Para Pemimpin Dan Intelektual Barat Bingung Hadapi Hizbut Tahrir Yang Mengancam Peradaban Mereka
Syabab.Com - Majalah Foreign Policy mengeluarkan sebuah artikel yang ditulis oleh Christian Caryl, pada tanggal 22/12, yang isinya berbicara tentang Hizbut Tahrir, dan ketidakberhasilan Barat dalam melarangnya, meski dalam hal ini Hizbut Tahrir merupakan ancaman nyata bagi mereka dan kepentingannya. Caryl memulai artikelnya dengan bertanya, “Apakah partai Islam, Hizbut Tahrir ini merupakan ancaman bagi masyarakat Barat?” Ia menjawab: “Jawabannya adalah ya. Namun ini tidak berarti bahwa Hizbut Tahrir harus dilarang.”
Selama beberapa minggu sebelumnya, Partai Buruh Inggris dan partai oposisi Konservatif, keduanya terlibat dalam aktivitas permusuhan terhadap Islam, dan lebih tepatnya adalah melawan kelompok Islam bernama Hizbut Tahrir.
David Cameron, pemimpin Tory, sebutan untuk partai Konservatif di Inggris menyerang pemerintahan Gordon Brown, karena ia mengklaim bahwa pemerintah mengeluarkan uang yang dikumpulkan dari para wajib pajak untuk sekolah yang dikelola oleh dua orang aktivis Hizbut Tahrir, di mana mereka mengajari para siswa ideologi Islam. Dalam sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan, ditegaskan olehnya bahwa sekolah itu tidak ada hubungannya dengan Hizbut Tahrir. Sehingga, penulis artikel menggambarkan situasi ini seperti benang kusut, sebab kebanyakan rakyat Inggris, baik yang di dalam maupun yang di luar pemerintah menuntut perlunya untuk melarang Hizbut Tahrir.
Kemudian penulis mencoba untuk memberikan gambaran singkat tentang Hizbut Tahrir dengan mengatakan: Ada sesuatu yang menegaskan, yaitu bahwa kami mendengar banyak hal tentang Hizbut Tahrir di tahun-tahun berikutnya. Meskipun, Hizbut Tahrir didirikan sekitar 56 tahun lalu di Al-Quds (Yerusalem), yang ketika itu berada di bawah pemerintahan Yordania. Sementara sejumlah ahli memperkirakan bahwa jumlah anggota Hizbut Tahrir di seluruh dunia adalah satu juta, di mana banyak dari mereka yang ada di penjara.
Hizbut Tahrir dilarang di banyak negara, termasuk negara-negara totaliter seperti Uzbekistan, Suriah dan negara-negara lain seperti Pakistan, Yordania, Turki dan Bangladesh, dan termasuk juga negara-negara demokrasi Eropa Barat seperti Jerman dan Denmark. Namun, negara-negara itu membuat keputusan dan penilaian berdasarkan jumlah dan besarnya literatur (referensi), yang terus dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir melalui selebaran, buku, dan ribuan situs web yang terlihat lebih terkemuka dan unggul. Sementara baru-baru ini saja, media-media Amerika membahas nama Hizbut Tahrir, ketika mengungkap tentang partisipasi perempuan Muslim, Dalia Mogahed-penasehat keagamaan Presiden Obama-dalam program siaran radio milik Hizbut Tahrir.
Dia menambahkan, tidak ada keraguan bahwa keberhasilan Hizbut Tahrir selama bertahun-tahun adalah karena kejelasan tujuan yang ingin dicapainya, yaitu membangun sebuah kekhalifahan, berupa negara Islam yang akan menyatukan seluruh kaum Muslim di dunia. Tidak seperti al-Qaeda yang menyeru kepada tujuan yang tidak jelas dan tidak spesifik. Hizbut Tahrir memfokuskan aktivitasnya pada politik daripada aktivitas fisik (kekerasan). Hizbut Tahrir mengatakan bahwa umat Islam harus bangkit melalui pendidikan, dakwah, dan aktivitas politik sampai mereka memahami kebutuhannya untuk mengambil alih kendali negaranya dan menyatukan kaum Muslim. Dalam hal ini penulis mengutip pernyataan Hizbut Tahrir dalam ribuan publikasi yang mengatakan bahwa “Jika umat Islam mampu bangkit sebagai umat Islam, maka umat Islam akan dapat melindungi dunia dari kekuatan jahat yang menguasasi dan memperbudak umat Islam, sehingga menjadikan umat Islam hidup dengan mimpi buruk, yang diselimuti oleh berbagai penderitaan dan kesengsaraan.
