimal mungkin oleh presiden sepanjang ia berkuasa.
Tapi SBY beralasan tidak ingin mencampuri independensi lembaga hukum?
Sikap tidak mencampuri itu bagus. Tapi jika SBY mengetahui ada rekayasa dalam rivalitas antar lembaga hukum dan dikriminalkannya pimpinan KPK tapi ia tidak mengambil tindakan apa pun, berarti ia menjadi bagian dari kejahatan itu. Pasalnya, ia memiliki kekuasaan yang memungkinkan untuk menghentikannya.
Elu tahu ada kejahatan, tapi elu cuma ngomong, ”Gue nggak ikut-ikut ya.” Dalam konsep Islam nggak begitu caranya. Kita harus berusaha semampu kita sesuai fungsi dan kedudukan kita untuk mencegak terjadinya kejahatan (Amar Ma’ruf Nahy Munkar). SBY bisa memanggil kedua pihak yang bertikai dan hadirkan komisi independen untuk dimintai pendapat. Jadi, jangan menggunakan dalih tidak mau mengintervensi tapi ia menjadi bagian dari pembiaran terhadap potensi kejahatan. Presiden harus jantan menghadapi dan menyelesaikannya agar penegakan hukum tetap jalan.
Jangan-jangan SBY takut, karena suatu saat ia juga bisa dibidik KPK, maka delegitimasi terhadap KPK dibiarkan?
Jika tesis ini benar, berarti, hari ini dia (presiden, red) berbuat kejahatan sehingga takut ketahuan. Kedua, dia tidak menginginkan adanya zona anti korupsi yang dilaksanakan oleh lembaga yang baik, sehingga harus dilemahkan. Jika ini terjadi, SBY tidak bisa menjadi guru bangsa apalagi bapak bangsa.
Data Pribadi:
Nama : Bambang Widjojanto
Tempat/Tgl Lahir : Jakarta, 18 Oktober 1959
Pendidikan : - S1 Universitas Jaya Baya
- Pasca Sarjana, Law and Development, SOAS-London
University (2000-2001)
- Pasca Sarjana, Hukum Bisnis, Univesitas Padjadjaran
(2004-2005)
- Program Doktor, Universitas Padjadjaran (2008-2009)
Organisasi : - Salah satu pendiri ICW (1999)
- Salah satu pendiri KONTRAS (1999)
Aktivitas : - Dosen Luar Biasa Universitas Trisakti (2006 – sekarang)
- Kegiatan Advokasi dan Lawyer.
Sumber: http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=966:sby-punya-kemampuan-hegemonik&catid=83:wawancara&Itemid=200
Labels: Berita Dalam Negeri, Informasi
Cetak halaman ini