Membangun Kontak Dakwah yang Rutin & Dinamis
Dakwah merupakan upaya menyampaikan Islam hingga manusia keluar dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam. Dakwah secara langsung (face to face) hanya mungkin terjadi apabila ada pertemuan. Karenanya, perlu terus-menerus diupayakan adanya pertemuan-pertemuan dalam kerangka dakwah. Upaya untuk mewujudkan adanya pertemuan tersebut dikenal dengan istilah ittishalât (kontak). Di antara kontak yang efektif adalah kontak kontinu dalam kehidupan sehari-hari. Itulah yang disebut dengan ittishalât hayy.
Kontak Nabi saw. dan Sahabat
Ittishalât berarti aktivitas kontak, sedangkan hayy berarti hidup. Jika keduanya digabungkan dapat dimaknai sebagai aktivitas kontak dengan berbagai pihak dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka menyampaikan Islam. Rasulullah saw. beserta para Sahabat telah memberikan contoh dalam melakukan ittishalât hayy ini.
Rasulullah saw., sejak menerima wahyu, melakukan ittishalât hayy. Pertama kali Rasulullah saw. mendatangi istrinya, Ibunda Khadijah, untuk menyampaikan wahyu. Istrinya itu segera menyambut seruannya. Berikutnya, Rasulullah mengontak sepupunya, Ali bin Abi Thalib. Rasulullah menyampaikan wahyu yang diterimanya kepadanya. Beliau pun mengajak sepupunya itu hanya menyembah Allah Swt. dan tidak menyekutukan-Nya seraya meninggalkan berhala-berhala semacam Latta dan Uzza. Rasulullah membacakan beberapa ayat al-Quran. Ali pun terpesona dengan ayat-ayat yang luar biasa indah tersebut. Sayidina Ali meminta waktu untuk berunding dulu dengan ayahnya, Abu Thalib. Namun, keesokan harinya ia datang kepada Rasulullah saw. dengan menyatakan bahwa ia akan mengikuti ajaran Muhammad, tanpa perlu meminta pendapat Abu Thalib. “Allah telah menjadikan diriku tanpa perlu berunding dulu dengan Abu Thalib. Apa gunanya aku harus berunding dengan dia untuk menyembah Allah,” ujarnya.Berikutnya Rasul saw. berpikir keras untuk mengontak kaum Quraisy. Pilihan pun jatuh pada Abu Bakar bin Abi Quhafa dari kabilah Taim, teman akrab Beliau. Rasulullah mengajak Abu Bakar untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan penyembahan berhala. Beliau juga membukakan isi hatinya akan segala yang ia lihat beserta wahyu yang diterimanya. Abu Bakar pun membenarkan Rasulullah seraya masuk Islam. Setelah masuk Islam, Abu Bakar mengikuti Rasulullah melakukan ittishâl hayy kepada temannya. Beliau mengontak secara individual Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqash, juga Zubair bin al-Awwam. Kegigihan Abu Bakar membuahkan hasil. Upaya ittishâl-nya itu menjadikan mereka satu-persatu menjadi pengikut Muhammad saw. Beliau terus mengontak orang yang dikenalnya. Lalu masuklah juga Abu Ubaidah bin al-Jarrah beserta yang lainnya ke dalam Islam.
Bukan hanya secara individual, Rasulullah saw. melakukan kontak secara kolektif. Rasulullah mengundang makan keluarga-keluarga terdekat di rumahnya. Beliau mencoba menyampaikan Islam serta mengajak mereka masuk Islam. Namun, mereka menolak seruan Rasul pilihan itu.Sekalipun belum berhasil, Beliau tidak putus harapan. Kontak pun kini diarahkan kepada seluruh penduduk Makkah. Suatu hari Rasulullah naik ke Bukit Shafa untuk memanggil mereka. Datanglah mereka berduyun-duyun. Ada dari Bani Abdil Muthalib, Bani Abdil Manaf, Bani Zuhra, Bani Taim, Bani Makhzum, dan Bani Asad. Beliau memberi peringatan, mengingatkan pedihnya siksa neraka, dan mengajak mereka mengimani wahyu yang Beliau terima. Islam disampaikan secara bersama dalam ittishâl jamahiriyah tersebut. Bukan hanya itu, Beliau juga menawarkan diri kepada para pemimpin kabilah. Pada musim-musim ziarah haji, Beliau memperkenalkan diri, mengajak mereka memahami arti kebenaran. Diberitahukan kepada mereka bahwa ia adalah nabi yang diutus dan mereka diminta untuk mengimaninya.