Kemudian penulis berbicara tentang alasan timbulnya masalah-masalah yang menimpa Hizbut Tahrir, serta alasan-alasan yang menyebabkan pelarangannya di beberapa negara, dengan mengatakan bahwa keterbukaan mengenai apa yang disampaikan ol [Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir di Barat] eh Hizbut Tahrir inilah, yang membuatnya berada dalam masalah di banyak negara totaliter dan diktator, di mana Hizbut Tahrir menentang perundang-undangan yang ada.
Meskipun Hizbut Tahrir mengklaim tidak menyerukan kekerasan, namun Hizbut Tahrir masih menghadapi pelecehan di kebanyakan masyarakat liberal, sebab mereka melihat Hizbut Tahrir sebagai sebuah partai (kelompok) ekstrimis dan fanatik. Hal inilah yang menjadikan Hizbut Tahrir dilarang di Jerman, misalnya, ketika Hizbut Tahrir disamakan dengan neo-Nazi. Sementara para petinggi Hizbut Tahrir bersikeras mengatakan bahwa mereka melawan Zionisme, dan mereka tidak anti-Yahudi. Namun ada beberapa studi literatur milik Hizbut Tahrir yang menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak mampu mencegah pelarangan Hizbut Tahrir, karena tidak sesuai dengan kenyataannya. Hizbut Tahrir di Denmark itu dilarang karena banyak hal, termasuk pendistribusian pamflet yang isinya mendesak umat Islam untuk membunuh orang-orang Yahudi di manapun mereka menemukannya, “dan mengusirnya sebagaimana mereka mengusir kalian”.
Penulis menambahkan, ketika saya membaca beberapa pamflet Hizbut Tahrir di Asia Tengah yang dikeluarkan pada tahun 2001, saya terkejut sebab mereka menyebut Presiden Uzbekistan, “Islam Karimov” dengan “Yahudi Karimov”. Padahal, Islam Karimov tidak memiliki latar belakang Yahudi sama sekali. Di samping itu, ada publikasi dari Hizbut Tahrir yang mengatakan bahwa jika seorang muslim murtad (keluar) dari Islam, ia harus menghadapi hukuman mati. Sehingga sangat sulit menerima dan menerapkan putusan hukum seperti ini dalam masyarakat yang percaya pada kebebasan dan demokrasi.
Penulis melanjutkan dengan mengatakan, “Ada sumber kegelisahan lain, yaitu peran Hizbut Tahrir dalam pengkaderan dan penyiapan para anggota, sebab dalam hal ini Hizbut Tahrir membangun dan memobilisasi para anggota fundamentalis, dan kemudian menggunakan para anggota ini untuk berpartisipasi secara terbuka dalam kekerasan.”
Di antara para anggota Hizbut Tahrir yang terkemuka adalah Umar Bakri Muhammad, pendiri kelompok al-Muhajirun, yang reputasinya memburuk karena pujian dan dukungannya bagi para pelaku insiden 9 / 11, dan juga karena ia mernyembunyikan anggota kelompok yang akan digunakan dalam operasi teroris selanjutnya. Hal itu terungkap, ketika para pejabat intelijen Inggris menggeledah rumah warga Inggris, Umar Syarif, yang pernah mencoba untuk meledakkan dirinya pada sebuah bar di Tel Aviv di tahun 2003, di mana dalam penggeledahan itu mereka menemukan Bulletin Hizbut Tahrir.
