Nyuci, Yuk!
oleh Ridwan Taufik Kurniawan
Problem utama bagi orang yang malas nyuci baju adalah paling susah meng-eksekusi niatan nyuci. Apalagi mahasiswa rantauan kayak saya. Yang selama hidupnya jarang-jarang nyuci baju sendiri. Mentang dulu-dulu waktu masih numpang di rumah ortu masih dicuciin (buka kartu nih ceritanya!). Udah deh, bawaannya kalo liat tumpukan baju kotor yang seindah Gunung Semeru, pasti pengen banget tuh buat segera mindahin ke lemari tanpa harus dicuci. Apalagi kalo di dalamnya kulihat celana jeans yang tebalnya ngalahin kulit badak! Waks! Mungkin lebaran taon depan tuh baru kecuci. Hehe. Malang nian nasibku. Baju apa yang akan kupakai ‘tar sore? Fren, cuciin baju gue dooonk . . .
Huhh, kok saya jadi curhat ma kalian?
Btw, ngomong-ngomong masalah cucian, gue inget istilah ‘brainwash’. Wah wah, apa ini? Nyuci otak! Emang otakmu udah seberapa buluk jadi harus dicuci? Pake rinso? Wah, ngaco, kasian cuy! Jangan . . . . jangan pake rinso aja, pake juga tuh papan gilesan ma sikat kawat! Ahaha
Udah ah, makin ngaco aja ni tulisan.
Pokoknya, yaa cuci otak-lah namanya. Sesuatu yang sering dituduh biang ekstrimisme & eksklusifisme. Sesuatu yang pada ditakutin orangtua kalo terjadi pada anaknya. Maklum, namanya juga orang tua, ga begitu ngerti gejolak kawula muda . . . (bunda, cuciin bajuku ya!).
’Cuci Otak’!
Cuci, adalah kata kerja; aktifitas membersihkan sesuatu dari obyek yang mengotori. Sedangkan otak adalah kata benda; pusat syaraf, tempat berpikir dan tempat mengingat informasi. Kedua kata ini jika digabung menjadi kata majemuk, atau idiom, bentuknya ’diterangkan-menerangkan’ (DM), memiliki arti konotatif. Jika diterjemahkan secara kasar, cuci otak artinya membersihkan otak sebagai tempat berpikir dsb dari obyek-obyek yang mengotori. . . .(itu kalo kamu nanya ma guru bahasa, mah!)
Ngawur! Hehe, anggap aja paragraf di atas cuma hiasan, oke. Bagiku (ceila, subyektif amat!) cuci otak adalah aktifitas pembentukan perubahan pola pikir yang baru (berbeda dari sebelumnya) pada seorang manusia. Sifatnya mendasar, mengenai segala hal. Ini menyangkut ideologi, mindset, paradigma, sudut pandang, akidah, atau apapun itu namanya. Tentang bagaimana kita menilai baik dan buruk suatu fakta. Akhirnya dari sana dibentuk pula pola perilaku (apa yang kita pikirkan, katakan dan lakukan).
Makna cuci otak sendiri saat ini telah dipersempit oleh orang-orang tak bertanggungjawab (soalnya ada juga yang bertanggungtanya) sehingga memiliki makna atau citra negatif (peyorasi).
***
(zzzzzzzzz . . . nyaho! Pusing, pusing dah loe!)
***
Memahami Realitas
AKU YAKIN OTAK KALIAN TELAH DICUCI!. (Hahaha, jangan marah, bro, penjelasannya masih panjang). Namun salah besar jika kalian mengira itu tanpa sebab. Lebih salah lagi jika kalian menganggap cuci otak itu salah. Tergantung dengan apa dan untuk apa cuci otak itu dilakukan.
Cuci Otak Sosialis!