Nabi Muhammad saw. bersungguh-sungguh dalam melakukan ittishâlât ini. Beliau tidak cukup hanya memperkenalkan diri pada musim ziarah haji saja. Bahkan, Beliau mendatangi orang-orang dari Bani Kindah, Bani Kalb, Bani Hanifa, dan Bani Amir bin Sha’sha’a langsung ke rumah-rumah mereka. Mereka dikunjungi seorang demi seorang. Terlepas dari adanya penolakan dari mereka, Beliau tetap menjalankan aktivitas tersebut. Umar bin al-Khaththab melakukan hal yang serupa. Setelah masuk Islam, beliau secara terbuka menyatakan keislamannya di hadapan para pembesar Quraisy. Umar mendatangi sendiri dan mengetuk pintu-pintu rumah mereka. Beliau memberitahu mereka agar tidak mengganggu saudara-saudaranya yang masuk Islam. Beliau pun mengajak mereka untuk mengikuti kebenaran Islam.Tercatat pula Abu Dzar al-Ghifari. Setelah masuk Islam, Abu Dzar kembali ke keluarga, kampung, dan kaumnya. Abu Dzar melakukan ittishâlât kepada mereka. Islam pun disampaikan kepada mereka. Seorang demi seorang kaumnya masuk Islam. Bahkan, bukan hanya di Bani Ghifar, beliau mengontak orang-orang suku lainnya (yakni suku Aslam), untuk memancarkan cahaya Islam.
Di Madinah, Mush‘ab bin Umair terus berjuang melakukan ittishâlât. Mush‘ab mengontak orang di rumah-rumah Bani Asyhal dan Bani Dzufar. Beliau pun menemui orang-orang di kebun kurma ketika berkebun. Beliau tak henti-hentinya mengajak orang-orang masuk Islam hingga setiap rumah kaum Anshar dihuni oleh keluarga Muslim, kecuali sebagian rumah Bani Umayah, Khathamah, Wail, dan Waqif. Masih banyak lagi aktivitas ittishâlât yang dilakukan oleh para Sahabat lainnya. Ringkasnya, aktivitas dakwah mereka tidak dapat dilepaskan dari kontak dengan masyarakat, baik bersifat individual (fardiyah) maupun umum/kolektif (jamahiriyah).
Ittishâlât Hayy Kini
Merujuk contoh aktivitas yang dilakukan oleh Nabi saw. dan para Sahabat, dapat dikatakan bahwa ittishâlât hayy terdiri dari dua bentuk.
Pertama: ittishâlât fardiyah (kontak individual), yakni aktivitas kontak dengan orang-perorang. Bisa saja pertemuannya di rumah, angkutan kota, kampus, masjid, taman, dan tempat lainnya. Seorang pengemban dakwah mendatangi seseorang di rumahnya atau di kantornya, misalnya, untuk berdiskusi tentang Islam. Tentu, diskusi atau tukar pikiran ini dilakukan terus-menerus hingga suatu waktu orang tersebut menerima dakwah, mendukungnya, atau mungkin saja justru menolaknya. Kalau mendukung, ia menambah barisan dakwah. Berikutnya, dilanjutkan dengan pembinaan Islam. Sebaliknya, jika menolak, tidak masalah. Diupayakan secara pribadi tetap berhubungan baik.