Selain itu, ada seorang jurnalis berkebangsaan Inggris, bernama Shiv Malik yang mengklaim bahwa setidaknya ada dua tokoh terkemuka di Al-Qaeda yang punya hubungan dan terkait erat dengan Hizbut Tahrir, mereka adalah Khalid Syeikh Muhammad dan Abu Mus’ab al-Zarqawi.
Kemudian penulis mencoba untuk menyampaikan sikap dan bantahan Hizbut Tahrir terhadap semua tuduhan itu dengan mengatakan, “Hizbut Tahrir tetap bersikeras bahwa Hizbut Tahrir tidak mungkin memikul tanggung jawab atas aktivitas setiap orang yang dikaitkan dengannya, apalagi untuk mencapai tujuannya Hizbut Tahrir konsisten dengan caranya sendiri, yaitu tidak menggunakan aktivitas fisik (kekerasan) apapun bentuknya.”
Penulis menambahkan dengan mengutip pernyataan Abdul Wahid, anggota struktural Hizbut Tahrir: “Pengkaderan politik kami menekankan pada larangan penggunaan kekerasan, sebaliknya kami menekankan pada misi mencari solusi yang bersifat pemikiran dan politik terhadap masalah-masalah kami. Kami katakan demikian, karena kami menganggap bahwa semua masalah di dunia Islam adalah akibat dari kurangnya pemahaman atas pemikiran Islam yang mengarah pada solusi politik.”
Setelah itu, penulis kembali berbicara tentang inti permasalahan yang dilontarkan di awal artikel, yaitu kegelisahan dan kebingungan Barat antara melarang Hizbut Tahrir yang mereka tidak memiliki satu buktipun bahwa Hizbut Tahrir menggunakan kekerasan, atau tindakan-tindakan fisik lainnya, dan kesadaran mereka bahwa Hizbut Tahrir menimbulkan ancaman nyata bagi mereka. Dalam hal ini, ia merujuk pada apa yang dilakukan oleh kedua pemerintah di Inggris, namun gagal untuk mengeluarkan undang-undang yang melarang Hizbut Tahrir, karena mereka menganggap bahwa ide-ide ekstremis yang diserukan Hizbut Tahrir tidak cukup sebagai dalih untuk melarangnya.
[Anak-anak di Barat pun dukung Khilafah] Sementara dengan logika yang sama, Hizbut Tahrir masih beroperasi secara legal di Kanada, Australia dan Amerika Serikat, di mana baru-baru ini Hizbut Tahrir menyelenggerakan konferensi di negara-negara tersebut. Beberapa orang yang anti dengan Hizbut Tahrir mengatakan bahwa mungkin ini merupakan cara politik terbaik dalam memperlakukan Hizbut Tahrir. Di antara mereka yang anti itu adalah Hana Stewart yang bekerja di Pusat Keharmonisan Sosial Inggris, sebuah lembaga riset yang concern terhadap masalah toleransi, asimiliasi dan keharmonisan kehidupan sosial di Inggris. Dalam hal ini, dia menulis tentang sebuah studi modern yang berisi penyelidikan atas ideologi Hizbut Tahrir secara rinci.
Berkenaan dengan pelarangan, ia mengatakan: “Sesungguhnya melarang Hizbut Tahrir, maka ini sama artinya dengan meningkatkan popularitasnya dan mempromosikannya.” Ia mengatakan bahwa cara terbaik untuk melawan ide-ide Hizbut Tahrir adalah politik “memobilisasi masyarakat agar memusuhinya” melalui pendidikan dan penyadaran masyarakat akan bahaya ekstremisme dan intoleransi, dengan metode yang sama, yang telah digunakan untuk melawan fasisme Partai Nasional Inggris. Dengan demikian, meskipun Hizbut Tahrir ini legal, namun semua politisi akan memperlakukannya dengan perasaan muak dan jijik.
