Hukum Allah Vs Hukum Akal
Pengantar
Manusia acapkali berbeda pendapat di dalam menilai baik-buruknya suatu benda atau benar-salahnya suatu perbuatan. Perbedaan ini lebih disebabkan karena adanya cara pandang dunia (weltanschauung) yang berbeda di antara mereka terhadap benda atau perbuatan yang menjadi objek penilaian mereka. Seorang muslim, misalnya, akan menjadikan hukum Allah – Pencipta, Hakim, dan Pembuat Syariat – sebagai standar penilaian mereka. Sebaliknya, orang-orang Barat Kapitalis, misalnya, akan menjadikan hukum produk akal mereka sebagai tolak ukur penilaian mereka. Bahkan, bagi mereka, akal merupakan asas di dalam menilai fakta. Sementara itu, kalangan lainnya, acapkali mengadopsi hukum dari salah seorang pemikir yang telah memiliki cara pandang dunia tertentu. Mereka kemudian menjadikan pemikiran-pemikiran sang pemikir tersebut sebagai asal dan dasar penilaian atas fakta yang ada.
Atas dasar ini, wajar jika lahir sejumlah hukum yang berbeda di antara manusia, bergantung pada sumber hukum yang digunakannya.
Manusia juga acapkali berbeda di dalam menentukan siapa yang berhak membuat hukum (al-Hakim), bergantung pada adanya perbedaan hukum yang hendak dikeluarkannya. Sesuatu sering dipandang baik atau buruk menurut akal, halal atau haram menurut syariat, ataupun boleh atau terlarang menurut undang-undang.
Oleh karena itu, sangat penting sekali bagi kita untuk memahami jenis-jenis hukum untuk mengetahui siapa yang berhak membuat hukum. Dengan begitu, akan jelas sikap apa yang mesti diambil oleh manusia di dalam merespon perbuatan atau benda yang ada di hadapannya; apakah perbuatan tersebut harus dilakukan atau malah ditinggalkan..?; apakah benda tersebut mesti diambil atau justru dicampakkan..?
Penilaian Akal dan Kontradiksinya
Hal pertama yang mesti diperhatikan adalah kenyataan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menilai benda dari sisi faktanya, apakah baik atau buruk. Mereka, misalnya, acapkali menilai sakit sebagai hal yang buruk dan sehat sebagai hal yang baik; memandang kekayaan sebagai hal yang baik dan kemiskinan sebagai hal yang buruk; atau menganggap kejujuran sebagai hal yang baik dan kebohongan sebagai hal yang buruk.
Akal manusia kadang-kadang juga memiliki kemampuan untuk menilai suatu fakta dari sudut pandang yang lain, mislanya, dari sudut pandang kemashlahatan dan kemudlaratan. Mereka, misalnya, sering menilai rasa manis itu mashlahat sementara rasa pahit itu mudlarat. Mereka kadang-kadang memandang khamr sebagai hal yang mudlarat dan kadang-kadang pula menganggapnya sebagai hal yang bermanfaat. Demikian pula daging babi; adakalanya dinilai sebagai hal yang mudlarat dan adakalanya dianggap sebagai hal yang bermanfaat.
Akal juga mampu menentukan fakta bahwa air terdiri dari dua atom hydrogen dan satu atom oksigen, bahwa bumi bulat seperti bola, dan matahari terbit di sebelah timur. Akal juga dapat menilai sejumlah perbuatan sehingga sering dikatakan, misalnya: distribusi air di tengah-tengah masyarakat harus didasarkan pada prinsip persamaan, tetapi kadang-kadang juga dikatakan bahwa distribusi air itu justru mesti didasarkan pada faktor kesungguhan; bank ribawi adalah sangat penting bagi sistem ekonomi kapitalis karena mengandung banyak manfaat, tetapi kadang-kadang juga dikatakan bahwa bank tersebut justru hanya mengakibatkan harta terpusat di tangan segelintir orang saja, sehingga hal tersebut bisa menimbulkan kemudlaratan. Demikian seterusnya.
Walhasil, akal sering memberikan penilaian atas berbagai macam benda atau perbuatan yang dipandangnya pantas. Penilaian tersebut adakalanya benar dan adakalanya salah. Penilaian tersebut juga sering berbeda dan bertentangan antara satu masa dan masa lainnya, antara satu tempat dan tempat lainnya, atau antara satu orang dan orang lainnya.
Sebagaimana telah disebutkan, manusia mampu memberikan penilaian atas benda berdasarkan kecenderungan atau penolakannya terhadap benda tersebut. Ia, misalnya, acapkali menyatakan bahwa bau parfum adalah wangi sementara bau bawang merah adalah tidak sedap; gula-gula itu manis sementara labu adalah pahit; istirahat itu lebih baik ketimbang kerja keras/letih; diam itu lebih baik ketimbang pergi ke medan perang. Demikian seterusnya.
Penilaian Allah dan Penentuan Halal-Haram
Sementara itu, penilaian yang berhubungan dengan masalah keterpujian dan ketercelaan jelas hanya merupakan hak Allah. Penilaian tersebut bukan hak manusia. Alasannya, surga dan neraka adalah ciptaan Allah, sebagaimana halnya manusia, langit dan bumi. Dalam hal ini, Allah telah menentukan kelayakan manusia memasuki surga atau neraka bergantung pada sejauh mana manusia mengikuti perintah-Nya. Artinya, surga dan neraka atau pahala dan siksa merupakan konsekuensi dari sejauh mana manusia mengikuti hukum-hukum Allah; Pemilik Surga dan Neraka, bukan mengikuti kehendak manusia sebagai makhluk-Nya dengan segala keterbatasannya. Masalahnya, manusia tidak mungkin memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian atas berbagai perkara yang berada di luar jangkauan akalnya, bahkan ia tidak mungkin mampu menilai perkara-perkara yang tidak dapat dia indera. Oleh karena itu, ketika ia menyatakan bahwa ini halal atau menyebabkan masuk surga dan yang itu haram atau menyebabkan masuk neraka, hal itu tidak lain disandarkan pada penilaian Allah.