Kedua: ittishâlât jamâhiriyah (kontak umum). Berbeda dengan ittishâlât fardiyah yang sifatnya individual, ittishâlât jamâhiriyah bersifat umum. Artinya, penyampaian ide dilakukan sekaligus kepada banyak orang. Bentuknya bisa berupa seminar, lokakarya, tablig akbar, pengajian masjid, kajian di majelis taklim, diskusi tematik, debat terbuka, daurah, dll. Dilihat dari target yang hendak dicapai, ittishâlât fardiyah terdiri dari ittishâlât fardiyah maqshûdah dan ghayr maqshûdah. Ittishâlât fardiyah maqshûdah merupakan kontak kepada seseorang untuk menyampaikan dakwah Islam secara sengaja dan terencana sedemikian rupa agar ia dapat ikut dalam kajian dan pembinaan hingga menjadi kader dakwah.
Dalam melakukan ittishâlât fardiyah maqshûdah perlu dilakukan langkah-langkah teknis berikut:
1. Tetapkan orang yang hendak dijadikan kader. Umumnya, dimulai dari orang yang paling dekat dengan kita; misalnya adik, kakak, ayah, ibu, paman, keponakan, dll. Berikutnya, dapat juga dibuat daftar orang-orang yang akan didatangi. Sebut saja tetangg-tetangga terdekat, teman sepekerjaan, guru-guru Anda, guru-guru anak Anda, guru les anak Anda, pembantu, pedagang/pembeli pelanggan Anda, tukang koran langganan Anda, sopir pribadi Anda, orangtua dari teman-teman Anda atau anak Anda, teman Anda waktu SMU, teman satu kloter saat naik haji, atasan Anda, dokter pribadi anda, dll. Ringkasnya, siapapun yang dikenal dapat dijadikan sebagai ladang dakwah.
2. Buat janji bertemu. Janji ini penting dibuat agar kondisi lebih nyaman. Biasanya janji ini berupa kunjungan ke rumah atau ke kantor.
3. Siapkan materi. Agar fokus, pastikan kita memahami materi yang akan disampaikan/didiskusikan. Tentu saja bukan untuk adu jagoan, tetapi untuk menyampaikan kebenaran. Pahami dalil dari nash-nash syariah maupun fakta yang terkait. Selain itu, siapkan juga tulisan, buletin, majalah, atau produk terkait sebagai oleh-oleh. Gunakan bahasa yang lahir dari kecintaan terhadap sesama Muslim.
4. Tepati janji sesuai dengan kesepakatan. Lakukan diskusi dengan cara terbaik. Yakinkan bahwa kita sama-sama mencari kebenaran dalam Islam.
5. Pelihara hubungan. Pertemuan dengan target agar saudara kita itu menjadi rajin mengaji, ikut pembinaan, dan menjadi kader memerlukan pemeliharaan hubungan. Bahkan, perlu beberapa kali diskusi hingga orang yang kita kontak paham dan terdorong untuk mendalami Islam lebih jauh. Selain kunjungan, pemeliharaan hubungan dilakukan lewat SMS, mengirim produk, dll. Selain ittishâlât fardiyah maqshûdah, ada juga ittishâlât fardiyah yang berlangsung di luar rencana. Misalnya, ketika kita sedang naik bis. Selain menikmati pemandangan, bisa juga digunakan untuk menyampaikan Islam. Sepanjang jalan terjadilah diskusi tentang Islam dan realitas kaum Muslim. Aktivitas demikian merupakan ittishâlât fardiyah, namun ghayr makshûdah, yakni tanpa ada tujuan rekrutmen. Ittishâlât jenis ini bersifat temporer, tetapi dapat saja hubungannya terus dipelihara, setidaknya lewat SMS atau email. Demikian juga, kontak dilakukan dalam setiap aktivitas keseharian.
