Catatan Alga Biru: Kisah orang yang berhaji tapi gagal “naik haji”
Pak Mali adalah seorang kiai di kampungnya. Karena kelapangan rizqinya, Pak Mali sudah beberapa kali melaksanakan ibadah haji. Sehingga wajar jika kemudian orang-orang kampung memberikan penghormatan tersendiri pada pak kiai yang satu ini. Namun hal ini malah membuahkan penyakit di hatinya. Perasaan ”lebih” dari manusia lain, tumbuh semerbak dan menjadi benalu dalam sanubari. Dan sebagai seorang kiai, Pak Mali diminta untuk menjadi pemimpin rombongan ibadah haji. Maka berangkatlah Pak Mali dan jamaah menuju tanah haram, Makkah al mukarramah. Suatu tempat dimana tak jarang kita temui kisah yang ganjil. Aneh tapi nyata. Yang tidak mungkin menjadi ”mungkin”. Maka tiada kekuatan apa pun tempat kita berpegang selain pada Alllah ta’ala.
Merasa ”lebih” dari yang lain, Pak Mali acapkali membanggakan dirinya. Dengan dialegnya dia berkata ”ibu-ibu... bapak-bapak... kalau ada yang mau ditanya, tanyalah pada saya. Pasti terjawab. Kalau tanah arab ini, sudah seperti kampung saya sendiri. Jadi aman lah. Tak usah takut dan khawatir. Bapak dan ibu berada di tangan yang tepat”. Begitulah kira-kira. Sifat takkabur menjelma dalam ucapannya. Masyaallah, sungguh pada Allah digenggam segala perkara.
Maka menjelang 9 Zulhijjah, dimana waktu yang sangat urgen bagi seorang yang berhaji untuk ”mengambil haji”-nya. Karena tanpa melakukan wukuf dan bermalam di padang arafah, haji tidak terkategori sah. Dan hanya digolongkan sebagai umrah. Betapa gentingnya perkara ini, tak heran jika yang sakit akan dirawat. Yang susah berjalan akan digotong. Kesemuanya itu merupakan usaha manusia semata, dan Allah punya cara-Nya sendiri. Atas kuasa Allah, kita melihat yang renta menjadi perkasa. Yang pincang tiba-tiba saja kuat berjalan. Yang keriput seakan bercahaya. Begitu pun sebaliknya. Pria yang gagah bisa lunglai tanpa sebab. Yang suka mencibir akan terkabul cibirannya. Yang buruk sangka akan mendapatkan persangkaannya. Bahkan yang kikir akan mengalami akibat dari kekikirannya.
Maka skenario Allah tampak jelas sedang ditorehkan bagi Pak Mali dan jamaahnya. Kala itu, Bus rombongan Pak Mali bertolak dari Makkah menuju Arafah. Seperti musim haji tiap tahunnya, jalanan padat. Jalanan yang biasanya lengang tampak berbanjar berebutan. Kalau ditanya kegerahan, sungguh tak tertahankan. Hanya karomah Allah yang bisa merubahnya menjadi kesejukan. Pak Mali yang kepalang tumbuh sifat takkabur, tiba-tiba saja memberikan arahan ini dan itu pada si sopir.
”Sudahlah, kita motong jalan saja” begitu kira-kira dirinya berujar kepada si sopir. Bahasa Arab Pak Mali memang tak diragukan. Konon, Pak Mali pernah studi banding ke Al-Azhar. Sopir Bus yang ternyata ”sopir tembak” tersebut, mau saja menerima usulan Pak Mali.
Tapi apa yang terjadi sodara-sodara ??? Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, bus mereka tak kunjung sampai. Entah dimana muara mereka. Berputar-putar dalam ketidakjelasan. Tersesatlah mereka dalam kepanikan yang nyata. Selama tiga hari tiga malam mereka berada dalam kesesatan. Bermalam di Arafah hanya tinggal angan.
............
............
............
Maka menangislah dengan tersedu sedan yakni Pak Mali, seorang hamba yang dhoif, yang baru tersadarkan akan ke-dhoif-annya. Inilah tamparan, dimana Allah sendiri yang menampar dengan cara-Nya yang bijak. Jamaah yang dipimpinnya gagal menunaikan syarat sah haji akibat sifat takkaburnya, akibat petunjuknya yang keliru tatkala perjalanan bus mereka.