Dalam hal ini, Allah SWT telah mencela orang-orang yang yang berani menentukan halal dan haram berdasarkan hawa nafsu mereka, karena tindakan demikian merupakan manipulasi dan dusta terhadap Allah; Tuhan Pemilik Kemuliaan. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apayang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”[QS an-Nahl (16): 116]
Benar.., bahwa siapa pun yang berani menentukan halal dan haram berarti telah membuat kedustaan terhadap Allah. Oleh karena itu, siapa saja yang bertindak demikian berarti seolah-olah telah mengklaim bahwa dirinya adalah Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang berhak menentukan halal dan haram. Akan tetapi, tentu saja Allah Pemilik Kemuliaan tidak mungkin ditandingi oleh siapa pun. Allah SWT berfirman:
“Tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [QS al-Ikhlas (112): 4]
Atas dasar inilah, pada saat Adi Ibn Hatim dihadapkan ke hadapan Nabi, sementara Nabi Saw baru saja membaca ayat: “Mereka telah menjadikan para pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah’[QS at-Taubah (9): 31], ia berkata, “Sesungguhnya mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib-rahib mereka”. Akan tetapi Rasulullah Saw berkata, “Akan tetapi, para pendeta dan rahib-rahib mereka itu telah mengharamkan apa yang telah dihalalkan untuk mereka dan menghalalkan apa yang telah diharamkan atas mereka, lalu mereka mengikutinya. Itulah bentuk penyembahan mereka terhadap para pendeta dan rahib-rahib mereka.”
Demikianlah penafsiran Nabi Saw atas makna ubudiah (penyembahan). Bahkan, Allah SWT telah menganggap buruk orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka dengan mencampakkan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
“Seandainya Kami menghendaki, sesungguhnya Kami akan meninggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung pada kehidupan dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Oleh karena itu, perumpamaannya adalah seperti anjing; jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, diulurkan pula lidahnya. Demikianlah orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Oleh karena itu, ceritakanlah kisah-kisah itu kepada mereka agar mereka berfikir..?” [QS al-A’raf (7): 176]
Dalam ayat di atas, nyata sekali bagaimana Allah menyifati orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya sebagai makhluk yang derajatnya sama dengan binatang (anjing). Alasannya, karena mereka telah mencampakkan hukum-hukum Allah seraya mengikuti hawa nafsu mereka. Hawa nafsu itulah yang menjadikan mereka seperti binatang, karena mereka berperilaku atas dasar dorongan syahwat dan nalurinya semata; persis sebagaimana halnya anjing. Anjing, sebagaimana diketahui, telah diciptakan oleh Allah dengan perilaku yang bersifat instingtif (hanya mengandalkan nalurinya) tanpa pernah berpikir atau memiliki kemampuan untuk melakukan penelahaan. Anjing sejatinya tentu berbeda dengan manusia karena manusia telah diangkat derajatnya dengan dianugerahi akal dan kemampuan berpikir serta diberikan perintah dan larangan. Oleh karena itu, manusia yang mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya akan terangkat derajatnya. Sebaliknya, derajat manusia akan jatuh ke derajat anjing (binatang) jika mereka selalu mengikuti hawa nafsunya.
Dengan demikian, penentuan halal dan haram hanyalah hak Allah semata, bukan hak akal manusia berdasarkan aspek kemanfaatan dan kemudlaratan atau baik dan buruk. Jika manusia berlaku demikian, berarti ia telah menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai tuhan. Tindakan demikian tentu saja tercela dan terlarang. Allah SWT berfirman:
“Tidakkah kamu memperhatikan apa yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan..? Allah telah menyesatkannya dengan tidak memberikannya ilmu, telah menutup pendengaran dan kalbunya, dan telah menjadikan pada hatinya penyakit. Oleh karena itu, siapakah yang memberi petunjuk selain Allah..? Apakah kalian tidak berpikir” [QS al-Jatsiyah (45): 23]
Wilayah Kerja Akal
Ada yang berpendapat bahwa Allah SWT acapkali berbicara pada akal-akal manusia melalui banyak ayat-ayat-Nya. Contohnya adalah pada saat Allah memerintahkan kepada manusia untuk memikirkan eksistensi Pencipta melalui jalan akal serta untuk memikirkan ciptaan Allah melalui perenungan akal. Jika demikian halnya, lalu di manakah fungsi akal.