Dan untuk memperkuat validitas pandangannya, ia mengambil contoh sikap yang diambil oleh British Union of Students, yang menganjurkan kepada semua organisasi kesiswaan untuk tidak berpartisipasi dalam perdebatan Hizbut Tahrir. Ia mengatakan bahwa semua anggota masyarakat harus bersikap untuk melawan ide-ide dan tujuan Hizbut Tahrir. dan ia menambahkan bahwa pemerintah harus tidak mendukung kegiatan mereka, atau memberikan dukungan apapun.
Pada akhirnya, penulis sampai pada kesimpulan dengan mengatakan, “Setelah semua ini, kita dapat mengatakan bahwa pelarangan Hizbut Tahrir akan berdampak buruk.” Dalam hal ini, ia mengutip perkataan Felix Corley, yang bekerja sebagai seorang pengamat kebebasan beragama di negara-negara bekas Uni Soviet, yang berkata: “Bahwa pelarangan Hizbut Tahrir di negara itu, tampaknya tidak menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah ekstremisme religius. Alasannya, bahwa Hizbut Tahrir tetap aktif melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan yang tiada tangdingannya, bahkan di negara-negara yang telah melarangnya sekalipun.”
Dalam sebuah perbandingan singkat antara Hizbut Tahrir dan al-Qaeda, Corley mengatakan: “Ini harus dikatakan sebagai catatan bahwa al-Qaeda-yang merupakan kelompok kecil dengan jumlah anggota yang relatif, sehingga akhir-akhir ini ia sering terkepung dan terdesak-mulai mempromosikan ide Khilafah sekitar 20 tahunan. Sementara Hizbut Tahrir yang menyerukan ide Khilafah selama lebih dari setengah abad masih berjalan terus dan kuat.
Corley menambahkan, di antara dampak buruk atau kerugian dari pelarangan Hizbut Tahrir adalah hal itu justru akan memberikan kredibilitas atas apa yang selama ini dikatakan oleh Hizbut Tahrir bahwa negara-negara Barat dan antek-anteknya, para penguasa diktator di dunia Islam berpartisipasi dalam perang melawan Islam.
Akhirnya, penulis mengatakan bahwa pernyataan Corley ini telah memperkuat pandangannya yang mengatakan bahwa “Cara terbaik untuk memerangi ekstremisme religius adalah memberikan kebebasan beragama.” Bahkan dengan pernyataan tegas Corley mengakui, bahwa “Partai-partai seperti Hizbut Tahrir ini telah menempatkan Barat pada ujian sulit di depan prinsip kebebasan beragama yang diusungnya.” [ht.pal/htipress/syabab.com]
Catatan Dede
Selama beberapa minggu sebelumnya, Partai Buruh Inggris dan partai oposisi Konservatif, keduanya terlibat dalam aktivitas permusuhan terhadap Islam, dan lebih tepatnya adalah melawan kelompok Islam bernama Hizbut Tahrir.
David Cameron, pemimpin Tory, sebutan untuk partai Konservatif di Inggris menyerang pemerintahan Gordon Brown, karena ia mengklaim bahwa pemerintah mengeluarkan uang yang dikumpulkan dari para wajib pajak untuk sekolah yang dikelola oleh dua orang aktivis Hizbut Tahrir, di mana mereka mengajari para siswa ideologi Islam. Dalam sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan, ditegaskan olehnya bahwa sekolah itu tidak ada hubungannya dengan Hizbut Tahrir. Sehingga, penulis artikel menggambarkan situasi ini seperti benang kusut, sebab kebanyakan rakyat Inggris, baik yang di dalam maupun yang di luar pemerintah menuntut perlunya untuk melarang Hizbut Tahrir.
Kemudian penulis mencoba untuk memberikan gambaran singkat tentang Hizbut Tahrir dengan mengatakan: Ada sesuatu yang menegaskan, yaitu bahwa kami mendengar banyak hal tentang Hizbut Tahrir di tahun-tahun berikutnya. Meskipun, Hizbut Tahrir didirikan sekitar 56 tahun lalu di Al-Quds (Yerusalem), yang ketika itu berada di bawah pemerintahan Yordania. Sementara sejumlah ahli memperkirakan bahwa jumlah anggota Hizbut Tahrir di seluruh dunia adalah satu juta, di mana banyak dari mereka yang ada di penjara.
