NASIONALISME = ide sampah!!!
Islam VS Nasionalisme
“Saya anti-nasionalisme”. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar pernyataan diatas? Mungkin yang terbayang adalah suatu sikap pemberontakan. Tidaklah mengherankan karena sejak masih ingusan kita dipaksa mengikuti upacara bendera dan dijejali ide nasionalisme tanpa mengetahui hakikat sebenarnya. Akibatnya, ide nasionalisme begitu lekat di benak kaum Muslim sehingga mereka tidak mengetahui bahwa nasionalisme sebenarnya bertentangan dengan islam.
Islam dan Nasionalisme
Apa itu Nasionalisme? Banyak definisi dikemukakan para ahli. Dari sekian definisi itu, kiranya definisi yang dikemukakan oleh Hans Kohn dalam Nationalism, its Meaning and History (1956) cukup representatif. Ia mendefinisikan nasionalisme sebagai ”suatu keadaan yang dalam pikiran individu kesetiaan tertinggi dirasakan untuk negara dan bangsanya”. Hans J. Morgenthau dalam Politics among Nation (1973) menyamakan nasionalisme dengan ”rasialisme”. Itulah definisi nasionalisme. Akan tetapi banyak dari kaum Muslim yang menyamakan nasionalisme dengan ”cinta tanah air” (patriotisme), kemudian bersandar pada hadits PALSU ”Cinta tanah air termasuk iman”. Padahal cinta tanah air bukan merupakan bagian dari iman dan bukan definisi dari nasionalisme. Cinta tanah air sendiri hukumnya mubah (boleh)—selama tidak berlebihan—sebagaimana bolehnya kita mencintai harta, istri, dan anak-anak kita. Tetapi, sekali lagi, cinta tanah air tidak sama dengan nasionalisme.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan nasionalisme dan hubungannya dengan islam;
Pertama, dari segi historis, nasionalisme di dunia islam tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Menurut Ziauddin Sardar dalam bukunya Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (1986), paham nasionalisme bermula dari Eropa. Di Eropa nilai-nilai nasionalistis ada hubungannya dengan bangkitnya kelas menengah. Ide nasionalisme dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan kelas menengah melawan golongan bangsawan dan gereja. Sebaliknya, nasionalisme di dunia islam merupakan suatu sarana tipuan. Nasionalisme ditemukan di Eropa tetapi dipaksakan kepada rakyat muslim.
Kedua, nasionalisme bersifat temporal, yang muncul ketika terjadi gangguan. Tapi ketika gangguan itu tidak ada, rasa nasionalisme dengan sendirinya akan menghilang. Karenanya, nasionalisme dianggap sebagai ikatan yang rendah, yang tidak pantas digunakan untuk mengikat hubungan antar manusia. Nasionalisme bukanlah asas syar‘i untuk menyatukan kaum Muslim, karena berdiri di atas fanatisme Jahiliah dan ‘ashobiyah. Patriotisme juga bukan asas syar‘i untuk menyatukan kaum Muslim, karena bersandar pada tanah sebagai dasar ikatan semua orang yang hidup di atasnya. Ini bukanlah asas pemikiran, namun berupa asas instingtif yang hanya bersandar pada penampakan gharîzah baqâ’ (naluri mempertahankan diri) saat ada ancaman dari luar.
Ketiga, nasionalisme tidak memiliki metode untuk menciptakan kebangkitan masyarakat. Malah dalam banyak kasus nasionalisme justru menimbulkan kecenderungan menguasai bangsa lain. Penjajahan yang dilakukan oleh orang-orang barat (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda dll) terhadap negeri timur selain didorong oleh semangat Gold, Glory, Gospel, juga dilandasi oleh rasa nasionalisme yang tinggi, yaitu menganggap bangsa mereka lebih unggul. Serta diterapkannya sistem politik apartheid di benua afrika oleh para penjajah adalah beberapa contoh yang membuktikan bahwa nasionalisme justru membidani lahirnya penjajahan terhadap bangsa lain.
