RS Mitra Internasional Jatinegara Pecat 3 Perawat Karena Jilbab?
Inikah toleransi beragama?
Jika di negeri Indonesia yang mayoritas Muslim saja ummat Islam bisa ditindas, bagaimana jika mereka jadi minoritas?
Tiga perawat berjilbab (inilah.com /Wirasatria)
dakwatuna.com – Wajah tiga perempuan ini begitu tenang. Ada keyakinan yang sedang mereka perjuangkan. Meski, untuk itu mereka harus membayar mahal: dipecat setelah 15 tahun mengabdi. Suharti, Sutiyem dan Wiwin Winarti tak banyak bicara. Senin siang (7/11), ketiga wanita ini mendatangi Komnas HAM. Mereka sedang memperjuangkan keyakinannya: jilbab.
Tiga wanita ini adalah perawat di Rumah Sakit Mitra Internasional, Jatinegara, Jakarta Timur. Saat ini, mereka sedang menunggu proses pemecatan resmi dari tempat dimana mereka sudah 15 tahun mengabdi.
Suharti, 42 tahun, Sutiyem, 36 tahun dan Wiwin Winarti, 40 tahun terpaksa menuntut keadilan lewat Komnas HAM. Ketiganya mengaku telah dizalimi keyakinannya.
“Saya masih ingin tetap bekerja di RS Mitra Internasional. Saya merasa ini cubitan dari Allah, teguran dari Tuhan karena kelalaian saya di masa lalu. Saya harus tabah menghadapi cobaan ini,” kata Suharti, perempuan yang mulai berjihad mengenakan jilbab sejak 2000 ini.
Ya, Suharti dan dua temannya, sudah mendapatkan Surat Peringatan 1, 2 dan 3 dari RS Mitra Internasional. Artinya, secara administratif ketiganya sudah layak untuk diproses PHK.
Saat ditanya, kenapa mereka di-PHK? Jawabannya sama: jilbab!
M Luthfie Hakiem, pengacara dari ketiga perawat ini mengatakan, ada prosedur yang tidak sesuai di RS Mitra Internasional.
”Pertama, soal dikeluarkannya SP-1 sampai SP-3. Dalam perjanjian kerja, tiap SP baru bisa dikeluarkan dalam waktu 6 bulan,” katanya.
Tapi, kenyataannya SP-1 sampai SP-3 keluar hanya dalam waktu dua minggu. Selain itu, ada masalah prinsip. Yaitu, tentang alasan pemecatannya.
”Hanya karena ketiga perawat ini tidak memasukkan jilbab mereka. Padahal, di SOP perusahaan, tidak ada aturan itu,” kata Luthfie.
Suharti mengangguk. Juga kedua temannya, Wiwin dan Sutiyem. Mereka bercerita, sejak bulan Januari 2009, RS Mitra Internasional mengeluarkan izin bagi karyawatinya untuk mengenakan jilbab.
Ijin pemakaian jilbab itu sendiri baru dikeluarkan setelah ada tuntutan dari karyawan.
Nah, saat itu Suharti dan beberapa temannya sempat mengajukan usulan disain untuk seragam bagi mereka yang berjilbab, yang sedang dirancang oleh seorang disainer dari Bandung.
Rupanya, pihak manajemen rumah sakit sudah mempunyai disain sendiri. Kemudian, disain itu menjadi aturan pemakaian jilbab bagi karyawati RS Mitra Internasional. Yaitu, jilbab dimasukkan ke dalam kerah dan baju yang tidak sampai ke pergelangan.
Atau, dalam sebutan mereka, itu adalah jilbab gaul karena masih memperlihatkan lekukan bentuk bagian dada. Di sinilah masalah muncul.
Sebab, disain itu dinilai tidak sesuai dengan aqidah yang diyakini. Beberapa perawat dan karyawati RS Mitra Internasional tidak sepakat dengan disain itu. Akhirnya, mereka memilih untuk tetap mengenakan jilbab yang mereka yakini benar secara syariah. Yaitu, jilbab longgar yang justru harus menutupi lekukan tubuh.
”Apa yang kami lakukan dan kenakan ini, yaitu jilbab yang lebar hinga menutup dada, adalah sesuai dengan tuntutan syariah seperti yang ada dalam Al-Quran,” kata Suharti, dan diiyakan oleh dua temannya.
Pilihan ini beresiko. Tiga perawat ini diintimidasi. “Sepuluh kali dipanggil HRD, diintimidasi dengan pertanyaan: Kamu nggak takut digeser? Saya dilarang menggunakan jilbab yang benar menurut keyakinan saya. Semua disertai dengan ancaman,” kata Suharti.
Pernah, ketiga perawat ini memakai jilbab yang tidak terlalu longgar. Mereka memakai jilbab bandana dan jilbab yang dimasukkan ke dalam baju. Tapi, mereka ingat syariah.