Hizbut Tahrir dilarang di banyak negara, termasuk negara-negara totaliter seperti Uzbekistan, Suriah dan negara-negara lain seperti Pakistan, Yordania, Turki dan Bangladesh, dan termasuk juga negara-negara demokrasi Eropa Barat seperti Jerman dan Denmark. Namun, negara-negara itu membuat keputusan dan penilaian berdasarkan jumlah dan besarnya literatur (referensi), yang terus dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir melalui selebaran, buku, dan ribuan situs web yang terlihat lebih terkemuka dan unggul. Sementara baru-baru ini saja, media-media Amerika membahas nama Hizbut Tahrir, ketika mengungkap tentang partisipasi perempuan Muslim, Dalia Mogahed-penasehat keagamaan Presiden Obama-dalam program siaran radio milik Hizbut Tahrir.
Dia menambahkan, tidak ada keraguan bahwa keberhasilan Hizbut Tahrir selama bertahun-tahun adalah karena kejelasan tujuan yang ingin dicapainya, yaitu membangun sebuah kekhalifahan, berupa negara Islam yang akan menyatukan seluruh kaum Muslim di dunia. Tidak seperti al-Qaeda yang menyeru kepada tujuan yang tidak jelas dan tidak spesifik. Hizbut Tahrir memfokuskan aktivitasnya pada politik daripada aktivitas fisik (kekerasan). Hizbut Tahrir mengatakan bahwa umat Islam harus bangkit melalui pendidikan, dakwah, dan aktivitas politik sampai mereka memahami kebutuhannya untuk mengambil alih kendali negaranya dan menyatukan kaum Muslim. Dalam hal ini penulis mengutip pernyataan Hizbut Tahrir dalam ribuan publikasi yang mengatakan bahwa “Jika umat Islam mampu bangkit sebagai umat Islam, maka umat Islam akan dapat melindungi dunia dari kekuatan jahat yang menguasasi dan memperbudak umat Islam, sehingga menjadikan umat Islam hidup dengan mimpi buruk, yang diselimuti oleh berbagai penderitaan dan kesengsaraan.
Kemudian penulis berbicara tentang alasan timbulnya masalah-masalah yang menimpa Hizbut Tahrir, serta alasan-alasan yang menyebabkan pelarangannya di beberapa negara, dengan mengatakan bahwa keterbukaan mengenai apa yang disampaikan ol [Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir di Barat] eh Hizbut Tahrir inilah, yang membuatnya berada dalam masalah di banyak negara totaliter dan diktator, di mana Hizbut Tahrir menentang perundang-undangan yang ada.
Meskipun Hizbut Tahrir mengklaim tidak menyerukan kekerasan, namun Hizbut Tahrir masih menghadapi pelecehan di kebanyakan masyarakat liberal, sebab mereka melihat Hizbut Tahrir sebagai sebuah partai (kelompok) ekstrimis dan fanatik. Hal inilah yang menjadikan Hizbut Tahrir dilarang di Jerman, misalnya, ketika Hizbut Tahrir disamakan dengan neo-Nazi. Sementara para petinggi Hizbut Tahrir bersikeras mengatakan bahwa mereka melawan Zionisme, dan mereka tidak anti-Yahudi. Namun ada beberapa studi literatur milik Hizbut Tahrir yang menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak mampu mencegah pelarangan Hizbut Tahrir, karena tidak sesuai dengan kenyataannya. Hizbut Tahrir di Denmark itu dilarang karena banyak hal, termasuk pendistribusian pamflet yang isinya mendesak umat Islam untuk membunuh orang-orang Yahudi di manapun mereka menemukannya, “dan mengusirnya sebagaimana mereka mengusir kalian”.