Ketika di kantor, kendaraan umum, sekolah, kampus, warung, dan dimanapun tetap disampaikan dakwah kepada orang-orang yang ditemui. Karena sifatnya yang hidup dalam keseharian (hayy) setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Jika aktivitas ini mendarah daging dalam diri para pengemban dakwah maka gairah dakwah dan perjuangan Islam akan mengalir bersama aliran darah, mulai dari ubun-ubun hingga ke telapak kaki. Bisa juga ittishâlât fardiyah ghayr maqshûdah ini dilakukan secara terencana, tetapi tidak ditetapkan rekrutmen sebagai targetnya. Misalnya, mengunjungi dan bersilaturahmi kepada seorang tokoh untuk mengetahui pandangannya tentang suatu persoalan politik yang tengah terjadi atau pandangannya tentang suatu pemikiran tertentu. Katakan saja, bagaimana sikap tokoh tersebut tentang globalisasi, utang luar negeri, terorisme, dll.
Seperti halnya ittishâlât fardiyah, ittishâlât jamâhiriyah dapat berbentuk maqshûdah maupun ghayr maqshûdah. Ittishâlât jamâhiriyah maqshûdah merupakan aktivitas kontak kepada kelompok, organisasi, fraksi, pesantren, partai, atau kumpulan lainnya yang secara sengaja dan terprogram dilakukan untuk menyampaikan suatu hal tertentu. Misalnya, datang ke DPR atau ormas untuk menyampaikan selebaran (nasyrah); datang ke DPR untuk menyampaikan kritik terhadap kebijakan atau rancangan undang-undang yang sedang digodog, menyampaikan pandangan politik terhadap kedatangan pimpinan negara-negara besar Condoleezza Rice, Tony Blair, Howard, Rumsfeld, atau persoalan lainnya. Pertemuan itu difokuskan pada suatu persoalan tertentu.
Secara teknis, langkah-langkah yang biasa ditempuh adalah:
1. Tentukan kelompok/organisasi/fraksi
/ormas/dll yang akan dikunjungi.
2. Ajukan surat permohonan audiensi. Tunggu hingga ada jawaban. Jika belum ada jawaban, upayakan proaktif untuk mengecek.
3. Siapkan tim yang akan mengontak. Berbeda dengan ittishâlât fardiyah, ittishâlât jamâhiriyah ini harus dilakukan oleh suatu tim yang dibentuk.
4. Siapkan materi yang akan disampaikan, misalnya selebaran (nasyrah), Buletin Al-Islam, Majalah al-Wa‘ie, dll.
5. Terus jalin hubungan baik lewat SMS, mengirim produk, dll. Sementara itu, seminar, diskusi publik, tablig akbar, debat publik, dll merupakan aktivitas ittishâlat jamâhiriyah yang ghayr maqshûdah. Artinya, sekalipun dilakukan secara sengaja dan terencana, ia hanya dimaksudkan untuk memberikan informasi umum. Untuk melakukan aktivitas ini, tentu diperlukan tim.
Melihat realitas seperti itu, ittishâlât baik fardiyah maupun jamâhiriyah merupakan keniscayaan dalam berdakwah. Dalam kata ittishâlât juga terkandung makna aktif, tidak menunggu. Karenanya, dalam berdakwah perlu dilakukan ittishâlât tersebut secara aktif, progresif, sengaja, dan terprogram. Ittishâlât tidak menunggu adanya undangan atau panggilan, baik untuk memberikan nasihat kepada seseorang, konsultasi, atau mengisi ceramah. Ittishâlât bukanlah ’dakwah panggilan’ yang pelakunya datang hanya jika diminta ceramah. Sebaliknya, ittishâlât merupakan aktivitas yang direncanakan untuk dilakukan. Betapa tidak, ittishâlât merupakan wasilah bagi terjadinya pertemuan untuk menyampaikan dakwah. Melalui aktivitas ittishâlât ini medan dakwah menjadi lapang. Setiap ruang di bumi ini merupakan lahan dakwah. Gerak dakwah pun menjadi dinamis, kreativitas terpacu, gairah dakwah terus berkobar-kobar. Tak tersisa waktu untuk hanya berdiam diri apalagi sekadar menjadi ’pengamat dakwah’. Dakwah terus terpacu untuk berkembang mengisi setiap ruang. Muaranya, melalui ittishâlât, setiap pengemban dakwah akan menjelma menjadi mesin-mesin yang siap menggerakkan masyarakat untuk menegakkan Islam.