Memang benar, Allah telah menuntut kita untuk untuk melakukan pengkajian dan pemikiran melalui penggunaan akal untuk mencapai kebenaran dan untuk menentukan siapa yang ada di balik penciptaan alam raya ini. Bahkan, Allah telah mencela orang-orang yang menjadikan keimanannya semata-mata didasarkan pada sikap taklid; tidak berdasarkan pembuktian/pembenaran yang pasti dan meyakinkan serta sesuai dengan realitas yang ada, sekaligus didukung dengan adanya dalil yang juga pasti (qath’i). Allah SWT berfirman:
“Mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami jumpai dari nenek moyang kami, padahal nenek moyang mereka tidaklah mengetahui apapun dan tidak pula mendapatkan petunjuk” [QS al-Maidah (5): 104]
Allah juga berbicara yang ditujukan pada akal:
“Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan; memperhatikan langit, bagaimana ia ditinggikan; memperhatikan gunning, bagaimana ia dipancangkan” [QS al-Ghasiyah (88): 17-19]
Ayat di atas merupakan bukti dari adanya Sang Pencipta. Allah SWT juga berfirman:
“Mereka tidak menciptakan apapun dan mereka bukanlah pencipta” [QS ath-Thur (52): 35]
“Tidakkah kalian memperhatikan air yang kalian minum..? Apakah kalian yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya” [QS al-Waqi’ah (56): 68-69]
“Dari apakah dia diciptakan..? Dia diciptakan dari segumpal darah yang telah ditentukan kadarnya” [QS ‘Abasa (80): 18-19]
“Apakah kalian menjadikan sesuatu selain Allah..? Katakanlah, datangkanlah bukti-bukti kalian” [QS al-Anbiya (21): 24]
Siapa saja yang merenungkan ayat-ayat di atas akan menyimpulkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya di dalam masalah keimanan yang sangat mendasar ini, yakni berkaitan dengan siapa yang menciptakan alam raya; siapa yang berhak membuat hukum; siapa yang menciptakan surga dan neraka. Pengkajian atas masalah ini merupakan perkara yang harus dilandaskan pada–atau dasarnya adalah–akal. Artinya, satu-satunya jalan untuk memahami sang Pencipta dengan sebuah pemahaman yang benar adalah berpikir dan pengkajian akal yang lurus terhadap berbagai gejala yang dapat menunjukkan pada adanya sang Pencipta.
Oleh karena itu, seorang manusia sudah selayaknya memahami kaidah berpikir (qa’idah ‘aqliyyah) dengan metode penggunaan akal. Kaidah berpikir yang dimaksud adalah akidah yang lurus yang menjadi dasar seluruh hukum mengenai kehidupan. Dengan itu, manusia akan menerima–dengan sikap pasrah, rasional dan meyakinkan–sumber hukum yang darinya digali berbagai hukum yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Setelah bersikap pasrah kepada Allah, Tuhan Pencipta, Penguasa dan Pembuat Hukum, ia tentu tidak boleh menyekutukan Allah dengan salah seorang makhluk pun di dalam penetapan hukum-Nya. Allah Maha Tinggi Setinggi-tingginya dan Maha Besar dari persekutuan semacam itu.
Keterbatasan Akal
Sebagaimana dimaklumi, akal manusia sesungguhnya merupakan perkara mendasar di dalam akidah Islam. Alasannya, hanya dengan metode penggunaan akal, manusia dapat menentukan eksistensi sang Pencipta, yakni Allah SWT, dan memastikan bahwa keberadaan-Nya adalah hal yang niscaya (wajib al-Wujud); bersifat azali; tidak ada tuhan selain Diri-Nya; tidak ada tandingan-Nya; dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan akal pula, manusia mampu memastikan kebenaran pengutusan Muhammad dan kenyataan bahwa al-Quran sebagai kalam Allah. Bahkan, seluruh perkara ghaib seperti surga, neraka, kebangkitan dan perhitungan pada Hari Kiamat hanya mungkin diyakini melalui sumber-sumber yang sebelumnya telah diuji kebenarannya lewat akal.
Itulah fungsi akal yang sangat besar. Namun demikian, akal memiliki keterbatasan sebagaimana telah ditentukan oleh Allah, sehingga jika akal memaksakan diri untuk menjangkau apa yang berada di luar jangkauannya, ia pasti akan tersesat. Akal, misalnya, tidak mungkin mampu menentukan hukum di seputar pahala dan siksa. Akal acapkali memandang sesuatu itu baik, padahal ia buruk di mata Allah. Akal juga sering menganggap sesuatu itu bermanfaat, padahal justru ia sesuatu yang mudlarat di mata Allah. Bukti-bukti yang menunjukkan kelemahan dan keterbatasan akal manusia ini sangat banyak dan sangat mudah ditemukan. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
“Telah diwajibkan atas kalian berperang (berjihad), sementara jihad itu sesuatu yang kalian benci. Padahal, boleh jadi kalian membenci sesuatu, sementara sesuatu itu justru buruk bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, sementara sesuatu itu justru buruk bagi kalian. Allahlah yang mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui” [QS al-Baqarah (2): 216]
Ini adalah ayat yang berkenaan dengan jihad; perkara yang tidak jarang dibenci oleh manusia, tetapi justru disukai oleh Allah SWT dan merupakan kebajikan yang sangat besar.
Hal yang juga terjadi manakala manusia memandang bahwa riba itu tidak ada bedanya dengan jual beli; padahal Allah telah menginformasikan bahwa jual beli adalah perkara yang halal sementara riba adalah perkara yang haram. Artinya, keduanya jelas berbeda, dan tidak dapat dipersamakan. Allah SWT berfirman:
“Hal itu karena mereka mengatakan bahwa jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” [QS al-Baqarah (2): 275]
Akal manusia sesungguhnya juga sangat lemah di dalam menetapkan apa yang pantas atau layak bagi dirinya dibandingkan dengan menetapkan apa yang baik bagi orang lain. Ia juga kadang-kadang memberikan penilaian saat ini atas satu persoalan yang berbeda dengan penilaian dirinya sebelumnya atau yang akan datang. Sebaliknya, Allah SWT, Pencipta alam ini, tentu Maha Awas atas seluruh makhluk ciptaan-Nya, juga Maha Tahu dan Maha Teliti terhadap hal yang baik atau buruk dan yang terpuji atau tercela. Allah SWT kemudian memberikan wahyu kepada Rasul-Nya berupa hukum-hukum yang berfungsi untuk mengatur seluruh urusan kehidupan manusia. Jika manusia berusaha menaati hukum-hukum tersebut dan sekaligus terikat dengannya, ia pasti akan memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat.
