Kita Bukan Patung Batu
oleh Muhammad Amda Magyasa
Fitri adalah anak perempuan biasa. Perawakan kurus dan rambut hitam sebahu. Kulitnya tidak bisa dibilang putih, tapi juga tidak hitam legam. Ya maklumlah, teriknya matahari yang panas menyengat adalah sahabat dekat fitri dalam mengarungi lika liku kehidupannya. Meski usianya masih 8 tahun, kesehariannya tidak ia habiskan di taman taman bermain, di rumah maupun di bangku sekolah.
Jalan raya dengan semerbak asap kendaraan adalah dunia Fitri. Kita mungkin merasa perih melihat anak sekecil itu harus bergulat peluh dengan kerasnya kehidupan, sedang kita yang jauh lebih tua daripadanya masih bisa tertawa dengan majalah ataupun game di rumah nan teduh.
Tapi itulah kehidupan Fitri. Hari ini, ditengah hingar bingar arus mudik dan kebahagiaan orang orang merayakan hari kemenangan, fitri kembali berjalan menyusuri jalanan ibukota, Jakarta. Mengais rezeki ditemani sahabat setia, teriknya matahari.
***
Sahabat, saya bukan sedang mencoba bikin resensi sebuah novel. Bukan juga bikin cerpen buat dikirim ke majalah Bobo. Saya hanya mengutipkan sebuah cerita hidup seorang anak manusia yang tinggal di kota Jakarta. Mungkin ada sebagian diantara kamu yang ketika membaca cerita hidup di atas akan merasa bosan. ”~Alaah~ cerita yang kaya gitu mah banyak, bosan gue..”. Ya, sama. Saya juga bosan. Ingin rasanya ketika saya melihat televisi, yang disiarkan adalah remaja putra yang berhasil hafal al-qur’an, remaja putri yang di mana mana anggun dengan kerudung dan jilbab yang menutup auratnya.. Ini baru keren !
Nyatanya? Nengok kanan kiri, yang dilihat remaja yang bangga dengan pergaulan bebasnya. Nengok ke belakang, banyak anak anak yang putus sekolah dan terpaksa bekerja banting tulang untuk memenuhi hidupnya. Nengok ke depan? Malah masyarakat yang juga hidup serba susah dan melarat ! Trus gimana gak bosan coba??!
Kisah hidup fitri hanyalah gambaran kecil dari kehidupan manusia yang mengais ”sisa sisa rezeki” di tengah padang kekayaan bumi Indonesia ini. Tadi pagi, bisa kita saksikan sendiri. Ribuan orang berkerumun berdesak desakan berebut mendapatkan ”uang permen” di kediaman Bapak Fauzi Bowo. Sekitar 6000 bungkusan dibagikan beserta uang tunai sebesar Rp 40.000/orang.
Bayangkan??! Rp. 40.000 sanggup membuat orang orang berdesak desakan mempertaruhkan nyawa ! Tanda bahwa negeri kaya nan sejahtera ini dihuni penduduk yang bergelimang dengan kemiskinan dan kekurangan ! Saya bukan mau mengomentari prosedural pembagian uang maupun teknisnya yang akhirnya mengakibatkan dua orang terpaksa dilarikan kerumah sakit karena terinjak injak hingga muka dan hidungnya luka berdarah darah. Tapi yang ingin saya garis bawahi, inilah potret kemiskinan negeri kita tercinta !
Okelah, kita sangat menyayangkan tindakan masyarakat yang juga teledor dan tidak mau peduli dengan keadaan yang bakal terjadi dengan ikut berdesak desakan di sana. Tapi jangan hanya salahkan mereka dengan tindakan ceroboh dan membahayakan diri itu. Pernah kamu dengar kisah seorang pencuri yang mengaku terpaksa mencuri karena himpitan ekonomi dan perut yang senantiasa kosong? Ya, rasanya tidak masuk akal akan ada orang yang mau mencuri ataupun berdesak desakan hingga nyawa taruhannya jika memang keadaan dirinya tidak terdesak.
MUNGKIN KAMU TELAH LUPA
Jauh silam, sebuah tatanan kehidupan yang luar biasa harmonis, tentram dan sejahtera telah berdiri tegak sedemikian lama menanungi kehidupan manusia.
Sebuah dialog pendek antara Muadz bi Jabal dan Khalifah Umar bin Khaththab ini mungkin menggambarkan luar biasa besarnya tatanan kehidupan itu :
Hari ini, di negeri makmur dan kaya ini. Kita tidak melihat kemakmuran yang merata selayaknya masa Umar bin Khaththab. Kita tidak pernah mendengar ada rumah gubernur atau walikota yang ketika mereka mengumumkan akan bagi bagi uang, masyarakat akan cuek dan tetap anteng di rumah masing masing. Kita tidak pernah menyaksikan dan mendengar Pak Presiden bilang,”Hari ini tidak ada lagi orang orang yang berhak menerima zakat karena semua sudah berkecukupan.”
Karena hingga hari ini, kita semua masih membuang sistematika tatanan hidup yang sempurna itu jauh di sampah peradaban.
(Banjarmasin, 22 September 2009)
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H,
Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin.
Semoga ini Idul Fitri terakhir tanpa tegaknya Syariah-Nya Cetak halaman ini
Fitri adalah anak perempuan biasa. Perawakan kurus dan rambut hitam sebahu. Kulitnya tidak bisa dibilang putih, tapi juga tidak hitam legam. Ya maklumlah, teriknya matahari yang panas menyengat adalah sahabat dekat fitri dalam mengarungi lika liku kehidupannya. Meski usianya masih 8 tahun, kesehariannya tidak ia habiskan di taman taman bermain, di rumah maupun di bangku sekolah.