Orang yang dicuci otaknya dengan pemahaman sosialis-komunis bisa kita liat dengan tanda-tanda sbb. Suka nangkring di sudut atau tengah kota. Mereka yang serampangan, anti kemapanan, menyukai atribut merah-merah, gemar mengepal tangan kiri ke atas sambil teriak-teriak ’revolusi’. Nyanyi dengan lagu-lagu sosial, buruh, perubahan, kebebasan, anti-kapitalisme dan yang semacamnya, adalah ciri khas mereka. Lengkap dengan emblem Guevara dan tokoh sosialis sebangsanya. Yap, ga salah lagi, style kayak gitu adalah tanda mereka adalah anak muda yang terlanjur di-’brainwash’ oleh pemahaman sosialis. (NB: Yg kutulis di atas adalah sosialis berandalan, cz ada juga sosialis yg intelektual)
Contoh komunitas sosialis belum aku temukan di Banjarmasin, jadi akan susah kalian bayangkan. Kelompok yang sedikit berafiliasi dengan orang-orang sosialis, atau golongan kiri, adalah anak punk ideologis (bukan sekedar style). Sedikit aja sih. Tapi mereka bukanlah sosialis yang sebenarnya.
Lalu apakah hanya itu? Apakah orang yang dicuci otak hanya orang yang stylenya agak beda dari kebanyakan orang pada umumnya?
Tidak tampak berbeda bukan berarti tak pernah dicuci otaknya! Semua orang pasti mengadopsi salah satu ideologi (pilihannya cuma tiga, kawan, kapitalisme, sosialisme, atau Islam), mustahil tidak. Sebab semua orang pasti memiliki tolok ukur benar dan salah yang tertentu, tergantung ideologi yang dianutnya. Itu artinya orang-orang juga memiliki ideologi masing-masing. Dan setiap orang mengadopsi ideologi tertentu setelah didahului dengan ’pencucian otak’, entah itu prosesnya instan, ataupun tidak (nah ini dia).
(btw pembahasan Pancasila sebagai ideologi akan kita bahas lain kali, teman, woke? Jadi sabar ya, kita batasi pembatasan kita kali ini agar tidak melebar kemana-mana)
Karena kapitalisme yang saat ini masih memimpin peradaban, tak ayal pemikiran kapital-sekulerisme pulalah yang mendominasi umat manusia. Otak kita kebanyakan-pun secara tidak sadar telah dicuci dengan pemahaman ini. Lihatlah apa yang kita tonton, baca, dengar, dan pelajari sejak kecil. Semuanya notabene sarat dengan nilai-nilai yang distandarkan pada hawa nafsu (sekulerisme-hedonisme). Pemikiran kita dicekoki oleh kesemuanya itu. Secara ngga sadar itu semua membentuk cara & standar berpikir serta pola perilaku kita. Layaknya pisau yang diasah terus menerus, kita akan jadi cenderung condong pada nilai-nilai seperti ini.
Duel Ideologi
Orang yang mengadopsi sebuah ideologi (boleh secara sadar atau tidak) juga disebut mengemban ideologi. Ia pasti selalu mencoba menyebarkan/mempropagandakan ideologi yang diembannya. Itulah kenapa seorang da’i/juru da’wah juga dinamakan pengemban da’wah (hamilud da’wah, bhs. Arab). Karena sesorang pasti mengemban sebuah ideologi, ia pasti cenderung resisten terhadap ideologi yang lain. Ideologi yang diemban seperti membentuk ’antibodi’ atau sistem kekebalan yang membuat kita selalu coba membantah segala yang berlawanan dengan paham yang kita emban tersebut. Sebab masing-masing pengemban pemikiran memiliki standar dan kepentingan berbeda.
Orang yang berpaham sosialis & kapital-sekuleris memikirkan sesuatu berstandarkan hawa nafsu, perasaan, dan akal semata. Sedangkan orang berideologi Islam, (sudah selayaknya) menstandarkan baik-buruk fakta berdasarkan hukum-hukum Islam (syariat), akhlakul karimah, serta akal sehat.
Duel ideologi tidak hanya terjadi dalam ranah individu atau kelompok. Ideologi yang berseberanganlah membuat Perang Teluk meletus. Perang yang melibatkan dua kepentingan dan dua ideologi berbeda, Amerika dengan kapitalismenya, dengan Uni Sovyet dengan sosialis-komunisnya. Sama halnya dengan pendudukan militer AS di tanah-tanah kaum Muslim. Di dalamnya sangat sarat dengan kepentingan ideologi kapitalisme dengan demokrasinya (note: AS menyerang Irak & Afghanistan atas nama demokratisasi).
