Bukannya Dibui, Boediono Malah Masuk Istana
…Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tidak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tidak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan!
HTI Press- Itulah penggalan puisi Negeri Para Bedebah yang dibacakan kembali oleh penulisnya Adhie M Massardi dalam acara Halqah Islam dan Peradaban edisi 14, Kamis (19/11) siang di Wisma Antara Jakarta.
Dalam talkshow yang bertema Mafioso Peradilan: Potret Bobroknya Sistem Peradilan Sekuler (Indonesia di Bawah Bayang People Power?) itu Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menyatakan diperdengarkannya rekaman komunikasi Anggodo dengan sejumlah pihak itu sesunguhnya mengkomfirmasikan kepada publik tentang suatu perkara yang selama ini sudah menjadi omongan berbagai pihak tentang bobroknya hukum dan peradilan di Indonesia.
“Ini juga merupakan fenomena gunung es yang memunculkan sebagian kecil saja dari megakorupsi Republik Indonesia,” paparnya.
Lebih anehnya lagi, dalam kasus kriminalisasi KPK itu Anggodo tidak ditahan. “Kalau Anggodo ditahan, dia akan menyanyi dan nyanyiannya akan lebih nyaring dari Wiliardi Wizard!” timpal Kuasa Hukum KPK Ahmad Rifa’i.
Dalam seminar itu dungkapkan bahwa kriminalisasi ini berawal dari dari upaya KPK yang akan mengusut kasus Bank Century. Itu sangat berbahaya bagi para bedebah yang terlibat Century maka dibuatlah sekenario kriminalisasi KPK agar Bank century tidak jadi diusut.
“Saya melihat di beberap surat kabar asing kasus Bank Century ini mereka samakan dengan kasus Watergate. Karena kejahatannya itu merupakan persekongkolan politik tingkat tinggi, ada menteri ekonomi, ada gubernur Bank Indonesia, papar Adhie Massardi, Mantan Jubir Presiden era Gus Dur itu.
Boediono, Gubernur BI saat itu, sampai saat ini tetap dapat menghirup udara bebas. Bandingkan dengan Gubernur BI lainnya yang sama-sama berbuat hal serupa dengan nominal hampir delapan kali lipat di bawahnya.
Syahrir Sabirin, ketika menjabat Gubernur BI, mengeluarkan uang Rp 900 milyar untuk Bank Bali. Dia, ujar Massardi, tidak ambil seperak pun tetapi masuk bui. Kemudian Burhanuddin Abdullah, ketika menjadi Gubernur BI, menandatangani uang dari BI RP 100 milyar juga masuk bui.
“Boediono ini menandatangani 6,7 trilyun tapi dia malah masuk istana!” ujarnya dengan geram sehingga memplesetkan kepanjangan Bareskrim Polri menjadi badan rekayasa dan kriminalisasi KPK.
Ahmad Wirawan Adnan, yang sudah malang melintang 26 tahun di dunia peradilan merumuskan bahwa mafia peradilan adalah satu kekuatan yang adanya itu di luar pengadilan. Meraka sering disebut dengan orang yang untouchable, orang yang tidak tersentuh hukum.
Karena apa? Mereka bisa melakukan strategi cover up, melakukan semuanya seolah-olah sesuai dengan hukum padahal sedang menjalankan pelanggaran hukum. Jadi kelihatannya sedang melakukan penegakkan pemberantasan korupsi tetapi sebenarnya yang sedang dilakukan adalah kegagalan melakukan pemerasan sehingga seolah-olah menegakkan pemberantasan korupsi.
Sehingga ia sangat yakin bahwa dalam sistem yang berlaku sekarang ini mafia peradilan tidak akan bisa diberantas. “Dengan sistem pemerintahan sekarang yang menjalankan sistem demokrasi ini, mafia peradilan itu tidak mungkin akan bisa diberantas,” ujar Adnan.
Anggota Tim Pengacar Muslim ini pun menyebutkan bahwa sistem ini salah karena kebenaran itu ditentukan oleh suara terbanyak. “Kalau suara terbanyak ingin korupsi dan maksiat yang mana yang benar?” tanyanya retorik.
Massardi pun meyakinkan ratusan peserta yang hadir di acara tersebut bahwa sebenarnya para bedebah itu tidak sekuat yang umat bayangkan sehingga sebetulnya mereka bisa dikalahkan. Namun tetap bercokolnya mereka di kursi kekuasaan itu akibat kesalahan umat sendiri.
“Bukan karena mereka terlalu kuat tetapi kitalah yang lebih banyak diam!” tandasnya. “Saya pikir setengah dari facebooker di tambah dengan setengah dari massa Hizbut Tahrir turun ke jalan para bedebah itu bisa diusir,” ujar Massardi.
Oleh karena itu ganti sistem ganti rezim adalah satu keniscayaan. Hizbut Tahrir sedang merintis ke arah itu, dengan menggunakan istilah Massardi dalam syairnya itu, Ismail mengatakan saat ini yang dilakukan oleh HTI adalah menyadarkan masyarakat dengan diskusi, kemudian demonstrasi lalu revolusi untuk mengganti sistem yang bobrok ini dengan Syariah dan Khilafah. [] joko prasetyo
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/11/20/bukannya-dibui-boediono-malah-masuk-istana/
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tidak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tidak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan!