Penulis menambahkan, ketika saya membaca beberapa pamflet Hizbut Tahrir di Asia Tengah yang dikeluarkan pada tahun 2001, saya terkejut sebab mereka menyebut Presiden Uzbekistan, “Islam Karimov” dengan “Yahudi Karimov”. Padahal, Islam Karimov tidak memiliki latar belakang Yahudi sama sekali. Di samping itu, ada publikasi dari Hizbut Tahrir yang mengatakan bahwa jika seorang muslim murtad (keluar) dari Islam, ia harus menghadapi hukuman mati. Sehingga sangat sulit menerima dan menerapkan putusan hukum seperti ini dalam masyarakat yang percaya pada kebebasan dan demokrasi.
Penulis melanjutkan dengan mengatakan, “Ada sumber kegelisahan lain, yaitu peran Hizbut Tahrir dalam pengkaderan dan penyiapan para anggota, sebab dalam hal ini Hizbut Tahrir membangun dan memobilisasi para anggota fundamentalis, dan kemudian menggunakan para anggota ini untuk berpartisipasi secara terbuka dalam kekerasan.”
Di antara para anggota Hizbut Tahrir yang terkemuka adalah Umar Bakri Muhammad, pendiri kelompok al-Muhajirun, yang reputasinya memburuk karena pujian dan dukungannya bagi para pelaku insiden 9 / 11, dan juga karena ia mernyembunyikan anggota kelompok yang akan digunakan dalam operasi teroris selanjutnya. Hal itu terungkap, ketika para pejabat intelijen Inggris menggeledah rumah warga Inggris, Umar Syarif, yang pernah mencoba untuk meledakkan dirinya pada sebuah bar di Tel Aviv di tahun 2003, di mana dalam penggeledahan itu mereka menemukan Bulletin Hizbut Tahrir.
Selain itu, ada seorang jurnalis berkebangsaan Inggris, bernama Shiv Malik yang mengklaim bahwa setidaknya ada dua tokoh terkemuka di Al-Qaeda yang punya hubungan dan terkait erat dengan Hizbut Tahrir, mereka adalah Khalid Syeikh Muhammad dan Abu Mus’ab al-Zarqawi.
Kemudian penulis mencoba untuk menyampaikan sikap dan bantahan Hizbut Tahrir terhadap semua tuduhan itu dengan mengatakan, “Hizbut Tahrir tetap bersikeras bahwa Hizbut Tahrir tidak mungkin memikul tanggung jawab atas aktivitas setiap orang yang dikaitkan dengannya, apalagi untuk mencapai tujuannya Hizbut Tahrir konsisten dengan caranya sendiri, yaitu tidak menggunakan aktivitas fisik (kekerasan) apapun bentuknya.”
Penulis menambahkan dengan mengutip pernyataan Abdul Wahid, anggota struktural Hizbut Tahrir: “Pengkaderan politik kami menekankan pada larangan penggunaan kekerasan, sebaliknya kami menekankan pada misi mencari solusi yang bersifat pemikiran dan politik terhadap masalah-masalah kami. Kami katakan demikian, karena kami menganggap bahwa semua masalah di dunia Islam adalah akibat dari kurangnya pemahaman atas pemikiran Islam yang mengarah pada solusi politik.”
Setelah itu, penulis kembali berbicara tentang inti permasalahan yang dilontarkan di awal artikel, yaitu kegelisahan dan kebingungan Barat antara melarang Hizbut Tahrir yang mereka tidak memiliki satu buktipun bahwa Hizbut Tahrir menggunakan kekerasan, atau tindakan-tindakan fisik lainnya, dan kesadaran mereka bahwa Hizbut Tahrir menimbulkan ancaman nyata bagi mereka. Dalam hal ini, ia merujuk pada apa yang dilakukan oleh kedua pemerintah di Inggris, namun gagal untuk mengeluarkan undang-undang yang melarang Hizbut Tahrir, karena mereka menganggap bahwa ide-ide ekstremis yang diserukan Hizbut Tahrir tidak cukup sebagai dalih untuk melarangnya.