Reposisi Peran Akal
Sebagaimana dipahami, ketaatan dan keterikatan manusia terhadap syariat Allah tidak berarti membelenggu akal, tetapi justru sebuah keniscayaan dalam hal yang memang pantas dan baik bagi akal. Alasannya, dengan adanya akal, Allah SWT telah memuliakan manusia sekaligus mengangkat derajatnya sehingga lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam” [QS al-Isra’ (17): 70]
Allahlah yang telah menciptakan akal bagi manusia dan menetukan kapasitasnya. Allah SWT berfirman:
“Tidaklah Kami memberikan ilmu kepada kalian kecuali sangat sedikit” [QS al-Isra’ (17): 85]
“Kami mengangkat beberapa derajat orang yang kami kehendaki dan di atas setiap orang yang memiliki pengetahuan pasti ada orang yang lebih mengetahui” [QS Yusuf (12): 76]
Allah SWT juga telah menunjuki manusia mengenai wilayah kerja akal dan dan wilayah yang bukan merupakan bidang garapan akal manusia. Allah telah berfirman, yang ditujukan pada akal manusia, dengan menurunkan sejumlah ayat makiyyah, dalam upaya menunjuki manusia agar mereka memahami jalan untuk mengetahui sang Pencipta, yakni dengan jalan mentafakuri dan merenungkan fenomena makhluk-makhluk-Nya.
Selanjutnya, Allah SWT membukakan pintu yang luas bagi akal untuk memikirkan bagaimana memakmurkan bumi ini dengan berbagai upaya yang dipandang boleh dan halal bagi mereka, seperti dengan melakukan pengkajian ilmiah, mengembangkan industri, dan bahkan untuk keperluan perang, dsb. Allah SWT berfirman:
“Makanlah oleh kalian makanan yang baik-baik dari apa yang Kami karuniakan kepada kalian” [QS Thaha (20): 81]
“Persiapkanlah oleh kalian untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja…” [QS al-Anfal (8): 60]
Sementara itu Rasulullah Saw bersabda:
“Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki maupun wanita” [HR. Ibn ‘Abd al-Barr]
Dengan akal pula, manusia dapat memahami hukum-hukum Allah–karena ia merupakan objek taklif–sehingga ia mampu mengkaji fakta dan memahami penerapan hukum pada faktanya. Inilah salah satu fungsi akal yang lain. Demikian pula ijtihad, yakni mengerahkan segenap kesungguhan untuk menggali hukum-hukum Allah dari dalil-dalil yang rinci. Hal ini juga merupakan garapan akal. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah, samakah antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui..?” [QS az-Zumar (39): 9]
“Oleh karena itu bertanyalah kepada orang yang beriman dan berilmu di antara kalian beberapa derajat” [QS al-Mujadalah (85): 11]
“Tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, kami beriman kepada Allah” [QS Ali ‘Imran (3): 7]
Atas dasar keharmonisan dan keserasian antara pemahaman tentang fungsi akal dan hukum Allah, akal-akal manusia memiliki kedudukan yang sama di dalam hubungannya dengan Allah dan makhluk-Nya, dan teralisasilah rahmat yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Inilah yang dirasakan oleh para shahabat Rasulullah generasi pertama–semoga Allah meridloi mereka–ketika mereka memahami fungsi akal yang sebenarnya dan menyadari arti penting keterikatan diri mereka dengan hukum-hukum Allah.
Melalui salah satu cahaya dari kehidupan para shahabat Rasulullah, kami memperhatikan pengertian ini. Di dalam perang Badar al-Kubro, manakala Nabi Saw tiba di sumber ai Badar, Hubab Ibn Mundzir berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana sesungguhnya pendapat Anda mengenai tempat ini..? Apakah tempat ini telah ditentukan oleh Allah sehingga kami tidak boleh mendahului atau melambatkannya ataukah ini sekedar pendapat Anda sebagai strategi dan tipudaya perang saja..?” Rasulullah menjawab, “ini hanya pendapatku sebagai strategi dan tipudaya perang saja”
Hubab kemudian melanjutkan kata-katanya, “Jika demikan, tempat ini merupakan tempat yang tidak cocok bagi kita. Oleh karena itu, hendaklah Anda memerintahkan orang-orang untuk bangkit hingga kita menjumpai tempat air yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat musuh sehingga kita dapat menetap/singgah di sana…”
Dengan demikian, para shahabat Nabi Saw telah memahami sekaligus mampu membedakan antara hukum Allah–yang wajib diikuti dan ditaati–dengan hukum akal yang tidak mesti dituruti.
Penutup
Terakhir, kami ingin mengatakan bahwa merupakan manipulasi terhadap Islam jika sampai ada yang mengatakan bahwa Islam membelenggu akal manusia atau bahwa Islam tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi yang telah dicapai oleh manusia. Orang yang mengatakan demikian jelas tidak memahami hakikat Islam, hakikat kedudukan makhluk di hadapan Kholiq, serta hakikat akal dan potensi yang ada pada manusia. Orang yang seperti inilah yang justru telah menyesatkan dan merendahkan derajat manusia. Pasalnya, Islam adalah risalah Allah yang telah diturunkan kepada manusia dari langit agar dijalankan oleh manusia sesuai dengan perintah-Nya. Dengan begitu, risalah Allah akan mampu menyinari jalan kehidupan manusia di dunia sehingga menjadi cahaya yang menunjuki penduduk bumi, untuk selanjutnya manusia akan memperoleh pahala di akhirat. Dengan demikian, hanya dengan risalah/hukum Allah sajalah, manusia pasti akan memperoleh kemuliaan di dunia dan akhirat.