Maha Besar Allah yang telah membutakan mata dan membuat jalur yang lurus menjadi berkelok. Menciptakan kemudahan sebagai ujian, dan menciptakan kesulitan pun sebagai ujian keimanan. Sungguh Allah ingin melihat, mana hamba yang berserah diri dan mana yang kerap tumbuh dalam dirinya keangkuhan. Padahal sifat angkuh dan sombong merupakan selendang-Nya. Semata-mata selendang yang hanya boleh dimiliki-Nya. Bukan selendang Pak Mali, atau yang lainnya. Wallahu’alam.
Oleh: AlgaBiru
(Kisah yang diceritakan CY Hasibuan kepada Alga)
Merasa ”lebih” dari yang lain, Pak Mali acapkali membanggakan dirinya. Dengan dialegnya dia berkata ”ibu-ibu... bapak-bapak... kalau ada yang mau ditanya, tanyalah pada saya. Pasti terjawab. Kalau tanah arab ini, sudah seperti kampung saya sendiri. Jadi aman lah. Tak usah takut dan khawatir. Bapak dan ibu berada di tangan yang tepat”. Begitulah kira-kira. Sifat takkabur menjelma dalam ucapannya. Masyaallah, sungguh pada Allah digenggam segala perkara.
Maka menjelang 9 Zulhijjah, dimana waktu yang sangat urgen bagi seorang yang berhaji untuk ”mengambil haji”-nya. Karena tanpa melakukan wukuf dan bermalam di padang arafah, haji tidak terkategori sah. Dan hanya digolongkan sebagai umrah. Betapa gentingnya perkara ini, tak heran jika yang sakit akan dirawat. Yang susah berjalan akan digotong. Kesemuanya itu merupakan usaha manusia semata, dan Allah punya cara-Nya sendiri. Atas kuasa Allah, kita melihat yang renta menjadi perkasa. Yang pincang tiba-tiba saja kuat berjalan. Yang keriput seakan bercahaya. Begitu pun sebaliknya. Pria yang gagah bisa lunglai tanpa sebab. Yang suka mencibir akan terkabul cibirannya. Yang buruk sangka akan mendapatkan persangkaannya. Bahkan yang kikir akan mengalami akibat dari kekikirannya.
Maka skenario Allah tampak jelas sedang ditorehkan bagi Pak Mali dan jamaahnya. Kala itu, Bus rombongan Pak Mali bertolak dari Makkah menuju Arafah. Seperti musim haji tiap tahunnya, jalanan padat. Jalanan yang biasanya lengang tampak berbanjar berebutan. Kalau ditanya kegerahan, sungguh tak tertahankan. Hanya karomah Allah yang bisa merubahnya menjadi kesejukan. Pak Mali yang kepalang tumbuh sifat takkabur, tiba-tiba saja memberikan arahan ini dan itu pada si sopir.
”Sudahlah, kita motong jalan saja” begitu kira-kira dirinya berujar kepada si sopir. Bahasa Arab Pak Mali memang tak diragukan. Konon, Pak Mali pernah studi banding ke Al-Azhar. Sopir Bus yang ternyata ”sopir tembak” tersebut, mau saja menerima usulan Pak Mali.
Tapi apa yang terjadi sodara-sodara ??? Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, bus mereka tak kunjung sampai. Entah dimana muara mereka. Berputar-putar dalam ketidakjelasan. Tersesatlah mereka dalam kepanikan yang nyata. Selama tiga hari tiga malam mereka berada dalam kesesatan. Bermalam di Arafah hanya tinggal angan.
............
............
............
Maka menangislah dengan tersedu sedan yakni Pak Mali, seorang hamba yang dhoif, yang baru tersadarkan akan ke-dhoif-annya. Inilah tamparan, dimana Allah sendiri yang menampar dengan cara-Nya yang bijak. Jamaah yang dipimpinnya gagal menunaikan syarat sah haji akibat sifat takkaburnya, akibat petunjuknya yang keliru tatkala perjalanan bus mereka.
Maha Besar Allah yang telah membutakan mata dan membuat jalur yang lurus menjadi berkelok. Menciptakan kemudahan sebagai ujian, dan menciptakan kesulitan pun sebagai ujian keimanan. Sungguh Allah ingin melihat, mana hamba yang berserah diri dan mana yang kerap tumbuh dalam dirinya keangkuhan. Padahal sifat angkuh dan sombong merupakan selendang-Nya. Semata-mata selendang yang hanya boleh dimiliki-Nya. Bukan selendang Pak Mali, atau yang lainnya. Wallahu’alam.
Oleh: AlgaBiru
(Kisah yang diceritakan CY Hasibuan kepada Alga)
Labels: Muhasabah
Cetak halaman ini