Percaturan ideologi tidak hanya terjadi dalam bentuk perang fisik, kawan. Kita lihat di luar sana serangan-serangan budaya tak henti-hentinya mencoba ’mencuci otak’ umat Muslim. Dominasi politik, ekonomi, militer, bahkan perebutan hak milik kekayaan alam yang dilakukan AS terhadap Indonesia juga bentuk lain dari fakta adanya percaturan ideologi.
(Tampaknya kita telah jauh keluar pembahasan kawan. Mari kembali ke benang merah.)
Lalu cuci otak macam apa yang benar? Cuci otak yang benar adalah cuci otak yang Islami. Yang mampu membawa perubahan mendasar dan besar bagi sebuah individu untuk melakukan segala hal berdasarkan nilai-nilai akidah yang diadopsinya. Yang dapat membuka pintu hidayah. Yang menggiring pada keutamaan pintu taubat. Dan yang jelas dapat mengantarkan kita pada kenikmatan dunia sekaligus surga-Nya yang kekal.
Itu jualah yang membuat para sahabat Nabi saw dulu menjadi sosok-sosok revolusioner teladan kita semua.
Mereka rela meninggalkan kebiasaan jahiliyah nenek moyangnya. Teringat lah cerita sosok Umar bin Khattab, si pembuat tuhan dari roti, yang sebelum masuk Islam menguburkan anak perempuannya hidup-hidup atas nama gengsi pada penduduk Mekkah. Ia hanya bisa menangis menyesali kebodohan yang dibuatnya di masa lalu.
Agama yang dibawa Muhammad saw mampu melepaskan anak dari orang tuanya, suami dari isterinya, atau sebaliknya. Teringat kembali pada sosok yang menjadi ahli lobi kota Yatsrib (Madinah), mengislamkan penduduknya, lalu menjadikan Yatsrib menjadi kota yang aman untuk dihijrahi Rasul. Ialah Mush’ab bin Umair ra,. Pemuda paling wangi, tampan dan berkelas di kota Mekkah. Ia rela meninggalkan kekayaannya, popularitasnya bahkan orangtuanya untuk mengemban Islam yang dipeluknya.
Mereka semua rela melakukan apapun untuk mempertahankan syahadatnya. Teringatlah kembali pada keluarga Yasir ra, yang sekeluarganya dibunuh Bani Makhzum (dalam film The Message, digambarkan keluarga beliau dibunuh dengan tombak di depan mata Yasir). Teringatlah kalian pada sosok Bilal, budak hitam dari Habasyah (Ethiopia) yang disiksa majikannya dengan tindihan batu dan panas baranya suhu padang pasir. Untuk apa mereka lakukan itu? Untuk mempertahankan syahadatnya!
Hidayah macam apa yang mampu membuat mereka sedemikian ’lebay’-nya (maaf, ini jika kita hanya main perasaan)? Taubat seperti apa yang mampu mendorong mereka meninggalkan kenikmatan dunia, kebiasaan jahil, harta, keluarga bahkan nyawanya? ’Sihir’ macam apa yang mampu mengubah mereka menjadi singa-singa padang pasir yang berakhlak mulia? Lalu, syahadat seperti apa yang membuat masyarakat Islam mampu menghapus Romawi dan Persia dari peta dunia sekaligus dalam waktu yang singkat saja? Mereka menjadi masyarakat yang maju di segala bidang, memegang kendali peradaban dunia selama berabad-abad, hikmahnya selalu diakui oleh siapapun, dan sejarahnya selalu menginspirasi sepanjang masa.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bum (TQS.Al-A’raaf [7] : 96)
Tak salah lagi, Islamlah yang telah mencuci otak mereka. Telah datang pada mereka sosok revolusioner sejati (Rasulullah saw) yang membawa agama baru. Spirit baru pemantik bulir-bulir perubahan. Ialah spirit yang memberi pembebasan dari penjajahan atas hawa nafsu. Revolusi. Bukan hanya revolusi individu, tapi revolusi peradaban, dari kegelapan menuju cahaya Islam.
Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ’alamiin.
Dan tidaklah Kami umengutus engkau (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi sekalian alam. (TQS.Al-Ahzab [21] : 107)
Lalu adakah yang salah dengan cuci otak? Justru pencucian otak itu lumrah terjadi. Apalagi kita anak muda. Yang dapat melihat dunia dengan nyata, keluasan pandangannya. Jiwa yang meledak-ledak tak pernah lelah menyusur gelap, mencari apa yang kita sebut jatidiri dan hakikat hidup. Inilah pemuda dengan segenap potensinya. Entah itu tenaga, pikiran, usia yang masih muda, ringannya beban, dan yang paling penting, idealismenya!
Nyuci Otak, Nyuci Hati!
Mari cuci lagi otak kita, kawan. Bersihkan sudut-sudut otak dari pikiran-pikiran picik lagi isme-isme sesat yang mengotori. Lumuri dengan cara dan standar berpikir yang Islami, lalu penuhi otakmu dengan pemahaman dan wawasan Islam yang kokoh.
Jadikanlah panca indera kita menjadi pintu bagi datangnya hidayah agar kita tidak dihinakan Allah atas anugerah ini. Lalu buka hati dengan penuh pengertian dan kesadaran untuk membuatnya sempurna. Kalau dipikir-pikir, semua orang mempunyai kesempatan dan potensi yang sama besar untuk meraih kebenaran, hidayah yang datang dari Tuhannya. Kita semua punya mata untuk melihat, punya telinga untuk mendengar, punya ’hati’ untuk merasakan, dan punya akal untuk berpikir.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(TQS. Al-A’raaf [7] : 179)
Sudah saatnya kita menghindari predikat binatang ternak dengan berlomba-lomba mencari dan mengamalkan kebenaran yang datang dari Tuhan. Saya terhenyak ketika mengetahui bahwa Rasul saw pernah bersabda bahwa hidayah terbesar yang dianugerahkan bagi manusia adalah akalnya. Jadi, bukannya lucu mendengar ocehan teman-teman muslimah kita yang sudah diberitahu wajibnya menutup aurat dan memakai jilbab, tapi mereka mengatakan, ”belum dapat hidayah”. Jadi, diikemanakan akal mereka selama ini? (muslimah hanya diambil sebagai contoh, semoga kita tidak seperti mereka, mengetahui suatu perkara wajib dilaksanakan, tapi masih saja berkilah).
Lalu, apa masalah kita? Kita punya mata yang masih bisa dipakai melihat dan membaca (alhamdulillah, walau ada yang kacamata-an), telinga kita masih bisa dipakai mendngar, akal-pun kita punya. Sahabat rahimakulullah, hidayah ternyata selain terkait langsung dengan panca indra dan akal, ia juga erat hubungannya dengan hati. Hati-lah yang seringkali menolak apa-apa yang sudah nyata kebenarannya. Bisa gengsi, malu, dsb.
Ialah kesombongan hati. Kesombongan yang nyata-nyata menutup pintu hati, memberatkan langkah, dan membuat kita enggan menerima kebenaran. Itulah yang selama ini membuat kita stagnan dan telah merasa puas dengan keadaan. Hingga sudah selayaknya, tidak ada pilihan lain bagi kita untuk sama menyingkirkannya, sudah saatnya kita mencuci juga hati kita..
Insya Allah, yang demikian adalah lebih baik, selagi kita masih bisa. Agar pada suatu hari kelak tak ada lagi penyesalan. Tak ada lagi sesal karena telah menutup celah-celah hidayah. Tak ada lagi sesal karena telah menolak-apa-apa yang nyata kebenarannya. Tak ada lagi sesal karena kita bersama telah mencuci, memenuhi, dan memakai otak kita dengan hidayah yang diberikan-Nya.