[Anak-anak di Barat pun dukung Khilafah] Sementara dengan logika yang sama, Hizbut Tahrir masih beroperasi secara legal di Kanada, Australia dan Amerika Serikat, di mana baru-baru ini Hizbut Tahrir menyelenggerakan konferensi di negara-negara tersebut. Beberapa orang yang anti dengan Hizbut Tahrir mengatakan bahwa mungkin ini merupakan cara politik terbaik dalam memperlakukan Hizbut Tahrir. Di antara mereka yang anti itu adalah Hana Stewart yang bekerja di Pusat Keharmonisan Sosial Inggris, sebuah lembaga riset yang concern terhadap masalah toleransi, asimiliasi dan keharmonisan kehidupan sosial di Inggris. Dalam hal ini, dia menulis tentang sebuah studi modern yang berisi penyelidikan atas ideologi Hizbut Tahrir secara rinci.
Berkenaan dengan pelarangan, ia mengatakan: “Sesungguhnya melarang Hizbut Tahrir, maka ini sama artinya dengan meningkatkan popularitasnya dan mempromosikannya.” Ia mengatakan bahwa cara terbaik untuk melawan ide-ide Hizbut Tahrir adalah politik “memobilisasi masyarakat agar memusuhinya” melalui pendidikan dan penyadaran masyarakat akan bahaya ekstremisme dan intoleransi, dengan metode yang sama, yang telah digunakan untuk melawan fasisme Partai Nasional Inggris. Dengan demikian, meskipun Hizbut Tahrir ini legal, namun semua politisi akan memperlakukannya dengan perasaan muak dan jijik.
Dan untuk memperkuat validitas pandangannya, ia mengambil contoh sikap yang diambil oleh British Union of Students, yang menganjurkan kepada semua organisasi kesiswaan untuk tidak berpartisipasi dalam perdebatan Hizbut Tahrir. Ia mengatakan bahwa semua anggota masyarakat harus bersikap untuk melawan ide-ide dan tujuan Hizbut Tahrir. dan ia menambahkan bahwa pemerintah harus tidak mendukung kegiatan mereka, atau memberikan dukungan apapun.
Pada akhirnya, penulis sampai pada kesimpulan dengan mengatakan, “Setelah semua ini, kita dapat mengatakan bahwa pelarangan Hizbut Tahrir akan berdampak buruk.” Dalam hal ini, ia mengutip perkataan Felix Corley, yang bekerja sebagai seorang pengamat kebebasan beragama di negara-negara bekas Uni Soviet, yang berkata: “Bahwa pelarangan Hizbut Tahrir di negara itu, tampaknya tidak menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah ekstremisme religius. Alasannya, bahwa Hizbut Tahrir tetap aktif melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan yang tiada tangdingannya, bahkan di negara-negara yang telah melarangnya sekalipun.”
Dalam sebuah perbandingan singkat antara Hizbut Tahrir dan al-Qaeda, Corley mengatakan: “Ini harus dikatakan sebagai catatan bahwa al-Qaeda-yang merupakan kelompok kecil dengan jumlah anggota yang relatif, sehingga akhir-akhir ini ia sering terkepung dan terdesak-mulai mempromosikan ide Khilafah sekitar 20 tahunan. Sementara Hizbut Tahrir yang menyerukan ide Khilafah selama lebih dari setengah abad masih berjalan terus dan kuat.
Corley menambahkan, di antara dampak buruk atau kerugian dari pelarangan Hizbut Tahrir adalah hal itu justru akan memberikan kredibilitas atas apa yang selama ini dikatakan oleh Hizbut Tahrir bahwa negara-negara Barat dan antek-anteknya, para penguasa diktator di dunia Islam berpartisipasi dalam perang melawan Islam.
Akhirnya, penulis mengatakan bahwa pernyataan Corley ini telah memperkuat pandangannya yang mengatakan bahwa “Cara terbaik untuk memerangi ekstremisme religius adalah memberikan kebebasan beragama.” Bahkan dengan pernyataan tegas Corley mengakui, bahwa “Partai-partai seperti Hizbut Tahrir ini telah menempatkan Barat pada ujian sulit di depan prinsip kebebasan beragama yang diusungnya.” [ht.pal/htipress/syabab.com]
Catatan Dede
Labels: Analisis, Berita Luar Negeri
Cetak halaman ini