Keempat, nasionalisme bertentangan dengan akidah islam. Firman Alloh SWT ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa kepada Alloh” dalam surah Al-Hujurat ayat 13 sama sekali tidak menyebut kebolehan paham nasionalisme. Dilihat dari sebab turunnya, ayat ini turun justru untuk memerangi bibit-bibit sentimen rasial/nasionalisme. Adanya banyak suku dan bangsa merupakan bukti kekuasaan Alloh dalam ciptaannya, dan karenanya manusia bisa saling mengenal satu sama lain, bukan justru untuk mendorong munculnya sentimen ras, suku, ataupun bangsa. Sejumlah hadits Rasululloh SAW juga menegaskan larangan melakukan ta’ashub (berbangga terhadap kelompok, ras, suku, bangsa yang kemudian melahirkan paham nasionalisme). Diantaranya,
”Bukan dari golongan kami (tidak termasuk umat islam) orang yang menyeru kepada ashobiyah (fanatisme kelompok, suku, bangsa)....dst. (HR. Abu Dawud)
”Barang siapa berperang di bawah panji kesesatan, (yaitu) ia marah karena ashobiyah atau mengajak kepada ashobiyah atau menolong karena ashobiyah lalu ia terbunuh, maka matinya jahiliyyah”. (HR. Muslim dan Nasa’i)
Efek Nasionalisme Terhadap Dunia Islam
Secara faktual, nasionalisme telah membuat umat islam sedunia terus terpuruk secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan peradaban, serta akan terus terhina dan terdzalimi, menjadi objek bulan-bulanan negara-negara besar seperti yang saat ini terjadi. Akibat nasionalisme, umat islam terpecah-belah ke dalam lebih dari 50 negara. Mereka hanya tampak bersatu tatkala menunaikan ibadah haji. Tapi, ya..hanya sampai disitu. Ketika kembali ke tanah airnya masing-masing, berakhir pulalah kebersamaan itu. Mereka kembali hidup sendiri-sendiri di negerinya yang tegak atas dasar nasionalisme. Tatkala menjumpai saudaranya di negara lain didzalimi, mereka hanya bisa merintih pedih, tak bisa berbuat apa-apa karena negara dimana ia tinggal tidak bergerak untuk mengulurkan tangan karena semua itu dianggap urusan luar negeri. Akibatnya, berbagai krisis datang silih berganti. Belum usai Palestina, muncul kedzaliman di Chechnya, Afghanistan, Iraq, Moro, Pattani, Kashmir, Poso, Ambon dan entah negeri mana lagi bakal menyusul. Potensi umat yang demikian besar, menjadi sia-sia tanpa persatuan dan persaudaraan universal. Satu milyar lebih umat islam berserak bagai buih, lemah tak berdaya. Apa yang bisa kita perbuat untuk saudara kita di Palestina yang terus menerus dihinakan oleh Israel? Afghanistan dan juga Iraq yang nyata-nyata sekarang dalam penjajahan Amerika? Renungkanlah, wahai saudaraku!!!
Menghapus Nasionalisme Menuju Persaudaraan Universal
Sesungguhnya manusia diciptakan secara sama. Ras, suku, dan bangsa tidaklah menempatkan seseorang atau sekelompok orang secara serta merta menjadi lebih baik dari ras, suku dan bangsa lain. Oleh karenanya, Rasululloh SAW pernah bersabda,”Orang Arab tidak lebih baik dari non-Arab. Sebaliknya, orang non-Arab tidak lebih baik dari orang Arab. Orang berkulit merah tidak lebih baik dari orang berkulit hitam, kecuali dalam hal ketaqwaannya. Umat manusia adalah anak cucu Adam, dan Adam tercipta dari tanah”. (HR. Muttafaq ’alayh)
Islam mengajarkan persaudaraan universal. Manusia diciptakan semata untuk beribadah kepada Alloh SWT. Nabi Muhammad pun diutus untuk segenap manusia, hitam atau putih, dari ras, suku dan bangsa manapun. Siapa yang menerima risalahnya, disebut orang beriman. Dan di atas dasar kesamaan iman itulah ditegakkan persaudaraan universal.