Wallahu’alam bishowab
Saudaramu, yang tidak pernah rela, engkau begitu [yg terakhir ni kata2 Ferry. Thanks, Sob!] Cetak halaman ini
Problem utama bagi orang yang malas nyuci baju adalah paling susah meng-eksekusi niatan nyuci. Apalagi mahasiswa rantauan kayak saya. Yang selama hidupnya jarang-jarang nyuci baju sendiri. Mentang dulu-dulu waktu masih numpang di rumah ortu masih dicuciin (buka kartu nih ceritanya!). Udah deh, bawaannya kalo liat tumpukan baju kotor yang seindah Gunung Semeru, pasti pengen banget tuh buat segera mindahin ke lemari tanpa harus dicuci. Apalagi kalo di dalamnya kulihat celana jeans yang tebalnya ngalahin kulit badak! Waks! Mungkin lebaran taon depan tuh baru kecuci. Hehe. Malang nian nasibku. Baju apa yang akan kupakai ‘tar sore? Fren, cuciin baju gue dooonk . . .
Huhh, kok saya jadi curhat ma kalian?
Btw, ngomong-ngomong masalah cucian, gue inget istilah ‘brainwash’. Wah wah, apa ini? Nyuci otak! Emang otakmu udah seberapa buluk jadi harus dicuci? Pake rinso? Wah, ngaco, kasian cuy! Jangan . . . . jangan pake rinso aja, pake juga tuh papan gilesan ma sikat kawat! Ahaha
Udah ah, makin ngaco aja ni tulisan.
Pokoknya, yaa cuci otak-lah namanya. Sesuatu yang sering dituduh biang ekstrimisme & eksklusifisme. Sesuatu yang pada ditakutin orangtua kalo terjadi pada anaknya. Maklum, namanya juga orang tua, ga begitu ngerti gejolak kawula muda . . . (bunda, cuciin bajuku ya!).
’Cuci Otak’!
Cuci, adalah kata kerja; aktifitas membersihkan sesuatu dari obyek yang mengotori. Sedangkan otak adalah kata benda; pusat syaraf, tempat berpikir dan tempat mengingat informasi. Kedua kata ini jika digabung menjadi kata majemuk, atau idiom, bentuknya ’diterangkan-menerangkan’ (DM), memiliki arti konotatif. Jika diterjemahkan secara kasar, cuci otak artinya membersihkan otak sebagai tempat berpikir dsb dari obyek-obyek yang mengotori. . . .(itu kalo kamu nanya ma guru bahasa, mah!)
Ngawur! Hehe, anggap aja paragraf di atas cuma hiasan, oke. Bagiku (ceila, subyektif amat!) cuci otak adalah aktifitas pembentukan perubahan pola pikir yang baru (berbeda dari sebelumnya) pada seorang manusia. Sifatnya mendasar, mengenai segala hal. Ini menyangkut ideologi, mindset, paradigma, sudut pandang, akidah, atau apapun itu namanya. Tentang bagaimana kita menilai baik dan buruk suatu fakta. Akhirnya dari sana dibentuk pula pola perilaku (apa yang kita pikirkan, katakan dan lakukan).
Makna cuci otak sendiri saat ini telah dipersempit oleh orang-orang tak bertanggungjawab (soalnya ada juga yang bertanggungtanya) sehingga memiliki makna atau citra negatif (peyorasi).
***
(zzzzzzzzz . . . nyaho! Pusing, pusing dah loe!)
***
Memahami Realitas
AKU YAKIN OTAK KALIAN TELAH DICUCI!. (Hahaha, jangan marah, bro, penjelasannya masih panjang). Namun salah besar jika kalian mengira itu tanpa sebab. Lebih salah lagi jika kalian menganggap cuci otak itu salah. Tergantung dengan apa dan untuk apa cuci otak itu dilakukan.
Cuci Otak Sosialis!