“Kami sudah ikuti aturan itu, termasuk kewajiban memakai bandana dan pakaian ketat. Tapi menurut keyakinan kami, berjilbab yang sesuai syariah adalah jilbab yang menutup dada hingga tak terlihat lekukan tubuh, seperti tercantum dalam Al-Quran,” kata Suharti, bersemangat.
Mereka juga mengenakan seragam berkerudung lebar menutup hingga sebatas punggung. Juga mengenakan kaos kaki untuk menutup telapak kakinya.
“Alasan pihak perusahaan terlalu dibuat-buat, yaotu menuntut agar kerudung mereka dimasukkan ke dalam baju. Jadi, tidak ada persoalan dalam performance atau keluhan dari pasien,” kata M Luthfie Hakim, pengacara dari tiga perawat ini.
Artinya, model kerudung yang dikeluarkan di baju atau dimasukkan ke dalam baju, tidak diatur dalam SOP perusahaan.
Apalagi, peraturan jilbab itu telah disertifikasi oleh MUI.
“Kami mengira ada manipulasi sertifikasi halal berpakaian versi MUI oleh RS Mitra Internasional,” tegas Luthfie, yang pernah menjadi pengacara mantan Danjen Kopassus Muchdi PR.
Komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak yang menerima pengaduan tiga perawat ini, berjanji akan menindaklanjuti kasus ini. Dia menjanjikan tiga hal.
Pertama, akan menegur RS Mitra Internasional untuk lebih menghargai keyakinan karyawana. Kedua, menegur Disnaker Jakarta Timur untuk tidak memperantarai dan melanjutkan proses pemecatan terhadap ketiga perawat ini. Ketiga, menegur Serikat Pekerja RS Mitra Internasional karena gagal menjalankan fungsinya dalam membela hak anggotanya.
“Sebetulnya kami berhasil menggalang sekitar sebalas orang, namun yang tersisa hanya tinggal kami bertiga. Seperti seleksi alam,” ujar Suharti kepada INILAH.COM di Komnas HAM, Jakarta, Senin (7/11).
Sampai berita ini diturunkan, pihak manajemen RS Mitra Internasional masih tidak mau dikonfirmasi. INILAH.COM hanya diberi jawaban bahwa direksi dan HRD sedang tidak ada di tempat oleh staf di resepsionis. (inilah/ims)
http://www.dakwatuna.com/2 009/tiga-perawat-akan-dipe cat-karena-berjilbab
Jika di negeri Indonesia yang mayoritas Muslim saja ummat Islam bisa ditindas, bagaimana jika mereka jadi minoritas?
Tiga perawat berjilbab (inilah.com /Wirasatria)
dakwatuna.com – Wajah tiga perempuan ini begitu tenang. Ada keyakinan yang sedang mereka perjuangkan. Meski, untuk itu mereka harus membayar mahal: dipecat setelah 15 tahun mengabdi. Suharti, Sutiyem dan Wiwin Winarti tak banyak bicara. Senin siang (7/11), ketiga wanita ini mendatangi Komnas HAM. Mereka sedang memperjuangkan keyakinannya: jilbab.
Tiga wanita ini adalah perawat di Rumah Sakit Mitra Internasional, Jatinegara, Jakarta Timur. Saat ini, mereka sedang menunggu proses pemecatan resmi dari tempat dimana mereka sudah 15 tahun mengabdi.
Suharti, 42 tahun, Sutiyem, 36 tahun dan Wiwin Winarti, 40 tahun terpaksa menuntut keadilan lewat Komnas HAM. Ketiganya mengaku telah dizalimi keyakinannya.
“Saya masih ingin tetap bekerja di RS Mitra Internasional. Saya merasa ini cubitan dari Allah, teguran dari Tuhan karena kelalaian saya di masa lalu. Saya harus tabah menghadapi cobaan ini,” kata Suharti, perempuan yang mulai berjihad mengenakan jilbab sejak 2000 ini.
Ya, Suharti dan dua temannya, sudah mendapatkan Surat Peringatan 1, 2 dan 3 dari RS Mitra Internasional. Artinya, secara administratif ketiganya sudah layak untuk diproses PHK.
Saat ditanya, kenapa mereka di-PHK? Jawabannya sama: jilbab!
M Luthfie Hakiem, pengacara dari ketiga perawat ini mengatakan, ada prosedur yang tidak sesuai di RS Mitra Internasional.
”Pertama, soal dikeluarkannya SP-1 sampai SP-3. Dalam perjanjian kerja, tiap SP baru bisa dikeluarkan dalam waktu 6 bulan,” katanya.
Tapi, kenyataannya SP-1 sampai SP-3 keluar hanya dalam waktu dua minggu. Selain itu, ada masalah prinsip. Yaitu, tentang alasan pemecatannya.