Persaudaraan universal lahir dari kesamaan iman dan tauhid. Setiap mukmin adalah bersaudara. Begitu eratnya hubungan persaudaraan itu hingga digambarkan oleh Nabi SAW bagaikan satu tubuh, yang bila satu bagian sakit maka bagian lain akan turut pula merasakan sakit.
”Sesungguhny orang beriman adalah bersaudara...”
(QS. Al-Hujurat:10)
”Orang-orang beriman bagaikan satu tubuh, bila matanya sakit maka bagian tubuhnya akan merasa sakit pula”.
(HR. Muslim)
Penjelasan di atas memberikan jawaban bahwa nasionalisme sepenuhnya bertentangan dengan islam. Istilah-istilah seperti ”nasionalisme islam” atau islam-nasionalis” mengandung banyak pertentangan dan sama sekali tidak masuk akal.
Kesimpulannya, umat islam harus bersatu dalam persaudaraan universal yang diwujudkan dalam suatu sistem dan kepemimpinan islam. Tanpa itu, jumlah umat islam yang lebih dari satu milyar dengan posisi geografis yang amat strategis serta kekayaan alam yang luar biasa tidak akan menolong apa-apa untuk mengentaskan dunia islam dari keterpurukannya, sampai tegaknya institusi yang akan mampu mempresentasikan kekuatan dunia islam dan mewujudkan persaudaraan islam, yakni DAULAH KHILAFAH ISLAMIYYAH.
Dikutip dari makalah Nasionalisme dalam sorotan, ust. Farid Wajdi, dengan sedikit tambahan.
“Saya anti-nasionalisme”. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar pernyataan diatas? Mungkin yang terbayang adalah suatu sikap pemberontakan. Tidaklah mengherankan karena sejak masih ingusan kita dipaksa mengikuti upacara bendera dan dijejali ide nasionalisme tanpa mengetahui hakikat sebenarnya. Akibatnya, ide nasionalisme begitu lekat di benak kaum Muslim sehingga mereka tidak mengetahui bahwa nasionalisme sebenarnya bertentangan dengan islam.
Islam dan Nasionalisme
Apa itu Nasionalisme? Banyak definisi dikemukakan para ahli. Dari sekian definisi itu, kiranya definisi yang dikemukakan oleh Hans Kohn dalam Nationalism, its Meaning and History (1956) cukup representatif. Ia mendefinisikan nasionalisme sebagai ”suatu keadaan yang dalam pikiran individu kesetiaan tertinggi dirasakan untuk negara dan bangsanya”. Hans J. Morgenthau dalam Politics among Nation (1973) menyamakan nasionalisme dengan ”rasialisme”. Itulah definisi nasionalisme. Akan tetapi banyak dari kaum Muslim yang menyamakan nasionalisme dengan ”cinta tanah air” (patriotisme), kemudian bersandar pada hadits PALSU ”Cinta tanah air termasuk iman”. Padahal cinta tanah air bukan merupakan bagian dari iman dan bukan definisi dari nasionalisme. Cinta tanah air sendiri hukumnya mubah (boleh)—selama tidak berlebihan—sebagaimana bolehnya kita mencintai harta, istri, dan anak-anak kita. Tetapi, sekali lagi, cinta tanah air tidak sama dengan nasionalisme.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan nasionalisme dan hubungannya dengan islam;
Pertama, dari segi historis, nasionalisme di dunia islam tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Menurut Ziauddin Sardar dalam bukunya Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (1986), paham nasionalisme bermula dari Eropa. Di Eropa nilai-nilai nasionalistis ada hubungannya dengan bangkitnya kelas menengah. Ide nasionalisme dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan kelas menengah melawan golongan bangsawan dan gereja. Sebaliknya, nasionalisme di dunia islam merupakan suatu sarana tipuan. Nasionalisme ditemukan di Eropa tetapi dipaksakan kepada rakyat muslim.