Orang yang dicuci otaknya dengan pemahaman sosialis-komunis bisa kita liat dengan tanda-tanda sbb. Suka nangkring di sudut atau tengah kota. Mereka yang serampangan, anti kemapanan, menyukai atribut merah-merah, gemar mengepal tangan kiri ke atas sambil teriak-teriak ’revolusi’. Nyanyi dengan lagu-lagu sosial, buruh, perubahan, kebebasan, anti-kapitalisme dan yang semacamnya, adalah ciri khas mereka. Lengkap dengan emblem Guevara dan tokoh sosialis sebangsanya. Yap, ga salah lagi, style kayak gitu adalah tanda mereka adalah anak muda yang terlanjur di-’brainwash’ oleh pemahaman sosialis. (NB: Yg kutulis di atas adalah sosialis berandalan, cz ada juga sosialis yg intelektual)
Contoh komunitas sosialis belum aku temukan di Banjarmasin, jadi akan susah kalian bayangkan. Kelompok yang sedikit berafiliasi dengan orang-orang sosialis, atau golongan kiri, adalah anak punk ideologis (bukan sekedar style). Sedikit aja sih. Tapi mereka bukanlah sosialis yang sebenarnya.
Lalu apakah hanya itu? Apakah orang yang dicuci otak hanya orang yang stylenya agak beda dari kebanyakan orang pada umumnya?
Tidak tampak berbeda bukan berarti tak pernah dicuci otaknya! Semua orang pasti mengadopsi salah satu ideologi (pilihannya cuma tiga, kawan, kapitalisme, sosialisme, atau Islam), mustahil tidak. Sebab semua orang pasti memiliki tolok ukur benar dan salah yang tertentu, tergantung ideologi yang dianutnya. Itu artinya orang-orang juga memiliki ideologi masing-masing. Dan setiap orang mengadopsi ideologi tertentu setelah didahului dengan ’pencucian otak’, entah itu prosesnya instan, ataupun tidak (nah ini dia).
(btw pembahasan Pancasila sebagai ideologi akan kita bahas lain kali, teman, woke? Jadi sabar ya, kita batasi pembatasan kita kali ini agar tidak melebar kemana-mana)
Karena kapitalisme yang saat ini masih memimpin peradaban, tak ayal pemikiran kapital-sekulerisme pulalah yang mendominasi umat manusia. Otak kita kebanyakan-pun secara tidak sadar telah dicuci dengan pemahaman ini. Lihatlah apa yang kita tonton, baca, dengar, dan pelajari sejak kecil. Semuanya notabene sarat dengan nilai-nilai yang distandarkan pada hawa nafsu (sekulerisme-hedonisme). Pemikiran kita dicekoki oleh kesemuanya itu. Secara ngga sadar itu semua membentuk cara & standar berpikir serta pola perilaku kita. Layaknya pisau yang diasah terus menerus, kita akan jadi cenderung condong pada nilai-nilai seperti ini.
Duel Ideologi
Orang yang mengadopsi sebuah ideologi (boleh secara sadar atau tidak) juga disebut mengemban ideologi. Ia pasti selalu mencoba menyebarkan/mempropagandakan ideologi yang diembannya. Itulah kenapa seorang da’i/juru da’wah juga dinamakan pengemban da’wah (hamilud da’wah, bhs. Arab). Karena sesorang pasti mengemban sebuah ideologi, ia pasti cenderung resisten terhadap ideologi yang lain. Ideologi yang diemban seperti membentuk ’antibodi’ atau sistem kekebalan yang membuat kita selalu coba membantah segala yang berlawanan dengan paham yang kita emban tersebut. Sebab masing-masing pengemban pemikiran memiliki standar dan kepentingan berbeda.
Orang yang berpaham sosialis & kapital-sekuleris memikirkan sesuatu berstandarkan hawa nafsu, perasaan, dan akal semata. Sedangkan orang berideologi Islam, (sudah selayaknya) menstandarkan baik-buruk fakta berdasarkan hukum-hukum Islam (syariat), akhlakul karimah, serta akal sehat.
Duel ideologi tidak hanya terjadi dalam ranah individu atau kelompok. Ideologi yang berseberanganlah membuat Perang Teluk meletus. Perang yang melibatkan dua kepentingan dan dua ideologi berbeda, Amerika dengan kapitalismenya, dengan Uni Sovyet dengan sosialis-komunisnya. Sama halnya dengan pendudukan militer AS di tanah-tanah kaum Muslim. Di dalamnya sangat sarat dengan kepentingan ideologi kapitalisme dengan demokrasinya (note: AS menyerang Irak & Afghanistan atas nama demokratisasi).