Ringkasnya, aktivitas dakwah tidak boleh dipisahkan dari ittishâlât hayy.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Sumber :pernah baca di majalah al wa'ie .... lupa edisi berapa :D, kalo sumber copas di sini http://moebsmart.co.cc/?p= 10
Kontak Nabi saw. dan Sahabat
Ittishalât berarti aktivitas kontak, sedangkan hayy berarti hidup. Jika keduanya digabungkan dapat dimaknai sebagai aktivitas kontak dengan berbagai pihak dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka menyampaikan Islam. Rasulullah saw. beserta para Sahabat telah memberikan contoh dalam melakukan ittishalât hayy ini.
Rasulullah saw., sejak menerima wahyu, melakukan ittishalât hayy. Pertama kali Rasulullah saw. mendatangi istrinya, Ibunda Khadijah, untuk menyampaikan wahyu. Istrinya itu segera menyambut seruannya. Berikutnya, Rasulullah mengontak sepupunya, Ali bin Abi Thalib. Rasulullah menyampaikan wahyu yang diterimanya kepadanya. Beliau pun mengajak sepupunya itu hanya menyembah Allah Swt. dan tidak menyekutukan-Nya seraya meninggalkan berhala-berhala semacam Latta dan Uzza. Rasulullah membacakan beberapa ayat al-Quran. Ali pun terpesona dengan ayat-ayat yang luar biasa indah tersebut. Sayidina Ali meminta waktu untuk berunding dulu dengan ayahnya, Abu Thalib. Namun, keesokan harinya ia datang kepada Rasulullah saw. dengan menyatakan bahwa ia akan mengikuti ajaran Muhammad, tanpa perlu meminta pendapat Abu Thalib. “Allah telah menjadikan diriku tanpa perlu berunding dulu dengan Abu Thalib. Apa gunanya aku harus berunding dengan dia untuk menyembah Allah,” ujarnya.Berikutnya Rasul saw. berpikir keras untuk mengontak kaum Quraisy. Pilihan pun jatuh pada Abu Bakar bin Abi Quhafa dari kabilah Taim, teman akrab Beliau. Rasulullah mengajak Abu Bakar untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan penyembahan berhala. Beliau juga membukakan isi hatinya akan segala yang ia lihat beserta wahyu yang diterimanya. Abu Bakar pun membenarkan Rasulullah seraya masuk Islam. Setelah masuk Islam, Abu Bakar mengikuti Rasulullah melakukan ittishâl hayy kepada temannya. Beliau mengontak secara individual Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqash, juga Zubair bin al-Awwam. Kegigihan Abu Bakar membuahkan hasil. Upaya ittishâl-nya itu menjadikan mereka satu-persatu menjadi pengikut Muhammad saw. Beliau terus mengontak orang yang dikenalnya. Lalu masuklah juga Abu Ubaidah bin al-Jarrah beserta yang lainnya ke dalam Islam.
Bukan hanya secara individual, Rasulullah saw. melakukan kontak secara kolektif. Rasulullah mengundang makan keluarga-keluarga terdekat di rumahnya. Beliau mencoba menyampaikan Islam serta mengajak mereka masuk Islam. Namun, mereka menolak seruan Rasul pilihan itu.Sekalipun belum berhasil, Beliau tidak putus harapan. Kontak pun kini diarahkan kepada seluruh penduduk Makkah. Suatu hari Rasulullah naik ke Bukit Shafa untuk memanggil mereka. Datanglah mereka berduyun-duyun. Ada dari Bani Abdil Muthalib, Bani Abdil Manaf, Bani Zuhra, Bani Taim, Bani Makhzum, dan Bani Asad. Beliau memberi peringatan, mengingatkan pedihnya siksa neraka, dan mengajak mereka mengimani wahyu yang Beliau terima. Islam disampaikan secara bersama dalam ittishâl jamahiriyah tersebut. Bukan hanya itu, Beliau juga menawarkan diri kepada para pemimpin kabilah. Pada musim-musim ziarah haji, Beliau memperkenalkan diri, mengajak mereka memahami arti kebenaran. Diberitahukan kepada mereka bahwa ia adalah nabi yang diutus dan mereka diminta untuk mengimaninya.