Manusia acapkali berbeda pendapat di dalam menilai baik-buruknya suatu benda atau benar-salahnya suatu perbuatan. Perbedaan ini lebih disebabkan karena adanya cara pandang dunia (weltanschauung) yang berbeda di antara mereka terhadap benda atau perbuatan yang menjadi objek penilaian mereka. Seorang muslim, misalnya, akan menjadikan hukum Allah – Pencipta, Hakim, dan Pembuat Syariat – sebagai standar penilaian mereka. Sebaliknya, orang-orang Barat Kapitalis, misalnya, akan menjadikan hukum produk akal mereka sebagai tolak ukur penilaian mereka. Bahkan, bagi mereka, akal merupakan asas di dalam menilai fakta. Sementara itu, kalangan lainnya, acapkali mengadopsi hukum dari salah seorang pemikir yang telah memiliki cara pandang dunia tertentu. Mereka kemudian menjadikan pemikiran-pemikiran sang pemikir tersebut sebagai asal dan dasar penilaian atas fakta yang ada.
Atas dasar ini, wajar jika lahir sejumlah hukum yang berbeda di antara manusia, bergantung pada sumber hukum yang digunakannya.
Manusia juga acapkali berbeda di dalam menentukan siapa yang berhak membuat hukum (al-Hakim), bergantung pada adanya perbedaan hukum yang hendak dikeluarkannya. Sesuatu sering dipandang baik atau buruk menurut akal, halal atau haram menurut syariat, ataupun boleh atau terlarang menurut undang-undang.
Oleh karena itu, sangat penting sekali bagi kita untuk memahami jenis-jenis hukum untuk mengetahui siapa yang berhak membuat hukum. Dengan begitu, akan jelas sikap apa yang mesti diambil oleh manusia di dalam merespon perbuatan atau benda yang ada di hadapannya; apakah perbuatan tersebut harus dilakukan atau malah ditinggalkan..?; apakah benda tersebut mesti diambil atau justru dicampakkan..?
Penilaian Akal dan Kontradiksinya
Hal pertama yang mesti diperhatikan adalah kenyataan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menilai benda dari sisi faktanya, apakah baik atau buruk. Mereka, misalnya, acapkali menilai sakit sebagai hal yang buruk dan sehat sebagai hal yang baik; memandang kekayaan sebagai hal yang baik dan kemiskinan sebagai hal yang buruk; atau menganggap kejujuran sebagai hal yang baik dan kebohongan sebagai hal yang buruk.
Akal manusia kadang-kadang juga memiliki kemampuan untuk menilai suatu fakta dari sudut pandang yang lain, mislanya, dari sudut pandang kemashlahatan dan kemudlaratan. Mereka, misalnya, sering menilai rasa manis itu mashlahat sementara rasa pahit itu mudlarat. Mereka kadang-kadang memandang khamr sebagai hal yang mudlarat dan kadang-kadang pula menganggapnya sebagai hal yang bermanfaat. Demikian pula daging babi; adakalanya dinilai sebagai hal yang mudlarat dan adakalanya dianggap sebagai hal yang bermanfaat.
Akal juga mampu menentukan fakta bahwa air terdiri dari dua atom hydrogen dan satu atom oksigen, bahwa bumi bulat seperti bola, dan matahari terbit di sebelah timur. Akal juga dapat menilai sejumlah perbuatan sehingga sering dikatakan, misalnya: distribusi air di tengah-tengah masyarakat harus didasarkan pada prinsip persamaan, tetapi kadang-kadang juga dikatakan bahwa distribusi air itu justru mesti didasarkan pada faktor kesungguhan; bank ribawi adalah sangat penting bagi sistem ekonomi kapitalis karena mengandung banyak manfaat, tetapi kadang-kadang juga dikatakan bahwa bank tersebut justru hanya mengakibatkan harta terpusat di tangan segelintir orang saja, sehingga hal tersebut bisa menimbulkan kemudlaratan. Demikian seterusnya.
Walhasil, akal sering memberikan penilaian atas berbagai macam benda atau perbuatan yang dipandangnya pantas. Penilaian tersebut adakalanya benar dan adakalanya salah. Penilaian tersebut juga sering berbeda dan bertentangan antara satu masa dan masa lainnya, antara satu tempat dan tempat lainnya, atau antara satu orang dan orang lainnya.
Sebagaimana telah disebutkan, manusia mampu memberikan penilaian atas benda berdasarkan kecenderungan atau penolakannya terhadap benda tersebut. Ia, misalnya, acapkali menyatakan bahwa bau parfum adalah wangi sementara bau bawang merah adalah tidak sedap; gula-gula itu manis sementara labu adalah pahit; istirahat itu lebih baik ketimbang kerja keras/letih; diam itu lebih baik ketimbang pergi ke medan perang. Demikian seterusnya.
Penilaian Allah dan Penentuan Halal-Haram
Sementara itu, penilaian yang berhubungan dengan masalah keterpujian dan ketercelaan jelas hanya merupakan hak Allah. Penilaian tersebut bukan hak manusia. Alasannya, surga dan neraka adalah ciptaan Allah, sebagaimana halnya manusia, langit dan bumi. Dalam hal ini, Allah telah menentukan kelayakan manusia memasuki surga atau neraka bergantung pada sejauh mana manusia mengikuti perintah-Nya. Artinya, surga dan neraka atau pahala dan siksa merupakan konsekuensi dari sejauh mana manusia mengikuti hukum-hukum Allah; Pemilik Surga dan Neraka, bukan mengikuti kehendak manusia sebagai makhluk-Nya dengan segala keterbatasannya. Masalahnya, manusia tidak mungkin memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian atas berbagai perkara yang berada di luar jangkauan akalnya, bahkan ia tidak mungkin mampu menilai perkara-perkara yang tidak dapat dia indera. Oleh karena itu, ketika ia menyatakan bahwa ini halal atau menyebabkan masuk surga dan yang itu haram atau menyebabkan masuk neraka, hal itu tidak lain disandarkan pada penilaian Allah.