Percaturan ideologi tidak hanya terjadi dalam bentuk perang fisik, kawan. Kita lihat di luar sana serangan-serangan budaya tak henti-hentinya mencoba ’mencuci otak’ umat Muslim. Dominasi politik, ekonomi, militer, bahkan perebutan hak milik kekayaan alam yang dilakukan AS terhadap Indonesia juga bentuk lain dari fakta adanya percaturan ideologi.
(Tampaknya kita telah jauh keluar pembahasan kawan. Mari kembali ke benang merah.)
Lalu cuci otak macam apa yang benar? Cuci otak yang benar adalah cuci otak yang Islami. Yang mampu membawa perubahan mendasar dan besar bagi sebuah individu untuk melakukan segala hal berdasarkan nilai-nilai akidah yang diadopsinya. Yang dapat membuka pintu hidayah. Yang menggiring pada keutamaan pintu taubat. Dan yang jelas dapat mengantarkan kita pada kenikmatan dunia sekaligus surga-Nya yang kekal.
Itu jualah yang membuat para sahabat Nabi saw dulu menjadi sosok-sosok revolusioner teladan kita semua.
Mereka rela meninggalkan kebiasaan jahiliyah nenek moyangnya. Teringat lah cerita sosok Umar bin Khattab, si pembuat tuhan dari roti, yang sebelum masuk Islam menguburkan anak perempuannya hidup-hidup atas nama gengsi pada penduduk Mekkah. Ia hanya bisa menangis menyesali kebodohan yang dibuatnya di masa lalu.
Agama yang dibawa Muhammad saw mampu melepaskan anak dari orang tuanya, suami dari isterinya, atau sebaliknya. Teringat kembali pada sosok yang menjadi ahli lobi kota Yatsrib (Madinah), mengislamkan penduduknya, lalu menjadikan Yatsrib menjadi kota yang aman untuk dihijrahi Rasul. Ialah Mush’ab bin Umair ra,. Pemuda paling wangi, tampan dan berkelas di kota Mekkah. Ia rela meninggalkan kekayaannya, popularitasnya bahkan orangtuanya untuk mengemban Islam yang dipeluknya.
Mereka semua rela melakukan apapun untuk mempertahankan syahadatnya. Teringatlah kembali pada keluarga Yasir ra, yang sekeluarganya dibunuh Bani Makhzum (dalam film The Message, digambarkan keluarga beliau dibunuh dengan tombak di depan mata Yasir). Teringatlah kalian pada sosok Bilal, budak hitam dari Habasyah (Ethiopia) yang disiksa majikannya dengan tindihan batu dan panas baranya suhu padang pasir. Untuk apa mereka lakukan itu? Untuk mempertahankan syahadatnya!
Hidayah macam apa yang mampu membuat mereka sedemikian ’lebay’-nya (maaf, ini jika kita hanya main perasaan)? Taubat seperti apa yang mampu mendorong mereka meninggalkan kenikmatan dunia, kebiasaan jahil, harta, keluarga bahkan nyawanya? ’Sihir’ macam apa yang mampu mengubah mereka menjadi singa-singa padang pasir yang berakhlak mulia? Lalu, syahadat seperti apa yang membuat masyarakat Islam mampu menghapus Romawi dan Persia dari peta dunia sekaligus dalam waktu yang singkat saja? Mereka menjadi masyarakat yang maju di segala bidang, memegang kendali peradaban dunia selama berabad-abad, hikmahnya selalu diakui oleh siapapun, dan sejarahnya selalu menginspirasi sepanjang masa.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bum (TQS.Al-A’raaf [7] : 96)
Tak salah lagi, Islamlah yang telah mencuci otak mereka. Telah datang pada mereka sosok revolusioner sejati (Rasulullah saw) yang membawa agama baru. Spirit baru pemantik bulir-bulir perubahan. Ialah spirit yang memberi pembebasan dari penjajahan atas hawa nafsu. Revolusi. Bukan hanya revolusi individu, tapi revolusi peradaban, dari kegelapan menuju cahaya Islam.
Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ’alamiin.
Dan tidaklah Kami umengutus engkau (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi sekalian alam. (TQS.Al-Ahzab [21] : 107)
Lalu adakah yang salah dengan cuci otak? Justru pencucian otak itu lumrah terjadi. Apalagi kita anak muda. Yang dapat melihat dunia dengan nyata, keluasan pandangannya. Jiwa yang meledak-ledak tak pernah lelah menyusur gelap, mencari apa yang kita sebut jatidiri dan hakikat hidup. Inilah pemuda dengan segenap potensinya. Entah itu tenaga, pikiran, usia yang masih muda, ringannya beban, dan yang paling penting, idealismenya!
Nyuci Otak, Nyuci Hati!
Mari cuci lagi otak kita, kawan. Bersihkan sudut-sudut otak dari pikiran-pikiran picik lagi isme-isme sesat yang mengotori. Lumuri dengan cara dan standar berpikir yang Islami, lalu penuhi otakmu dengan pemahaman dan wawasan Islam yang kokoh.
Jadikanlah panca indera kita menjadi pintu bagi datangnya hidayah agar kita tidak dihinakan Allah atas anugerah ini. Lalu buka hati dengan penuh pengertian dan kesadaran untuk membuatnya sempurna. Kalau dipikir-pikir, semua orang mempunyai kesempatan dan potensi yang sama besar untuk meraih kebenaran, hidayah yang datang dari Tuhannya. Kita semua punya mata untuk melihat, punya telinga untuk mendengar, punya ’hati’ untuk merasakan, dan punya akal untuk berpikir.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(TQS. Al-A’raaf [7] : 179)
Sudah saatnya kita menghindari predikat binatang ternak dengan berlomba-lomba mencari dan mengamalkan kebenaran yang datang dari Tuhan. Saya terhenyak ketika mengetahui bahwa Rasul saw pernah bersabda bahwa hidayah terbesar yang dianugerahkan bagi manusia adalah akalnya. Jadi, bukannya lucu mendengar ocehan teman-teman muslimah kita yang sudah diberitahu wajibnya menutup aurat dan memakai jilbab, tapi mereka mengatakan, ”belum dapat hidayah”. Jadi, diikemanakan akal mereka selama ini? (muslimah hanya diambil sebagai contoh, semoga kita tidak seperti mereka, mengetahui suatu perkara wajib dilaksanakan, tapi masih saja berkilah).
Lalu, apa masalah kita? Kita punya mata yang masih bisa dipakai melihat dan membaca (alhamdulillah, walau ada yang kacamata-an), telinga kita masih bisa dipakai mendngar, akal-pun kita punya. Sahabat rahimakulullah, hidayah ternyata selain terkait langsung dengan panca indra dan akal, ia juga erat hubungannya dengan hati. Hati-lah yang seringkali menolak apa-apa yang sudah nyata kebenarannya. Bisa gengsi, malu, dsb.
Ialah kesombongan hati. Kesombongan yang nyata-nyata menutup pintu hati, memberatkan langkah, dan membuat kita enggan menerima kebenaran. Itulah yang selama ini membuat kita stagnan dan telah merasa puas dengan keadaan. Hingga sudah selayaknya, tidak ada pilihan lain bagi kita untuk sama menyingkirkannya, sudah saatnya kita mencuci juga hati kita..
Insya Allah, yang demikian adalah lebih baik, selagi kita masih bisa. Agar pada suatu hari kelak tak ada lagi penyesalan. Tak ada lagi sesal karena telah menutup celah-celah hidayah. Tak ada lagi sesal karena telah menolak-apa-apa yang nyata kebenarannya. Tak ada lagi sesal karena kita bersama telah mencuci, memenuhi, dan memakai otak kita dengan hidayah yang diberikan-Nya.
Wallahu’alam bishowab
Saudaramu, yang tidak pernah rela, engkau begitu [yg terakhir ni kata2 Ferry. Thanks, Sob!] Cetak halaman ini