Nabi Muhammad saw. bersungguh-sungguh dalam melakukan ittishâlât ini. Beliau tidak cukup hanya memperkenalkan diri pada musim ziarah haji saja. Bahkan, Beliau mendatangi orang-orang dari Bani Kindah, Bani Kalb, Bani Hanifa, dan Bani Amir bin Sha’sha’a langsung ke rumah-rumah mereka. Mereka dikunjungi seorang demi seorang. Terlepas dari adanya penolakan dari mereka, Beliau tetap menjalankan aktivitas tersebut. Umar bin al-Khaththab melakukan hal yang serupa. Setelah masuk Islam, beliau secara terbuka menyatakan keislamannya di hadapan para pembesar Quraisy. Umar mendatangi sendiri dan mengetuk pintu-pintu rumah mereka. Beliau memberitahu mereka agar tidak mengganggu saudara-saudaranya yang masuk Islam. Beliau pun mengajak mereka untuk mengikuti kebenaran Islam.Tercatat pula Abu Dzar al-Ghifari. Setelah masuk Islam, Abu Dzar kembali ke keluarga, kampung, dan kaumnya. Abu Dzar melakukan ittishâlât kepada mereka. Islam pun disampaikan kepada mereka. Seorang demi seorang kaumnya masuk Islam. Bahkan, bukan hanya di Bani Ghifar, beliau mengontak orang-orang suku lainnya (yakni suku Aslam), untuk memancarkan cahaya Islam.
Di Madinah, Mush‘ab bin Umair terus berjuang melakukan ittishâlât. Mush‘ab mengontak orang di rumah-rumah Bani Asyhal dan Bani Dzufar. Beliau pun menemui orang-orang di kebun kurma ketika berkebun. Beliau tak henti-hentinya mengajak orang-orang masuk Islam hingga setiap rumah kaum Anshar dihuni oleh keluarga Muslim, kecuali sebagian rumah Bani Umayah, Khathamah, Wail, dan Waqif. Masih banyak lagi aktivitas ittishâlât yang dilakukan oleh para Sahabat lainnya. Ringkasnya, aktivitas dakwah mereka tidak dapat dilepaskan dari kontak dengan masyarakat, baik bersifat individual (fardiyah) maupun umum/kolektif (jamahiriyah).
Ittishâlât Hayy Kini
Merujuk contoh aktivitas yang dilakukan oleh Nabi saw. dan para Sahabat, dapat dikatakan bahwa ittishâlât hayy terdiri dari dua bentuk.
Pertama: ittishâlât fardiyah (kontak individual), yakni aktivitas kontak dengan orang-perorang. Bisa saja pertemuannya di rumah, angkutan kota, kampus, masjid, taman, dan tempat lainnya. Seorang pengemban dakwah mendatangi seseorang di rumahnya atau di kantornya, misalnya, untuk berdiskusi tentang Islam. Tentu, diskusi atau tukar pikiran ini dilakukan terus-menerus hingga suatu waktu orang tersebut menerima dakwah, mendukungnya, atau mungkin saja justru menolaknya. Kalau mendukung, ia menambah barisan dakwah. Berikutnya, dilanjutkan dengan pembinaan Islam. Sebaliknya, jika menolak, tidak masalah. Diupayakan secara pribadi tetap berhubungan baik.
Kedua: ittishâlât jamâhiriyah (kontak umum). Berbeda dengan ittishâlât fardiyah yang sifatnya individual, ittishâlât jamâhiriyah bersifat umum. Artinya, penyampaian ide dilakukan sekaligus kepada banyak orang. Bentuknya bisa berupa seminar, lokakarya, tablig akbar, pengajian masjid, kajian di majelis taklim, diskusi tematik, debat terbuka, daurah, dll. Dilihat dari target yang hendak dicapai, ittishâlât fardiyah terdiri dari ittishâlât fardiyah maqshûdah dan ghayr maqshûdah. Ittishâlât fardiyah maqshûdah merupakan kontak kepada seseorang untuk menyampaikan dakwah Islam secara sengaja dan terencana sedemikian rupa agar ia dapat ikut dalam kajian dan pembinaan hingga menjadi kader dakwah.