Dalam hal ini, Allah SWT telah mencela orang-orang yang yang berani menentukan halal dan haram berdasarkan hawa nafsu mereka, karena tindakan demikian merupakan manipulasi dan dusta terhadap Allah; Tuhan Pemilik Kemuliaan. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apayang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”[QS an-Nahl (16): 116]
Benar.., bahwa siapa pun yang berani menentukan halal dan haram berarti telah membuat kedustaan terhadap Allah. Oleh karena itu, siapa saja yang bertindak demikian berarti seolah-olah telah mengklaim bahwa dirinya adalah Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang berhak menentukan halal dan haram. Akan tetapi, tentu saja Allah Pemilik Kemuliaan tidak mungkin ditandingi oleh siapa pun. Allah SWT berfirman:
“Tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [QS al-Ikhlas (112): 4]
Atas dasar inilah, pada saat Adi Ibn Hatim dihadapkan ke hadapan Nabi, sementara Nabi Saw baru saja membaca ayat: “Mereka telah menjadikan para pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah’[QS at-Taubah (9): 31], ia berkata, “Sesungguhnya mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib-rahib mereka”. Akan tetapi Rasulullah Saw berkata, “Akan tetapi, para pendeta dan rahib-rahib mereka itu telah mengharamkan apa yang telah dihalalkan untuk mereka dan menghalalkan apa yang telah diharamkan atas mereka, lalu mereka mengikutinya. Itulah bentuk penyembahan mereka terhadap para pendeta dan rahib-rahib mereka.”
Demikianlah penafsiran Nabi Saw atas makna ubudiah (penyembahan). Bahkan, Allah SWT telah menganggap buruk orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka dengan mencampakkan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
“Seandainya Kami menghendaki, sesungguhnya Kami akan meninggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung pada kehidupan dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Oleh karena itu, perumpamaannya adalah seperti anjing; jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, diulurkan pula lidahnya. Demikianlah orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Oleh karena itu, ceritakanlah kisah-kisah itu kepada mereka agar mereka berfikir..?” [QS al-A’raf (7): 176]
Dalam ayat di atas, nyata sekali bagaimana Allah menyifati orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya sebagai makhluk yang derajatnya sama dengan binatang (anjing). Alasannya, karena mereka telah mencampakkan hukum-hukum Allah seraya mengikuti hawa nafsu mereka. Hawa nafsu itulah yang menjadikan mereka seperti binatang, karena mereka berperilaku atas dasar dorongan syahwat dan nalurinya semata; persis sebagaimana halnya anjing. Anjing, sebagaimana diketahui, telah diciptakan oleh Allah dengan perilaku yang bersifat instingtif (hanya mengandalkan nalurinya) tanpa pernah berpikir atau memiliki kemampuan untuk melakukan penelahaan. Anjing sejatinya tentu berbeda dengan manusia karena manusia telah diangkat derajatnya dengan dianugerahi akal dan kemampuan berpikir serta diberikan perintah dan larangan. Oleh karena itu, manusia yang mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya akan terangkat derajatnya. Sebaliknya, derajat manusia akan jatuh ke derajat anjing (binatang) jika mereka selalu mengikuti hawa nafsunya.
Dengan demikian, penentuan halal dan haram hanyalah hak Allah semata, bukan hak akal manusia berdasarkan aspek kemanfaatan dan kemudlaratan atau baik dan buruk. Jika manusia berlaku demikian, berarti ia telah menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai tuhan. Tindakan demikian tentu saja tercela dan terlarang. Allah SWT berfirman:
“Tidakkah kamu memperhatikan apa yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan..? Allah telah menyesatkannya dengan tidak memberikannya ilmu, telah menutup pendengaran dan kalbunya, dan telah menjadikan pada hatinya penyakit. Oleh karena itu, siapakah yang memberi petunjuk selain Allah..? Apakah kalian tidak berpikir” [QS al-Jatsiyah (45): 23]
Wilayah Kerja Akal
Ada yang berpendapat bahwa Allah SWT acapkali berbicara pada akal-akal manusia melalui banyak ayat-ayat-Nya. Contohnya adalah pada saat Allah memerintahkan kepada manusia untuk memikirkan eksistensi Pencipta melalui jalan akal serta untuk memikirkan ciptaan Allah melalui perenungan akal. Jika demikian halnya, lalu di manakah fungsi akal.