”Hanya karena ketiga perawat ini tidak memasukkan jilbab mereka. Padahal, di SOP perusahaan, tidak ada aturan itu,” kata Luthfie.
Suharti mengangguk. Juga kedua temannya, Wiwin dan Sutiyem. Mereka bercerita, sejak bulan Januari 2009, RS Mitra Internasional mengeluarkan izin bagi karyawatinya untuk mengenakan jilbab.
Ijin pemakaian jilbab itu sendiri baru dikeluarkan setelah ada tuntutan dari karyawan.
Nah, saat itu Suharti dan beberapa temannya sempat mengajukan usulan disain untuk seragam bagi mereka yang berjilbab, yang sedang dirancang oleh seorang disainer dari Bandung.
Rupanya, pihak manajemen rumah sakit sudah mempunyai disain sendiri. Kemudian, disain itu menjadi aturan pemakaian jilbab bagi karyawati RS Mitra Internasional. Yaitu, jilbab dimasukkan ke dalam kerah dan baju yang tidak sampai ke pergelangan.
Atau, dalam sebutan mereka, itu adalah jilbab gaul karena masih memperlihatkan lekukan bentuk bagian dada. Di sinilah masalah muncul.
Sebab, disain itu dinilai tidak sesuai dengan aqidah yang diyakini. Beberapa perawat dan karyawati RS Mitra Internasional tidak sepakat dengan disain itu. Akhirnya, mereka memilih untuk tetap mengenakan jilbab yang mereka yakini benar secara syariah. Yaitu, jilbab longgar yang justru harus menutupi lekukan tubuh.
”Apa yang kami lakukan dan kenakan ini, yaitu jilbab yang lebar hinga menutup dada, adalah sesuai dengan tuntutan syariah seperti yang ada dalam Al-Quran,” kata Suharti, dan diiyakan oleh dua temannya.
Pilihan ini beresiko. Tiga perawat ini diintimidasi. “Sepuluh kali dipanggil HRD, diintimidasi dengan pertanyaan: Kamu nggak takut digeser? Saya dilarang menggunakan jilbab yang benar menurut keyakinan saya. Semua disertai dengan ancaman,” kata Suharti.
Pernah, ketiga perawat ini memakai jilbab yang tidak terlalu longgar. Mereka memakai jilbab bandana dan jilbab yang dimasukkan ke dalam baju. Tapi, mereka ingat syariah.
“Kami sudah ikuti aturan itu, termasuk kewajiban memakai bandana dan pakaian ketat. Tapi menurut keyakinan kami, berjilbab yang sesuai syariah adalah jilbab yang menutup dada hingga tak terlihat lekukan tubuh, seperti tercantum dalam Al-Quran,” kata Suharti, bersemangat.
Mereka juga mengenakan seragam berkerudung lebar menutup hingga sebatas punggung. Juga mengenakan kaos kaki untuk menutup telapak kakinya.
“Alasan pihak perusahaan terlalu dibuat-buat, yaotu menuntut agar kerudung mereka dimasukkan ke dalam baju. Jadi, tidak ada persoalan dalam performance atau keluhan dari pasien,” kata M Luthfie Hakim, pengacara dari tiga perawat ini.
Artinya, model kerudung yang dikeluarkan di baju atau dimasukkan ke dalam baju, tidak diatur dalam SOP perusahaan.
Apalagi, peraturan jilbab itu telah disertifikasi oleh MUI.
“Kami mengira ada manipulasi sertifikasi halal berpakaian versi MUI oleh RS Mitra Internasional,” tegas Luthfie, yang pernah menjadi pengacara mantan Danjen Kopassus Muchdi PR.
Komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak yang menerima pengaduan tiga perawat ini, berjanji akan menindaklanjuti kasus ini. Dia menjanjikan tiga hal.
Pertama, akan menegur RS Mitra Internasional untuk lebih menghargai keyakinan karyawana. Kedua, menegur Disnaker Jakarta Timur untuk tidak memperantarai dan melanjutkan proses pemecatan terhadap ketiga perawat ini. Ketiga, menegur Serikat Pekerja RS Mitra Internasional karena gagal menjalankan fungsinya dalam membela hak anggotanya.
“Sebetulnya kami berhasil menggalang sekitar sebalas orang, namun yang tersisa hanya tinggal kami bertiga. Seperti seleksi alam,” ujar Suharti kepada INILAH.COM di Komnas HAM, Jakarta, Senin (7/11).
Sampai berita ini diturunkan, pihak manajemen RS Mitra Internasional masih tidak mau dikonfirmasi. INILAH.COM hanya diberi jawaban bahwa direksi dan HRD sedang tidak ada di tempat oleh staf di resepsionis. (inilah/ims)
http://www.dakwatuna.com/2
Labels: Berita Dalam Negeri
Cetak halaman ini