Dalam melakukan ittishâlât fardiyah maqshûdah perlu dilakukan langkah-langkah teknis berikut:
1. Tetapkan orang yang hendak dijadikan kader. Umumnya, dimulai dari orang yang paling dekat dengan kita; misalnya adik, kakak, ayah, ibu, paman, keponakan, dll. Berikutnya, dapat juga dibuat daftar orang-orang yang akan didatangi. Sebut saja tetangg-tetangga terdekat, teman sepekerjaan, guru-guru Anda, guru-guru anak Anda, guru les anak Anda, pembantu, pedagang/pembeli pelanggan Anda, tukang koran langganan Anda, sopir pribadi Anda, orangtua dari teman-teman Anda atau anak Anda, teman Anda waktu SMU, teman satu kloter saat naik haji, atasan Anda, dokter pribadi anda, dll. Ringkasnya, siapapun yang dikenal dapat dijadikan sebagai ladang dakwah.
2. Buat janji bertemu. Janji ini penting dibuat agar kondisi lebih nyaman. Biasanya janji ini berupa kunjungan ke rumah atau ke kantor.
3. Siapkan materi. Agar fokus, pastikan kita memahami materi yang akan disampaikan/didiskusikan. Tentu saja bukan untuk adu jagoan, tetapi untuk menyampaikan kebenaran. Pahami dalil dari nash-nash syariah maupun fakta yang terkait. Selain itu, siapkan juga tulisan, buletin, majalah, atau produk terkait sebagai oleh-oleh. Gunakan bahasa yang lahir dari kecintaan terhadap sesama Muslim.
4. Tepati janji sesuai dengan kesepakatan. Lakukan diskusi dengan cara terbaik. Yakinkan bahwa kita sama-sama mencari kebenaran dalam Islam.
5. Pelihara hubungan. Pertemuan dengan target agar saudara kita itu menjadi rajin mengaji, ikut pembinaan, dan menjadi kader memerlukan pemeliharaan hubungan. Bahkan, perlu beberapa kali diskusi hingga orang yang kita kontak paham dan terdorong untuk mendalami Islam lebih jauh. Selain kunjungan, pemeliharaan hubungan dilakukan lewat SMS, mengirim produk, dll. Selain ittishâlât fardiyah maqshûdah, ada juga ittishâlât fardiyah yang berlangsung di luar rencana. Misalnya, ketika kita sedang naik bis. Selain menikmati pemandangan, bisa juga digunakan untuk menyampaikan Islam. Sepanjang jalan terjadilah diskusi tentang Islam dan realitas kaum Muslim. Aktivitas demikian merupakan ittishâlât fardiyah, namun ghayr makshûdah, yakni tanpa ada tujuan rekrutmen. Ittishâlât jenis ini bersifat temporer, tetapi dapat saja hubungannya terus dipelihara, setidaknya lewat SMS atau email. Demikian juga, kontak dilakukan dalam setiap aktivitas keseharian.
Ketika di kantor, kendaraan umum, sekolah, kampus, warung, dan dimanapun tetap disampaikan dakwah kepada orang-orang yang ditemui. Karena sifatnya yang hidup dalam keseharian (hayy) setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Jika aktivitas ini mendarah daging dalam diri para pengemban dakwah maka gairah dakwah dan perjuangan Islam akan mengalir bersama aliran darah, mulai dari ubun-ubun hingga ke telapak kaki. Bisa juga ittishâlât fardiyah ghayr maqshûdah ini dilakukan secara terencana, tetapi tidak ditetapkan rekrutmen sebagai targetnya. Misalnya, mengunjungi dan bersilaturahmi kepada seorang tokoh untuk mengetahui pandangannya tentang suatu persoalan politik yang tengah terjadi atau pandangannya tentang suatu pemikiran tertentu. Katakan saja, bagaimana sikap tokoh tersebut tentang globalisasi, utang luar negeri, terorisme, dll.