Jalan raya dengan semerbak asap kendaraan adalah dunia Fitri. Kita mungkin merasa perih melihat anak sekecil itu harus bergulat peluh dengan kerasnya kehidupan, sedang kita yang jauh lebih tua daripadanya masih bisa tertawa dengan majalah ataupun game di rumah nan teduh.
Tapi itulah kehidupan Fitri. Hari ini, ditengah hingar bingar arus mudik dan kebahagiaan orang orang merayakan hari kemenangan, fitri kembali berjalan menyusuri jalanan ibukota, Jakarta. Mengais rezeki ditemani sahabat setia, teriknya matahari.
***
Sahabat, saya bukan sedang mencoba bikin resensi sebuah novel. Bukan juga bikin cerpen buat dikirim ke majalah Bobo. Saya hanya mengutipkan sebuah cerita hidup seorang anak manusia yang tinggal di kota Jakarta. Mungkin ada sebagian diantara kamu yang ketika membaca cerita hidup di atas akan merasa bosan. ”~Alaah~ cerita yang kaya gitu mah banyak, bosan gue..”. Ya, sama. Saya juga bosan. Ingin rasanya ketika saya melihat televisi, yang disiarkan adalah remaja putra yang berhasil hafal al-qur’an, remaja putri yang di mana mana anggun dengan kerudung dan jilbab yang menutup auratnya.. Ini baru keren !
Nyatanya? Nengok kanan kiri, yang dilihat remaja yang bangga dengan pergaulan bebasnya. Nengok ke belakang, banyak anak anak yang putus sekolah dan terpaksa bekerja banting tulang untuk memenuhi hidupnya. Nengok ke depan? Malah masyarakat yang juga hidup serba susah dan melarat ! Trus gimana gak bosan coba??!
Kisah hidup fitri hanyalah gambaran kecil dari kehidupan manusia yang mengais ”sisa sisa rezeki” di tengah padang kekayaan bumi Indonesia ini. Tadi pagi, bisa kita saksikan sendiri. Ribuan orang berkerumun berdesak desakan berebut mendapatkan ”uang permen” di kediaman Bapak Fauzi Bowo. Sekitar 6000 bungkusan dibagikan beserta uang tunai sebesar Rp 40.000/orang.
Bayangkan??! Rp. 40.000 sanggup membuat orang orang berdesak desakan mempertaruhkan nyawa ! Tanda bahwa negeri kaya nan sejahtera ini dihuni penduduk yang bergelimang dengan kemiskinan dan kekurangan ! Saya bukan mau mengomentari prosedural pembagian uang maupun teknisnya yang akhirnya mengakibatkan dua orang terpaksa dilarikan kerumah sakit karena terinjak injak hingga muka dan hidungnya luka berdarah darah. Tapi yang ingin saya garis bawahi, inilah potret kemiskinan negeri kita tercinta !
Okelah, kita sangat menyayangkan tindakan masyarakat yang juga teledor dan tidak mau peduli dengan keadaan yang bakal terjadi dengan ikut berdesak desakan di sana. Tapi jangan hanya salahkan mereka dengan tindakan ceroboh dan membahayakan diri itu. Pernah kamu dengar kisah seorang pencuri yang mengaku terpaksa mencuri karena himpitan ekonomi dan perut yang senantiasa kosong? Ya, rasanya tidak masuk akal akan ada orang yang mau mencuri ataupun berdesak desakan hingga nyawa taruhannya jika memang keadaan dirinya tidak terdesak.
MUNGKIN KAMU TELAH LUPA
Jauh silam, sebuah tatanan kehidupan yang luar biasa harmonis, tentram dan sejahtera telah berdiri tegak sedemikian lama menanungi kehidupan manusia.
Sebuah dialog pendek antara Muadz bi Jabal dan Khalifah Umar bin Khaththab ini mungkin menggambarkan luar biasa besarnya tatanan kehidupan itu :
Al Ubaid menuturkan(Al-Amwal, hlm 596) Muadz pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada khalifah Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, khalifah Umar mengembalikannya.***
Ketika Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Khalifah Umar menolaknya dan berkata,” Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti. Saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.”
Muadz menjawab,”Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apapun kepada anda.”
*
Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada khalifah Umar, tetapi beliau pun mengembalikannya.
Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan SEMUA hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan lagi oleh Khalifah Umar. Muadz berkata,”Saya tidak menjumpai seorangpun yang berhak menerima zakat yang saya pungut.” (Al Qaradhawi, 1995).
Hari ini, di negeri makmur dan kaya ini. Kita tidak melihat kemakmuran yang merata selayaknya masa Umar bin Khaththab. Kita tidak pernah mendengar ada rumah gubernur atau walikota yang ketika mereka mengumumkan akan bagi bagi uang, masyarakat akan cuek dan tetap anteng di rumah masing masing. Kita tidak pernah menyaksikan dan mendengar Pak Presiden bilang,”Hari ini tidak ada lagi orang orang yang berhak menerima zakat karena semua sudah berkecukupan.”
Karena hingga hari ini, kita semua masih membuang sistematika tatanan hidup yang sempurna itu jauh di sampah peradaban.
(Banjarmasin, 22 September 2009)
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H,
Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin.
Semoga ini Idul Fitri terakhir tanpa tegaknya Syariah-Nya Cetak halaman ini