Kedua, nasionalisme bersifat temporal, yang muncul ketika terjadi gangguan. Tapi ketika gangguan itu tidak ada, rasa nasionalisme dengan sendirinya akan menghilang. Karenanya, nasionalisme dianggap sebagai ikatan yang rendah, yang tidak pantas digunakan untuk mengikat hubungan antar manusia. Nasionalisme bukanlah asas syar‘i untuk menyatukan kaum Muslim, karena berdiri di atas fanatisme Jahiliah dan ‘ashobiyah. Patriotisme juga bukan asas syar‘i untuk menyatukan kaum Muslim, karena bersandar pada tanah sebagai dasar ikatan semua orang yang hidup di atasnya. Ini bukanlah asas pemikiran, namun berupa asas instingtif yang hanya bersandar pada penampakan gharîzah baqâ’ (naluri mempertahankan diri) saat ada ancaman dari luar.
Ketiga, nasionalisme tidak memiliki metode untuk menciptakan kebangkitan masyarakat. Malah dalam banyak kasus nasionalisme justru menimbulkan kecenderungan menguasai bangsa lain. Penjajahan yang dilakukan oleh orang-orang barat (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda dll) terhadap negeri timur selain didorong oleh semangat Gold, Glory, Gospel, juga dilandasi oleh rasa nasionalisme yang tinggi, yaitu menganggap bangsa mereka lebih unggul. Serta diterapkannya sistem politik apartheid di benua afrika oleh para penjajah adalah beberapa contoh yang membuktikan bahwa nasionalisme justru membidani lahirnya penjajahan terhadap bangsa lain.
Keempat, nasionalisme bertentangan dengan akidah islam. Firman Alloh SWT ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa kepada Alloh” dalam surah Al-Hujurat ayat 13 sama sekali tidak menyebut kebolehan paham nasionalisme. Dilihat dari sebab turunnya, ayat ini turun justru untuk memerangi bibit-bibit sentimen rasial/nasionalisme. Adanya banyak suku dan bangsa merupakan bukti kekuasaan Alloh dalam ciptaannya, dan karenanya manusia bisa saling mengenal satu sama lain, bukan justru untuk mendorong munculnya sentimen ras, suku, ataupun bangsa. Sejumlah hadits Rasululloh SAW juga menegaskan larangan melakukan ta’ashub (berbangga terhadap kelompok, ras, suku, bangsa yang kemudian melahirkan paham nasionalisme). Diantaranya,
”Bukan dari golongan kami (tidak termasuk umat islam) orang yang menyeru kepada ashobiyah (fanatisme kelompok, suku, bangsa)....dst. (HR. Abu Dawud)
”Barang siapa berperang di bawah panji kesesatan, (yaitu) ia marah karena ashobiyah atau mengajak kepada ashobiyah atau menolong karena ashobiyah lalu ia terbunuh, maka matinya jahiliyyah”. (HR. Muslim dan Nasa’i)
Efek Nasionalisme Terhadap Dunia Islam
Secara faktual, nasionalisme telah membuat umat islam sedunia terus terpuruk secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan peradaban, serta akan terus terhina dan terdzalimi, menjadi objek bulan-bulanan negara-negara besar seperti yang saat ini terjadi. Akibat nasionalisme, umat islam terpecah-belah ke dalam lebih dari 50 negara. Mereka hanya tampak bersatu tatkala menunaikan ibadah haji. Tapi, ya..hanya sampai disitu. Ketika kembali ke tanah airnya masing-masing, berakhir pulalah kebersamaan itu. Mereka kembali hidup sendiri-sendiri di negerinya yang tegak atas dasar nasionalisme. Tatkala menjumpai saudaranya di negara lain didzalimi, mereka hanya bisa merintih pedih, tak bisa berbuat apa-apa karena negara dimana ia tinggal tidak bergerak untuk mengulurkan tangan karena semua itu dianggap urusan luar negeri. Akibatnya, berbagai krisis datang silih berganti. Belum usai Palestina, muncul kedzaliman di Chechnya, Afghanistan, Iraq, Moro, Pattani, Kashmir, Poso, Ambon dan entah negeri mana lagi bakal menyusul. Potensi umat yang demikian besar, menjadi sia-sia tanpa persatuan dan persaudaraan universal. Satu milyar lebih umat islam berserak bagai buih, lemah tak berdaya. Apa yang bisa kita perbuat untuk saudara kita di Palestina yang terus menerus dihinakan oleh Israel? Afghanistan dan juga Iraq yang nyata-nyata sekarang dalam penjajahan Amerika? Renungkanlah, wahai saudaraku!!!