Seperti halnya ittishâlât fardiyah, ittishâlât jamâhiriyah dapat berbentuk maqshûdah maupun ghayr maqshûdah. Ittishâlât jamâhiriyah maqshûdah merupakan aktivitas kontak kepada kelompok, organisasi, fraksi, pesantren, partai, atau kumpulan lainnya yang secara sengaja dan terprogram dilakukan untuk menyampaikan suatu hal tertentu. Misalnya, datang ke DPR atau ormas untuk menyampaikan selebaran (nasyrah); datang ke DPR untuk menyampaikan kritik terhadap kebijakan atau rancangan undang-undang yang sedang digodog, menyampaikan pandangan politik terhadap kedatangan pimpinan negara-negara besar Condoleezza Rice, Tony Blair, Howard, Rumsfeld, atau persoalan lainnya. Pertemuan itu difokuskan pada suatu persoalan tertentu.
Secara teknis, langkah-langkah yang biasa ditempuh adalah:
1. Tentukan kelompok/organisasi/fraksi
2. Ajukan surat permohonan audiensi. Tunggu hingga ada jawaban. Jika belum ada jawaban, upayakan proaktif untuk mengecek.
3. Siapkan tim yang akan mengontak. Berbeda dengan ittishâlât fardiyah, ittishâlât jamâhiriyah ini harus dilakukan oleh suatu tim yang dibentuk.
4. Siapkan materi yang akan disampaikan, misalnya selebaran (nasyrah), Buletin Al-Islam, Majalah al-Wa‘ie, dll.
5. Terus jalin hubungan baik lewat SMS, mengirim produk, dll. Sementara itu, seminar, diskusi publik, tablig akbar, debat publik, dll merupakan aktivitas ittishâlat jamâhiriyah yang ghayr maqshûdah. Artinya, sekalipun dilakukan secara sengaja dan terencana, ia hanya dimaksudkan untuk memberikan informasi umum. Untuk melakukan aktivitas ini, tentu diperlukan tim.
Melihat realitas seperti itu, ittishâlât baik fardiyah maupun jamâhiriyah merupakan keniscayaan dalam berdakwah. Dalam kata ittishâlât juga terkandung makna aktif, tidak menunggu. Karenanya, dalam berdakwah perlu dilakukan ittishâlât tersebut secara aktif, progresif, sengaja, dan terprogram. Ittishâlât tidak menunggu adanya undangan atau panggilan, baik untuk memberikan nasihat kepada seseorang, konsultasi, atau mengisi ceramah. Ittishâlât bukanlah ’dakwah panggilan’ yang pelakunya datang hanya jika diminta ceramah. Sebaliknya, ittishâlât merupakan aktivitas yang direncanakan untuk dilakukan. Betapa tidak, ittishâlât merupakan wasilah bagi terjadinya pertemuan untuk menyampaikan dakwah. Melalui aktivitas ittishâlât ini medan dakwah menjadi lapang. Setiap ruang di bumi ini merupakan lahan dakwah. Gerak dakwah pun menjadi dinamis, kreativitas terpacu, gairah dakwah terus berkobar-kobar. Tak tersisa waktu untuk hanya berdiam diri apalagi sekadar menjadi ’pengamat dakwah’. Dakwah terus terpacu untuk berkembang mengisi setiap ruang. Muaranya, melalui ittishâlât, setiap pengemban dakwah akan menjelma menjadi mesin-mesin yang siap menggerakkan masyarakat untuk menegakkan Islam.
Ringkasnya, aktivitas dakwah tidak boleh dipisahkan dari ittishâlât hayy.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Sumber :pernah baca di majalah al wa'ie .... lupa edisi berapa :D, kalo sumber copas di sini http://moebsmart.co.cc/?p=
Labels: Dakwah
Cetak halaman ini