Memang benar, Allah telah menuntut kita untuk untuk melakukan pengkajian dan pemikiran melalui penggunaan akal untuk mencapai kebenaran dan untuk menentukan siapa yang ada di balik penciptaan alam raya ini. Bahkan, Allah telah mencela orang-orang yang menjadikan keimanannya semata-mata didasarkan pada sikap taklid; tidak berdasarkan pembuktian/pembenaran yang pasti dan meyakinkan serta sesuai dengan realitas yang ada, sekaligus didukung dengan adanya dalil yang juga pasti (qath’i). Allah SWT berfirman:
“Mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami jumpai dari nenek moyang kami, padahal nenek moyang mereka tidaklah mengetahui apapun dan tidak pula mendapatkan petunjuk” [QS al-Maidah (5): 104]
Allah juga berbicara yang ditujukan pada akal:
“Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan; memperhatikan langit, bagaimana ia ditinggikan; memperhatikan gunning, bagaimana ia dipancangkan” [QS al-Ghasiyah (88): 17-19]
Ayat di atas merupakan bukti dari adanya Sang Pencipta. Allah SWT juga berfirman:
“Mereka tidak menciptakan apapun dan mereka bukanlah pencipta” [QS ath-Thur (52): 35]
“Tidakkah kalian memperhatikan air yang kalian minum..? Apakah kalian yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya” [QS al-Waqi’ah (56): 68-69]
“Dari apakah dia diciptakan..? Dia diciptakan dari segumpal darah yang telah ditentukan kadarnya” [QS ‘Abasa (80): 18-19]
“Apakah kalian menjadikan sesuatu selain Allah..? Katakanlah, datangkanlah bukti-bukti kalian” [QS al-Anbiya (21): 24]
Siapa saja yang merenungkan ayat-ayat di atas akan menyimpulkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya di dalam masalah keimanan yang sangat mendasar ini, yakni berkaitan dengan siapa yang menciptakan alam raya; siapa yang berhak membuat hukum; siapa yang menciptakan surga dan neraka. Pengkajian atas masalah ini merupakan perkara yang harus dilandaskan pada–atau dasarnya adalah–akal. Artinya, satu-satunya jalan untuk memahami sang Pencipta dengan sebuah pemahaman yang benar adalah berpikir dan pengkajian akal yang lurus terhadap berbagai gejala yang dapat menunjukkan pada adanya sang Pencipta.
Oleh karena itu, seorang manusia sudah selayaknya memahami kaidah berpikir (qa’idah ‘aqliyyah) dengan metode penggunaan akal. Kaidah berpikir yang dimaksud adalah akidah yang lurus yang menjadi dasar seluruh hukum mengenai kehidupan. Dengan itu, manusia akan menerima–dengan sikap pasrah, rasional dan meyakinkan–sumber hukum yang darinya digali berbagai hukum yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Setelah bersikap pasrah kepada Allah, Tuhan Pencipta, Penguasa dan Pembuat Hukum, ia tentu tidak boleh menyekutukan Allah dengan salah seorang makhluk pun di dalam penetapan hukum-Nya. Allah Maha Tinggi Setinggi-tingginya dan Maha Besar dari persekutuan semacam itu.
Keterbatasan Akal
Sebagaimana dimaklumi, akal manusia sesungguhnya merupakan perkara mendasar di dalam akidah Islam. Alasannya, hanya dengan metode penggunaan akal, manusia dapat menentukan eksistensi sang Pencipta, yakni Allah SWT, dan memastikan bahwa keberadaan-Nya adalah hal yang niscaya (wajib al-Wujud); bersifat azali; tidak ada tuhan selain Diri-Nya; tidak ada tandingan-Nya; dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan akal pula, manusia mampu memastikan kebenaran pengutusan Muhammad dan kenyataan bahwa al-Quran sebagai kalam Allah. Bahkan, seluruh perkara ghaib seperti surga, neraka, kebangkitan dan perhitungan pada Hari Kiamat hanya mungkin diyakini melalui sumber-sumber yang sebelumnya telah diuji kebenarannya lewat akal.
Itulah fungsi akal yang sangat besar. Namun demikian, akal memiliki keterbatasan sebagaimana telah ditentukan oleh Allah, sehingga jika akal memaksakan diri untuk menjangkau apa yang berada di luar jangkauannya, ia pasti akan tersesat. Akal, misalnya, tidak mungkin mampu menentukan hukum di seputar pahala dan siksa. Akal acapkali memandang sesuatu itu baik, padahal ia buruk di mata Allah. Akal juga sering menganggap sesuatu itu bermanfaat, padahal justru ia sesuatu yang mudlarat di mata Allah. Bukti-bukti yang menunjukkan kelemahan dan keterbatasan akal manusia ini sangat banyak dan sangat mudah ditemukan. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
“Telah diwajibkan atas kalian berperang (berjihad), sementara jihad itu sesuatu yang kalian benci. Padahal, boleh jadi kalian membenci sesuatu, sementara sesuatu itu justru buruk bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, sementara sesuatu itu justru buruk bagi kalian. Allahlah yang mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui” [QS al-Baqarah (2): 216]
Ini adalah ayat yang berkenaan dengan jihad; perkara yang tidak jarang dibenci oleh manusia, tetapi justru disukai oleh Allah SWT dan merupakan kebajikan yang sangat besar.
Hal yang juga terjadi manakala manusia memandang bahwa riba itu tidak ada bedanya dengan jual beli; padahal Allah telah menginformasikan bahwa jual beli adalah perkara yang halal sementara riba adalah perkara yang haram. Artinya, keduanya jelas berbeda, dan tidak dapat dipersamakan. Allah SWT berfirman:
“Hal itu karena mereka mengatakan bahwa jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” [QS al-Baqarah (2): 275]
Akal manusia sesungguhnya juga sangat lemah di dalam menetapkan apa yang pantas atau layak bagi dirinya dibandingkan dengan menetapkan apa yang baik bagi orang lain. Ia juga kadang-kadang memberikan penilaian saat ini atas satu persoalan yang berbeda dengan penilaian dirinya sebelumnya atau yang akan datang. Sebaliknya, Allah SWT, Pencipta alam ini, tentu Maha Awas atas seluruh makhluk ciptaan-Nya, juga Maha Tahu dan Maha Teliti terhadap hal yang baik atau buruk dan yang terpuji atau tercela. Allah SWT kemudian memberikan wahyu kepada Rasul-Nya berupa hukum-hukum yang berfungsi untuk mengatur seluruh urusan kehidupan manusia. Jika manusia berusaha menaati hukum-hukum tersebut dan sekaligus terikat dengannya, ia pasti akan memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat.