Menghapus Nasionalisme Menuju Persaudaraan Universal
Sesungguhnya manusia diciptakan secara sama. Ras, suku, dan bangsa tidaklah menempatkan seseorang atau sekelompok orang secara serta merta menjadi lebih baik dari ras, suku dan bangsa lain. Oleh karenanya, Rasululloh SAW pernah bersabda,”Orang Arab tidak lebih baik dari non-Arab. Sebaliknya, orang non-Arab tidak lebih baik dari orang Arab. Orang berkulit merah tidak lebih baik dari orang berkulit hitam, kecuali dalam hal ketaqwaannya. Umat manusia adalah anak cucu Adam, dan Adam tercipta dari tanah”. (HR. Muttafaq ’alayh)
Islam mengajarkan persaudaraan universal. Manusia diciptakan semata untuk beribadah kepada Alloh SWT. Nabi Muhammad pun diutus untuk segenap manusia, hitam atau putih, dari ras, suku dan bangsa manapun. Siapa yang menerima risalahnya, disebut orang beriman. Dan di atas dasar kesamaan iman itulah ditegakkan persaudaraan universal.
Persaudaraan universal lahir dari kesamaan iman dan tauhid. Setiap mukmin adalah bersaudara. Begitu eratnya hubungan persaudaraan itu hingga digambarkan oleh Nabi SAW bagaikan satu tubuh, yang bila satu bagian sakit maka bagian lain akan turut pula merasakan sakit.
”Sesungguhny orang beriman adalah bersaudara...”
(QS. Al-Hujurat:10)
”Orang-orang beriman bagaikan satu tubuh, bila matanya sakit maka bagian tubuhnya akan merasa sakit pula”.
(HR. Muslim)
Penjelasan di atas memberikan jawaban bahwa nasionalisme sepenuhnya bertentangan dengan islam. Istilah-istilah seperti ”nasionalisme islam” atau islam-nasionalis” mengandung banyak pertentangan dan sama sekali tidak masuk akal.
Kesimpulannya, umat islam harus bersatu dalam persaudaraan universal yang diwujudkan dalam suatu sistem dan kepemimpinan islam. Tanpa itu, jumlah umat islam yang lebih dari satu milyar dengan posisi geografis yang amat strategis serta kekayaan alam yang luar biasa tidak akan menolong apa-apa untuk mengentaskan dunia islam dari keterpurukannya, sampai tegaknya institusi yang akan mampu mempresentasikan kekuatan dunia islam dan mewujudkan persaudaraan islam, yakni DAULAH KHILAFAH ISLAMIYYAH.
Dikutip dari makalah Nasionalisme dalam sorotan, ust. Farid Wajdi, dengan sedikit tambahan.
Labels: Hukum