HTI Press- Itulah penggalan puisi Negeri Para Bedebah yang dibacakan kembali oleh penulisnya Adhie M Massardi dalam acara Halqah Islam dan Peradaban edisi 14, Kamis (19/11) siang di Wisma Antara Jakarta.
Dalam talkshow yang bertema Mafioso Peradilan: Potret Bobroknya Sistem Peradilan Sekuler (Indonesia di Bawah Bayang People Power?) itu Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menyatakan diperdengarkannya rekaman komunikasi Anggodo dengan sejumlah pihak itu sesunguhnya mengkomfirmasikan kepada publik tentang suatu perkara yang selama ini sudah menjadi omongan berbagai pihak tentang bobroknya hukum dan peradilan di Indonesia.
“Ini juga merupakan fenomena gunung es yang memunculkan sebagian kecil saja dari megakorupsi Republik Indonesia,” paparnya.
Lebih anehnya lagi, dalam kasus kriminalisasi KPK itu Anggodo tidak ditahan. “Kalau Anggodo ditahan, dia akan menyanyi dan nyanyiannya akan lebih nyaring dari Wiliardi Wizard!” timpal Kuasa Hukum KPK Ahmad Rifa’i.
Dalam seminar itu dungkapkan bahwa kriminalisasi ini berawal dari dari upaya KPK yang akan mengusut kasus Bank Century. Itu sangat berbahaya bagi para bedebah yang terlibat Century maka dibuatlah sekenario kriminalisasi KPK agar Bank century tidak jadi diusut.
“Saya melihat di beberap surat kabar asing kasus Bank Century ini mereka samakan dengan kasus Watergate. Karena kejahatannya itu merupakan persekongkolan politik tingkat tinggi, ada menteri ekonomi, ada gubernur Bank Indonesia, papar Adhie Massardi, Mantan Jubir Presiden era Gus Dur itu.
Boediono, Gubernur BI saat itu, sampai saat ini tetap dapat menghirup udara bebas. Bandingkan dengan Gubernur BI lainnya yang sama-sama berbuat hal serupa dengan nominal hampir delapan kali lipat di bawahnya.
Syahrir Sabirin, ketika menjabat Gubernur BI, mengeluarkan uang Rp 900 milyar untuk Bank Bali. Dia, ujar Massardi, tidak ambil seperak pun tetapi masuk bui. Kemudian Burhanuddin Abdullah, ketika menjadi Gubernur BI, menandatangani uang dari BI RP 100 milyar juga masuk bui.
“Boediono ini menandatangani 6,7 trilyun tapi dia malah masuk istana!” ujarnya dengan geram sehingga memplesetkan kepanjangan Bareskrim Polri menjadi badan rekayasa dan kriminalisasi KPK.
Ahmad Wirawan Adnan, yang sudah malang melintang 26 tahun di dunia peradilan merumuskan bahwa mafia peradilan adalah satu kekuatan yang adanya itu di luar pengadilan. Meraka sering disebut dengan orang yang untouchable, orang yang tidak tersentuh hukum.
Karena apa? Mereka bisa melakukan strategi cover up, melakukan semuanya seolah-olah sesuai dengan hukum padahal sedang menjalankan pelanggaran hukum. Jadi kelihatannya sedang melakukan penegakkan pemberantasan korupsi tetapi sebenarnya yang sedang dilakukan adalah kegagalan melakukan pemerasan sehingga seolah-olah menegakkan pemberantasan korupsi.
Sehingga ia sangat yakin bahwa dalam sistem yang berlaku sekarang ini mafia peradilan tidak akan bisa diberantas. “Dengan sistem pemerintahan sekarang yang menjalankan sistem demokrasi ini, mafia peradilan itu tidak mungkin akan bisa diberantas,” ujar Adnan.
Anggota Tim Pengacar Muslim ini pun menyebutkan bahwa sistem ini salah karena kebenaran itu ditentukan oleh suara terbanyak. “Kalau suara terbanyak ingin korupsi dan maksiat yang mana yang benar?” tanyanya retorik.
Massardi pun meyakinkan ratusan peserta yang hadir di acara tersebut bahwa sebenarnya para bedebah itu tidak sekuat yang umat bayangkan sehingga sebetulnya mereka bisa dikalahkan. Namun tetap bercokolnya mereka di kursi kekuasaan itu akibat kesalahan umat sendiri.
“Bukan karena mereka terlalu kuat tetapi kitalah yang lebih banyak diam!” tandasnya. “Saya pikir setengah dari facebooker di tambah dengan setengah dari massa Hizbut Tahrir turun ke jalan para bedebah itu bisa diusir,” ujar Massardi.
Oleh karena itu ganti sistem ganti rezim adalah satu keniscayaan. Hizbut Tahrir sedang merintis ke arah itu, dengan menggunakan istilah Massardi dalam syairnya itu, Ismail mengatakan saat ini yang dilakukan oleh HTI adalah menyadarkan masyarakat dengan diskusi, kemudian demonstrasi lalu revolusi untuk mengganti sistem yang bobrok ini dengan Syariah dan Khilafah. [] joko prasetyo
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2009/11/20/bukannya-dibui-boediono-malah-masuk-istana/
Labels: Berita Dalam Negeri
Cetak halaman ini