Reposisi Peran Akal
Sebagaimana dipahami, ketaatan dan keterikatan manusia terhadap syariat Allah tidak berarti membelenggu akal, tetapi justru sebuah keniscayaan dalam hal yang memang pantas dan baik bagi akal. Alasannya, dengan adanya akal, Allah SWT telah memuliakan manusia sekaligus mengangkat derajatnya sehingga lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam” [QS al-Isra’ (17): 70]
Allahlah yang telah menciptakan akal bagi manusia dan menetukan kapasitasnya. Allah SWT berfirman:
“Tidaklah Kami memberikan ilmu kepada kalian kecuali sangat sedikit” [QS al-Isra’ (17): 85]
“Kami mengangkat beberapa derajat orang yang kami kehendaki dan di atas setiap orang yang memiliki pengetahuan pasti ada orang yang lebih mengetahui” [QS Yusuf (12): 76]
Allah SWT juga telah menunjuki manusia mengenai wilayah kerja akal dan dan wilayah yang bukan merupakan bidang garapan akal manusia. Allah telah berfirman, yang ditujukan pada akal manusia, dengan menurunkan sejumlah ayat makiyyah, dalam upaya menunjuki manusia agar mereka memahami jalan untuk mengetahui sang Pencipta, yakni dengan jalan mentafakuri dan merenungkan fenomena makhluk-makhluk-Nya.
Selanjutnya, Allah SWT membukakan pintu yang luas bagi akal untuk memikirkan bagaimana memakmurkan bumi ini dengan berbagai upaya yang dipandang boleh dan halal bagi mereka, seperti dengan melakukan pengkajian ilmiah, mengembangkan industri, dan bahkan untuk keperluan perang, dsb. Allah SWT berfirman:
“Makanlah oleh kalian makanan yang baik-baik dari apa yang Kami karuniakan kepada kalian” [QS Thaha (20): 81]
“Persiapkanlah oleh kalian untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja…” [QS al-Anfal (8): 60]
Sementara itu Rasulullah Saw bersabda:
“Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki maupun wanita” [HR. Ibn ‘Abd al-Barr]
Dengan akal pula, manusia dapat memahami hukum-hukum Allah–karena ia merupakan objek taklif–sehingga ia mampu mengkaji fakta dan memahami penerapan hukum pada faktanya. Inilah salah satu fungsi akal yang lain. Demikian pula ijtihad, yakni mengerahkan segenap kesungguhan untuk menggali hukum-hukum Allah dari dalil-dalil yang rinci. Hal ini juga merupakan garapan akal. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah, samakah antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui..?” [QS az-Zumar (39): 9]
“Oleh karena itu bertanyalah kepada orang yang beriman dan berilmu di antara kalian beberapa derajat” [QS al-Mujadalah (85): 11]
“Tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, kami beriman kepada Allah” [QS Ali ‘Imran (3): 7]
Atas dasar keharmonisan dan keserasian antara pemahaman tentang fungsi akal dan hukum Allah, akal-akal manusia memiliki kedudukan yang sama di dalam hubungannya dengan Allah dan makhluk-Nya, dan teralisasilah rahmat yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Inilah yang dirasakan oleh para shahabat Rasulullah generasi pertama–semoga Allah meridloi mereka–ketika mereka memahami fungsi akal yang sebenarnya dan menyadari arti penting keterikatan diri mereka dengan hukum-hukum Allah.
Melalui salah satu cahaya dari kehidupan para shahabat Rasulullah, kami memperhatikan pengertian ini. Di dalam perang Badar al-Kubro, manakala Nabi Saw tiba di sumber ai Badar, Hubab Ibn Mundzir berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana sesungguhnya pendapat Anda mengenai tempat ini..? Apakah tempat ini telah ditentukan oleh Allah sehingga kami tidak boleh mendahului atau melambatkannya ataukah ini sekedar pendapat Anda sebagai strategi dan tipudaya perang saja..?” Rasulullah menjawab, “ini hanya pendapatku sebagai strategi dan tipudaya perang saja”
Hubab kemudian melanjutkan kata-katanya, “Jika demikan, tempat ini merupakan tempat yang tidak cocok bagi kita. Oleh karena itu, hendaklah Anda memerintahkan orang-orang untuk bangkit hingga kita menjumpai tempat air yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat musuh sehingga kita dapat menetap/singgah di sana…”
Dengan demikian, para shahabat Nabi Saw telah memahami sekaligus mampu membedakan antara hukum Allah–yang wajib diikuti dan ditaati–dengan hukum akal yang tidak mesti dituruti.
Penutup
Terakhir, kami ingin mengatakan bahwa merupakan manipulasi terhadap Islam jika sampai ada yang mengatakan bahwa Islam membelenggu akal manusia atau bahwa Islam tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi yang telah dicapai oleh manusia. Orang yang mengatakan demikian jelas tidak memahami hakikat Islam, hakikat kedudukan makhluk di hadapan Kholiq, serta hakikat akal dan potensi yang ada pada manusia. Orang yang seperti inilah yang justru telah menyesatkan dan merendahkan derajat manusia. Pasalnya, Islam adalah risalah Allah yang telah diturunkan kepada manusia dari langit agar dijalankan oleh manusia sesuai dengan perintah-Nya. Dengan begitu, risalah Allah akan mampu menyinari jalan kehidupan manusia di dunia sehingga menjadi cahaya yang menunjuki penduduk bumi, untuk selanjutnya manusia akan memperoleh pahala di akhirat. Dengan demikian, hanya dengan risalah/hukum Allah sajalah, manusia pasti akan memperoleh kemuliaan di dunia dan akhirat.
Labels: Tsaqofah
Cetak halaman ini